Alarm Bahaya Ekonomi Awal 2025: Daya Beli Lesu hingga Anggaran Negara Cekak

ekonomi, daya beli lesu, pertumbuhan ekonomi
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ilustrasi.
Penulis: Rahayu Subekti
Editor: Agustiyanti
17/3/2025, 20.24 WIB

Kinerja ekonomi dalam dua bulan pertama tahun ini belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Data terbaru impor konsumsi yang baru dirilis Badan Pusat Statistik kian menggambarkan kondisi daya beli masyarakat yang lesu. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dirilis Senin (17/3), impor barang konsumsi pada Januari-Februari 2025 turun 14,24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 3,11 miliar. Impor barang konsumsi tak naik meski  bulan Ramadan tahun ini datang lebih cepat dan jatuh pada awal Maret 2025. 

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menjelaskan, penurunan impor menunjukkan daya beli masyarakat yang melemah pada awal tahun ini. Insentif yang diberikan pemerintah berupa diskon tarif listrik selama dua bulan juga hanya bersifat temporer. 

"Kelihatannya daya beli masyarakat lemah pada kuartal pertama. Namun secara spasial, daya beli masyarakat di luar Jawa, terutama tertolong tingginya harga minyak sawit, cokelat, dan kopi," ujar David kepada Katadata.co.id, Senin (17/3). 

Selain pengaruh daya beli, menurut dia, impor barang konsumsi yang turun juga disebabkan oleh aktivitas para importir yang menumpuk persediaan barang pada akhir tahun untuk mengantisipasi kenaikan PPN. "Walaupun akhirnya kenaikan PPN tidak jadi," kata dia. 

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies atau Celios, Nailul Huda menilai, lemahnya daya beli masyarakat juga terlihat dari data  indeks keyakinan konsumen (IKK) dari Bank Indonesia yang melambat meski masih ekspansi pada dua bulan pertama tahun ini.

Bank Indonesia melaporkan, keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi pada Februari 2025 turun dari 127,2 pada bulan sebelumnya menjadi 126,4. Penurunan terutama terjadi pada indeks ekspektasi konsumen meski masih berada di level optimistis. 

"Saya melihat kondisi ekonomi kita dalam alarm bahaya. Terutama setelah melihat kinerja penerimaan pajak yang anjlok di Januari dan Februari,” kata Huda. 

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 hanya Rp 316,9 triliun, turun 20,8%  dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu Rp 400,36 triliun.

Penerimaan perpajakan yang mendominasi pendapatan negara turun sekitar 25%. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan perpajakan hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp 240,4 triliun, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 320,6 triliun.

Kinerja paling parah terjadi di penerimaan pajak. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak pada Februari 2025 mencapai Rp 187,8 triliun, turun 30,19% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Ini terdapat penurunan dari penerimaan pajak yang cukup signifikan. Dampaknya, saya bisa bilang pada kekuatan pemerintah untuk menstimulus perekonomian,” ucap Huda.

Dengan semakin berkurangnya stimulus perekonomian, Huda menilai akan semakin sulit bagi pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat mungkin membaik pada Maret dan April karena adanya pembayaran tunjangan hari raya atau THR. Namun, daya beli masyarakat akan memburuk setelahnya. 

“Dampaknya akan terasa di kuartal II dan III, kondisi ini cukup berbahaya bagi ekonomi di semester II. Penerimaan negara juga bisa tambah turun jadi kekuatan pemerintah untuk menstimulus ekonomi juga terbatas,” ujar Huda.

Penerimaan Pajak Jeblok, Tanda Ekonomi Lesu?

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menjelaskan, ekonomi lesu umumnya ditandai dengan pertumbuhan melambat, pengangguran meningkat, konsumsi rumah tangga stagnan, dan investasi merosot. Untuk menilai apakah Indonesia sedang menghadapi hal tersebut, Hidayat mengatakan perlu memeriksa sejumlah indikator makro terkini, salah satunya penerimaan pajak.

Hidayat menilai, penurunan penerimaan pajak perlu dikaji secara hati-hati. “Jika aktivitas ekonomi melemah, penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) biasanya turun,” kata Hidayat.

Namun, Hidayat melihat penurunan penerimaan pajak antara lain disebabkan oleh kegagalan implementasi sistem Coretax, bukan kontraksi ekonomi. Menurut doa, penurunan penerimaan pajak bukan semata disebabkan oleh ekonomi lesu, melainkan kegagalan administratif. 

Lingkaran Setan Defisit Anggaran, Pajak, dan Daya Beli 

Kementerian Keuangan mencatat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN pada Februari 2025 sebesar Rp 31,2 triliun, berbalik dibandingkan surplus sebesar Rp 26,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pendapatan negara baru mencapai Rp 316,9 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun dalam dua bulan pertama tahun ini.

Pendapatan negara ini turun 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 400,4 triliun, sedangkan belanja negara turun 7% dari Rp 374,3 triliun.

Hidayat menjelaskan, permasalahan defisit APBN yang melebar, penerimaan pajak menurun, dan belum pulihnya daya beli saling berkaitan seperti lingkaran setan. “Defisit APBN yang melebar memaksa pemerintah memilih menaikkan utang atau memangkas belanja,” ujar Hidayat.

Jika utang dipilih, Hidayat mengatakan, beban bunga meningkat dan belanja produktif seperti infrastruktur dan Kesehatan terancam dikurangi. Namun jika belanja dipotong, program penopang daya beli seperti bansos dan subsidi bisa terhambat dan memperparah konsumsi rumah tangga. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti