BI Waspadai Dampak Perang Iran-Israel: Rupiah Melemah hingga Ekonomi Tertekan
Bank Indonesia (BI) mewaspadai dampak geopolitik global akibat konflik Iran-Israel. Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman menyebut ketegangan ini dapat berdampak luas, terutama pada rantai pasok global dan harga komoditas.
“Geopolitik ini masih terus berkembang. Kami berhati-hati memperhatikan dampaknya terhadap supply disruption, karena ini bisa mempengaruhi harga komoditas,” ujar Aida dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (19/6).
Aida menjelaskan bahwa potensi dampak konflik tidak hanya terbatas pada harga komoditas. BI juga mengantisipasi efek lanjutan terhadap sektor keuangan, perdagangan, hingga pertumbuhan ekonomi nasional.
“Dari jalur pasar keuangan, ketegangan geopolitik dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Kami tetap berkomitmen menjaga stabilitas rupiah,” katanya.
Sementara dari sisi perdagangan, BI mencermati perubahan permintaan global terhadap komoditas. Menurut Aida, tekanan eksternal juga datang dari kebijakan tarif Amerika Serikat yang dapat menekan pertumbuhan ekonomi global.
Namun untuk saat ini, BI masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di kisaran 3%. “Tidak ada perubahan dari negara-negara lain, kecuali India yang naik karena peningkatan investasi dalam negeri,” ujar Aida.
Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 tetap berada di kisaran 4,6% hingga 5,4%.
Harga Energi Naik, Subsidi Bisa Membengkak
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai dampak terbesar dari konflik Iran-Israel adalah potensi lonjakan harga minyak dan gas dunia. Kenaikan harga energi ini dapat mengganggu kinerja neraca perdagangan Indonesia.
“Kalau harga minyak dan gas naik, permintaan dunia terhadap produk kita bisa menurun. Ini memperlebar defisit perdagangan dan mengganggu current account. Jika dikombinasikan dengan fly to quality, nilai tukar rupiah bisa melemah,” kata Wijayanto kepada Katadata.co.id, Kamis (19/6).
Selain itu, pemerintah juga bisa terdorong untuk menambah subsidi energi jika harga minyak global terus naik. Namun, kondisi fiskal yang terbatas membuat ruang kebijakan jadi sempit.
Risiko dari Ketergantungan Energi Impor
Senada dengan Wijayanto, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menekankan tingginya kerentanan Indonesia sebagai negara pengimpor minyak. Ketegangan di Timur Tengah, terutama jika mempengaruhi jalur pelayaran seperti Selat Hormuz, bisa memicu lonjakan harga dan beban subsidi.
“Indonesia sangat bergantung pada impor LPG dan BBM dari negara-negara Teluk seperti Qatar dan UEA. Jika pasokan terganggu, subsidi energi bisa naik drastis,” ujar Syafruddin.
Menurutnya, konflik Iran-Israel berpotensi mengganggu arus perdagangan dan logistik global, terutama jika jalur pelayaran strategis seperti Selat Hormuz terdampak. Gangguan ini dapat menghambat pengiriman energi dan komoditas penting ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Jika jalur pelayaran terganggu, biaya logistik akan meningkat, harga barang ikut naik, dan pada akhirnya inflasi akan menekan daya beli rumah tangga,” ujar Syafruddin.
Menurutnya, gangguan logistik juga bisa memperparah situasi. “Kalau distribusi energi dan komoditas terganggu, biaya logistik naik, harga barang ikut terdongkrak, dan akhirnya inflasi merusak daya beli rumah tangga," katanya.