Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan nama Nurtanio untuk pesawat transportasi nasional N219 di Hari Pahlawan 10 November lalu. Nurtanio diambil dari nama perintis industri pesawat terbang Indonesia, Laksamana Muda (Anumerta) Nurtanio Pringgoadisuryo.
Nurtanio merupakan pembuat pesawat RI pertama “all metal and fighter” bernama Sikumbang. Dalam penerbangan uji coba, Nurtanio gugur. "Laksamana Muda Udara (Anumerta) Nurtanio Pringgoadisuryo adalah pahlawan bangsa yang berjuang tanpa pamrih," kata Jokowi dalam peresmian N219 di Lapangan Udara Halim Perdana Kusumah, Jumat (10/11).
(Baca: Jokowi Dorong Pemasaran Pesawat N-219 'Nurtanio')
Pesawat N219 merupakan hasil kerjasama antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak 11 tahun lalu. Hingga kini, rangkaian proses harus dijalani Nurtanio sebelum dapat diproduksi secara massal.
Hingga saat ini, proses uji terbang masih dilakukan, Nurtanio harus memiliki total jam terbang hingga 300 jam. Setelah uji terbang beres dan pesawat laik terbang, PT DI akan mendapatkan sertifikasi tipe. Setelah itu, PT DI perlu mengurus proses mendapatkan sertifikat produksi. Memang bakal butuh waktu panjang agar burung besi Nurtanio dapat menjelajah pasar domestik dan luar negeri.
(Baca juga: Hingga 2035, Pemerintah Fokus Kembangkan Industri Dirgantara
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Presiden Joko Widodo bersama anak-anak Sekolah Dasar meresmikan pemberian nama “Nurtanio” untuk pesawat N219 di Base Ops, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (10/11).
ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra
Captain Esther Gayatri Saleh sebagai pilot yang pertama kali menerbangkan N219 di Landasan Pacu Bandara Husein Sastranegara Bandung, Rabu, 16 Agustus 2017. Uji coba penerbangan perdana sekitar 20 menit mengitari kawasan Batujajar dan Waduk Saguling, Bandung.
ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra
N219 merupakan pesawat penumpang kapasitas 19 penumpang, digerakkan dua mesin turboprop Pratt and Whitney yang mengacu kepada regulasi CASR Part 23 Angkutan Udara. Pesawat N219 diperkirakan memasuki tahapan produksi dan dikomersialkan pada awal 2019.
ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra
Tahapan uji coba N219 masih akan berlanjut hingga 2018. Dari total ketentuan jam terbang hingga 300 jam, pesawat tersebut baru terbang selama 8,5 jam saat diresmikan pada 10 November lalu.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Proses perakitan N219 Nurtanio di Hanggar Assembly Line N219, Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/9). Pesawat N219 merupakan hasil kerjasama antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak 11 tahun lalu.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Proyek N219 menghabiskan dana Rp 827 miliar, berasal dari APBN melalui LAPAN sebesar Rp 600 miliar dan dari internal PTDI sebesar Rp 227 miliar. Hingga akhir 2018, pesawat yang terus melakukan proses uji coba diperkirakan menyedot dana hingga Rp 1,1 triliun.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Nurtanio- N219 memiliki tubuh yang mungil, dapat memenuhi kebutuhan logistik di daerah terpencil sebagai tol laut dan feeder atau pengisi penerbangan lokal dan regional.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Insinyur PTDI sedang memeriksa tampilan avionic Garmin G-1000 di dalam kokpit pesawat N219 di Hanggar Assembly Line N219, Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/9). Proses pembuatan N219 melibatkan insinyur dan teknisi yang merupakan orang Indonesia.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Pembuatan Nurtanio masih menggunakan komponen dan bahan baku impor. Rencananya, PT DI akan menambah kandungan lokal hingga mencapai 60% mulai tahun depan.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Apabila berhasil mendapatkan setifikat produksi, rencananya PTDI akan meningkatkan kapasitas produksi 30-40 unit pesawat per tahun. Harga jual Nurtanio diperkirakan US $ 6 juta per unit.