DPR akan Panggil Fadli Zon Buntut Sebut Pemerkosaan 1998 Hanya Rumor

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/bar
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut tidak ada bukti terjadinya pemerkosaan massal pada 1998.
Penulis: Ade Rosman
Editor: Agustiyanti
18/6/2025, 11.44 WIB

Komisi X DPR berencana memanggil Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait pernyataan kontroversialnya yang menyebut pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya rumor. Anggota Komisi X DPR RI  Bonnie Triyana menilai, pandangan subyektif  Fadli Zon tak bisa menafikan bahwa peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 pernah terjadi.

Bonnie menyatakan, apa yang menurut Fadli Zon tidak ada, bukan berarti tak terjadi. Ia mendesak Kementerian Kebudayaan sebagai mitra Komisi X DPR untuk menghentikan proyek penulisan ulang sejarah jika hanya bertujuan politis.

"Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini," kata Bonnie dalam keterangannya, Rabu (18/6).

Fadli Zon sebelumnya mengklaim, tak ada bukti terjadinya peristiwa pemerkosaan massal pada tragedi kerusuhan Mei 1998. Menurutnya, cerita tentang peristiwa tersebut hanya berdasarkan rumor yang beredar.

Fadli Zon juga menyebut Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pernah membantah dan tak bisa membuktikan laporannya yang mengungkap bahwa para perempuan menjadi target perkosaan saat peristiwa 1998.

Namun, menurut Bonnie, laporan TGPF soal Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Bentuk kekerasan seksual itu dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).

Selain itu, TGPF juga mengungkap terdapat korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan.

Bonnie menilai, Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan yang menggagas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia mestinya tidak melanggengkan budaya penyangkalan atas tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual pada kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial pada 1998.

"Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan," kata Bonnie.

Bonnie menegaskan, karya sejarah akan berguna untuk anak cucu bangsa bukan hanya karena dipenuhi kisah-kisah kepahlawanan yang inspiratif saja. Pengalaman kolektif yang pedih dalam sejarah masa lalu bangsa juga dapat menjadi pembelajaran.

"Penyangkalan atas peristiwa pemerkosaan massal terhadap kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial 1998 hanya akan menambah beban traumatik pada penyintas dan keluarganya, bahkan kepada masyarakat yang mengalami peristiwa itu," kata Bonnie.

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan saat ini tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Namun dalam draf Kerangka Konsep Penulisan ‘Sejarah Indonesia’ ini, sejumlah pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan.

Beberapa pelanggaran HAM yang ‘dihilangkan’ dalam proyek penulisan ulang sejarah itu di antaranya seperti soal pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998, penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, serta kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ade Rosman