Serang PDIP Soal PPN 12%, Partai Pendukung Prabowo Dinilai Kontraproduktif
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan alias PDIP buka suara terkait sikap saling serang terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025.
Sebelumnya, partai pendukung pemerintah Prabowo Subianto kompak menuding PDIP bersikap 'lempar batu sembunyi tangan' terkait PPN 12%. Para elite partai politik yang melayangkan kritik ke PDIP di antaranya Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, hingga PAN.
“Mencermati dinamika politik terkini, adanya saling serang antar kelompok politik terkait rencana kenaikan PPN dari 11% menajdi 12%, kami melihat hal itu mengarah pada situasi yang kontraproduktif,” kata Ketua DPP PDIP Said Abdullah dalam keterangan resmi, Selasa (24/12).
Padahal, energi bangsa ini diperlukan untuk bersatu menghadapi tantangan ekonomi 2025 yang tidak mudah. Karena Indonesia tengah menghadapi sentimen negatif atas menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah. Hal ini dikarenakan ekspektasi investor atas menguatnya ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.
“Bank Indonesia bersama pemerintah menyampaikan ke kami, bahwa mereka telah berupaya melakukan stabilisasi rupiah dengan usaha yang maksimal. Kita harapkan membuahkan hasil rupiah kembali stabil,” ujar Said.
Akar Kenaikan Bertahap PPN
Untuk menjernihkan ruang publik dan memberi kepastian hukum, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku sejak 2021.
“Kenaikan PPN sesungguhnya bukan peristiwa yang datang seketika,” kata Said.
Sebelum 1 April 2022, tarif PPN berlaku 10%. Lalu setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 berlaku, diatur pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 11% per 1 April 2022. dan selanjutnya pada 1 Januari 2025 tarif PPN menjadi 12%. Dengan demikian terjadi kenaikan bertahap.
Meski begitu, pemerintah diberikan ruang diskresi untuk menurunkan PPN pada batas bawah di level 5% dan batas atas 15% bila dipandang perlu. “Ketentuan ini juga mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional,” ujar Said.
Target Penerimaan Pajak 2025 Telah Memasukan PPN 12%
Dalam Undang-undang No 7 Tahun 2021 Bab IV pasal 7 ayat 1 huruf b telah diatur bahwa pemberlakukan PPN 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Atas dasar ketentuan ini, maka pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan asumsi tambahan penerimaan perpajakan dari pemberlakuan PPN 12% ke dalam target pendapatan negara pada anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2025.
Selanjutnya APBN 2025 telah diundangkan melalui Undang Undang Nomor 62 Tahun 2024. “UU ini disepakati oleh seluruh Fraksi di DPR, dan hanya Fraksi PKS DPR yang memberikan persetujuan dengan catatan. Dengan demikian pemberlakukan PPN 12% berkekuatan hukum,” kata Said.
Dalam pembahasan APBN 2025, pemerintah dan DPR juga menyepakati target pendapatan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun dengan asumsi pemberlakuan PPN 12%. Penerimaan ini terdiri dari perpajakan mencapai Rp 2.490,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP hingga Rp 513,6 triliun.
Said mengatakan target penerimaan ini untuk mendukung berbagai program strategis Prabowo. Khususnya dalam merealisasikan program program strategisnya seperti program quick win yang akan didanai oleh APBN 2025.
Beberapa program tersebut berupa makan bergizi gratis yang membutuhkan dana sekitar Rp 71 triliun dan pemeriksaan kesehatan gratis Rp 3,2 triliun. Begitu juga dengan pembangunan rumah sakit lengkap di daerah Rp 1,8 triliun dan pemeriksaan penyakit menular TBC Rp 8 triliun.
Selain itu, Prabowo juga mengusung program renovasi sekolah Rp 20 triliun dan sekolah unggulan terintegrasi Rp 2 triliun. Begitu juga dengan penciptaan lumbung pangan nasional di daerah dan desa Rp 15 triliun dan pemerintah menargetkan swasembada beras pada 2027.
Dengan demikian, program program tersebut sejalan dengan agenda PDI Perjuangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta mendorong program kesehatan yang inklusif. “Atas dasar itulah, PDI Perjuangan berkomitmen untuk mengawal dan mengamankan demi suksesnya program quick win diatas melalui dukungan terhadap APBN 2025,” ujar Said.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP juga mengamanatkan sejumlah barang dan jasa yang tidak boleh dikenai PPN. Beberapa di antaranya yaitu ekspor barang dan jasa, pengadaan vaksin, buku pelajaran umum, buku pelajaran agama, kitab suci, dan pembangunan tempat ibadah.
Begitu juga dengan proyek pemerintah yang didanai dari hibah atau pinjaman luar negeri, serta barang dan jasa untuk penanganan bencana. Selain itu juga kebutuhan pokok yang dikonsumsi rakyat banyak, serta pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional yang bersifat strategis.