LPEM UI Kritik Angka Statistik Ekonomi RI Hanya Jadi Kosmetik

ANTARA FOTO/Reno Esnir/app
Kuli memanggul karung berisi sayuran di Pasar Induk Senen, Jakarta, Senin (1/9/2025). Meskipun belum seramai biasanya, sejumlah pedagang setempat menyebutkan aktivitas jual beli di lokasi tersebut berangsur normal pascaunjuk rasa yang berakhir ricuh beberapa hari lalu.
3/9/2025, 13.34 WIB

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyoroti penggunaan angka-angka statistik yang dianggap sekadar kosmetik. Sedangkan masyarakat merasakan kehidupan yang sulit. 

Peneliti Senior LPEM FEB UI Teguh Dartanto menyebut praktik inilah yang menjadi salah satu pemicu demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025.

“Banyak angka-angka statistik itu menjadi sebuah kosmetik. Artinya, antara angka dan rasa yang dirasakan masyarakat berbeda. Ketika angka dan rasa tidak lagi sama, yang terjadi adalah unjuk rasa,” ujar Teguh dalam Podcast LPEM FEB UI yang disiarkan di YouTube, Selasa (2/9).

Data Pengangguran dan Kemiskinan Dinilai Tak Cerminkan Realita

Salah satu contoh yang ia soroti adalah data pengangguran. Dalam pidato kenegaraan di Rapat Paripurna MPR-DPR pada 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto memamerkan angka pengangguran nasional yang turun ke level terendah sejak krisis 1998.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun dari 4,82% pada Februari 2024 menjadi 4,76% per Februari 2025. Data itu juga diklaim sejalan dengan penciptaan lapangan kerja baru mencapai 3,59 juta orang.

Teguh menilai angka pengangguran yang kerap dibanggakan pemerintah tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. “Sebenarnya angka pengangguran menurun itu apa? Padahal meskipun banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), orang mau tidak mau harus bekerja,” ujarnya.

Menurutnya, hal itu terjadi karena sistem jaminan sosial di Indonesia tidak mendukung mereka yang menganggur. Akibatnya, masyarakat terdampak PHK terpaksa mencari nafkah di sektor informal, misalnya menjadi pengemudi ojek daring.

“Inilah yang terjadi. Banyak statistik digunakan sebagai kosmetik pembenaran bahwa kondisi sudah hebat, padahal kita jarang mau melihat lebih dalam permasalahan yang ada,” kata Teguh.

Ia juga menyoroti data kemiskinan. Berdasarkan catatan BPS, jumlah penduduk miskin per Maret 2025 turun menjadi 23,85 juta orang, atau 8,47% dari total populasi. Angka ini menurun dibanding September 2024 yang mencapai 24,06 juta orang (8,57%).

Namun, jika diperinci, angka kemiskinan di perkotaan justru meningkat. Persentasenya naik dari 6,66% atau setara 11,05 juta orang pada September 2024 menjadi 6,73% atau sekitar 11,27 juta orang pada Maret 2025.

Teguh menilai ketidakselarasan antara data dengan realita inilah yang memicu gelombang protes beberapa waktu terakhir. “Harapan masyarakat tidak sesuai kenyataan, diperparah dengan berbagai isu yang dirasakan kelas menengah,” ujarnya.

Selain itu, ia menyebut perilaku elit politik juga turut menyulut kemarahan publik. “Perilaku yang kurang pas dari anggota DPR membuat amarah masyarakat akhirnya meledak,” katanya.

Berkurangnya Kelas Menengah

LPEM FEB UI telah menyoroti berkurangnya jumlah masyarakat kelas menengah pada 2024. Dalam risetnya, kondisi ini disebut sebagai kemunduran ekspansi kelas menengah sekaligus indikasi melemahnya daya beli kelompok tersebut.

Pada 2014, penduduk yang masuk kategori calon kelas menengah mencapai 45,8% populasi atau sekitar 115 juta jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 53,4% atau setara 144 juta jiwa pada 2023. Artinya, lebih dari separuh populasi Indonesia termasuk dalam kategori calon kelas menengah.

Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan bahwa periode 2014–2018 menunjukkan tren positif mobilitas sosial. Proporsi masyarakat miskin dan rentan menurun, sementara calon kelas menengah dan kelas menengah tumbuh pesat.

Namun, sejak 2018 hingga 2023, tren tersebut mengalami kemunduran. “Terjadi pergeseran dari individu yang sebelumnya merupakan kelas menengah ke calon kelas menengah, atau bahkan kembali rentan,” ujar Riefky.

Pola konsumsi juga memperlihatkan gejala yang sama. Pada 2023, konsumsi rumah tangga didominasi kelompok calon kelas menengah (45,5%) dan kelas menengah (36,8%), dengan total kontribusi mencapai 82,3%.

Meski begitu, jumlah penduduk kelas menengah terus menurun. Pada 2014–2018, jumlahnya sempat melonjak dari 39 juta menjadi 60 juta jiwa, atau naik dari 15,6% menjadi 23% populasi.

Tetapi setelah itu, jumlah kelas menengah menyusut lebih dari 8,5 juta jiwa, sehingga pada 2023 hanya tersisa sekitar 52 juta jiwa atau 18,8% populasi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti