Menimbang Untung Rugi Bea Keluar Batu Bara yang Diterapkan Mulai 1 Januari 2026

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/bar
Kapal tongkang pengangkut batu a melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (2/12/2025). Kementerian ESDM menetapkan Harga Batu a Acuan (HBA) periode pertama Desember 2025 mayoritas menguat, kecuali untuk batu a kalori tinggi yang turun menjadi 98,26 dolar AS per ton dari 102,03 dolas AS per ton pada periode kedua November 2025.
17/12/2025, 20.05 WIB

Pemerintah berencana menerapkan kebijakan bea keluar batu bara pada 1 Januari 2026. Rencana ini mencuat di tengah tekanan penerimaan negara dan agenda transisi energi.

Di satu sisi, instrumen ini menjanjikan tambahan kas negara yang cepat. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar yaitu apakah bea keluar benar-benar menjawab persoalan struktural sektor batu bara, atau sekadar menjadi penopang fiskal sementara.

Bagaimana untung rugi bea keluar batu bara tersebut?

Bersifat Sementara

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengatakan dalam jangka pendek, bea keluar batu bara berpotensi menambah pendapatan negara. Terutama saat harga global tinggi dan ekspor masih kuat.

“Instrumen ini relatif mudah dipungut dan dapat menangkap windfall profit, sehingga efektif sebagai penopang penerimaan fiskal ketika basis pajak lain melemah,” kata Rizal kepada Katadata.co.id, Rabu (17/12).

Namun, efektivitasnya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Rizal menyebut. penerimaan sangat bergantung pada siklus harga global.

Sementara itu, risiko penurunan daya saing ekspor, penghindaran pajak, serta melemahnya investasi sektor batu bara cukup nyata. Terutama di tengah percepatan transisi energi.

Untuk itu, Rizal mengatakan bea keluar sebaiknya diperlakukan sebagai instrumen transisional, bukan sumber pendapatan jangka panjang.

Untuk ketahanan fiskal ke depan, menurut Rizal, pemerintah perlu mengandalkan instrumen yang lebih struktural. “Ini seperti reformulasi royalti berbasis keuntungan, penguatan pajak sektor ekstraktif, dan diversifikasi sumber penerimaan negara,” ujar Rizal.

Bukan Jawaban Masalah Batu Bara

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai bea keluar bukan menjadi jawaban utama dari persoalan batu bara. Ia mengatakan bentuk pajak yang tepat untuk batu bara harus menempel pada sumber masalah yakni emisi dan polusi.

“Biaya ekspor dapat membantu penerimaan, tetapi ia tidak menggantikan harga karbon dan pungutan polutan lokal yang lebih presisi,” ujar Syafruddin.

Syafruddin mengatakan Indonesia memiliki fondasi regulasi pajak karbon, infrastruktur bursa karbon, dan kerangka penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau royalti yang terus diperbarui.

Ia mengatakan, tantangannya terletak pada konsistensi. “Negara perlu berhenti mengirim sinyal ganda yakni mengoreksi risiko lingkungan di satu sisi, namun mempertahankan batu bara murah di sisi lain,” kata Syafruddin.

Syafruddin mengatakan pemerintah perlu menyusun paket pajak yang selaras dengan kemandirian energi dan pertumbuhan inklusif. Dengan begitu bea keluar batu bara bisa berubah dari sekadar pungutan komoditas menjadi instrumen transisi yang kredibel.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti