PPN 12% Berlaku untuk Barang Mewah, Pemerintah Susun Daftar Produk Terdampak

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/agr
Pengunjung berbelanja di pusat perbelanjaan di Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Penulis: Rahayu Subekti
6/12/2024, 19.33 WIB

Pemerintah masih mengkaji regulasi turunan terkait rencana pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025. Hingga kini belum ada pengumuman resmi bagaimana kebijakan baru ini akan diterapkan. 

Meski telah mengumumkan kenaikan tarif hanya berlaku untuk barang mewah, namun pemerintah tak kunjung mempublikasikan daftar barang yang akan dikenakan PPN 12% belum ditetapkan secara resmi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa mereka belum dapat memberikan pernyataan terkait daftar tersebut.

 "Kami belum dapat memberi statement terkait hal tersebut," ujar Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Jumat (6/12).

Sebelumnya, Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan kategori barang mewah kemungkinan mencakup mobil mewah, apartemen mewah, dan rumah mewah. Pernyataan ini disampaikan usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Kamis (6/12).

Penerapan tarif PPN 12% secara selektif bertujuan untuk mengurangi ketimpangan tanpa membebani kebutuhan pokok masyarakat. Presiden Prabowo Subianto juga telah menerima usulan DPR terkait penurunan tarif pajak untuk kebutuhan pokok. "Bapak Presiden tadi menjawab bahwa usulan ini akan dipertimbangkan dan dikaji," jelas Dasco.

Menurut Dasco, Prabowo telah memberikan arahan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menyusun rincian barang mewah yang akan dikenakan PPN 12%. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa tugas ini sudah menjadi prioritas. "Teknisnya nanti Menteri Keuangan yang akan mengatur," kata Susiwijono.

Butuh Kajian Menyeluruh

Semetara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengingatkan penerapan kebijakan ini membutuhkan revisi undang-undang. Saat ini, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) hanya mengenal tarif tunggal. 

"Jika ingin menaikkan tarif pada barang tertentu, seperti yang terkena PPnBM, regulasi harus diubah, dan ini membutuhkan waktu," ujar Fajry.

Ia juga menyoroti potensi kompleksitas dalam sistem PPN jika kebijakan multitarif diterapkan. Menurutnya, penerapan multitarif dapat memicu sengketa pajak karena definisi barang mewah sering kali tidak jelas. "Hal ini memberikan ketidakpastian bagi pelaku usaha," tambahnya.

Dari sisi penerimaan negara, Fajry menilai kebijakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan. Berdasarkan perhitungan CITA, jika hanya diterapkan pada barang-barang yang termasuk objek PPnBM, potensi penerimaan tambahan hanya mencapai Rp 1,7 triliun.

Penerapan kebijakan ini dalam waktu kurang dari sebulan juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan waktu yang terbatas, pemerintah diharapkan dapat segera memberikan kejelasan untuk menghindari kerancuan di lapangan.

Selain itu, pemerintah harus mendefinisikan secara jelas kategori barang mewah dalam regulasi. Definisi ini akan menjadi acuan bagi pelaku usaha dan otoritas pajak dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Sementara itu, pemerintah tetap berkomitmen untuk melindungi masyarakat kelas bawah dengan mempertahankan tarif PPN 11% untuk barang kebutuhan pokok. Langkah ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.

Dengan segala tantangan yang ada, implementasi kenaikan PPN 12% hanya untuk barang mewah diharapkan dapat berjalan efektif, tanpa menimbulkan polemik atau hambatan berarti di lapangan.

Reporter: Rahayu Subekti