Layar putih berukuran 7x3 meter terbentang, di ujungnya tampak dua buah tiang bambu digunakan sebagai kaki yang menancap di lapangan. Layar tancap, demikian orang-orang menyebut hiburan rakyat yang satu ini.
Kini nasib layar tancap sebagai sarana hiburan rakyat nyaris mati digerus film digital. Segelintir penikmat film-film lawas seperti Muhammad Zaki, mencoba melestarikannya dan menjajakan bioskop keliling ini sebagai hiburan untuk kaum pinggiran.
Menggunakan mobil bak terbuka, ia angkut seluruh perlengkapan seperti layar raksasa, tenda, proyektor 35mm dan sistem pengeras suara. Ia bersikeras melestarikan layar tancap dengan menggelar pertunjukan keliling dari kampung ke kampung.
Format film 35 mm sejatinya sudah lama ditinggalkan industri perfilman. Sineas muda kini lebih memilih format digital, karena lebih murah dan mudah, serta punya resolusi lebih baik. Tapi buat sebagian, teknologi lawas memiliki kualitas yang unik.
Di era keemasannya, layar tancap adalah primadona hiburan kaum urban. Terutama pada dekade 1970 hingga 1990an, bioskop keliling menjadi kesempatan buat kaum muda untuk berkumpul dan bercengkrama. Namun menyusul kehadiran televisi, bioskop modern dan film digital, layar tancap mulai ditinggalkan penggemarnya.
Terancam mati perlahan, tradisi layar tancap mencoba bertahan hidup lewat nostalgia masa lalu, juga menjadi semacam bahasa perlawanan terhadap digitalisasi yang membekap dunia sinema dan hiburan saat ini. Namun buat kaum miskin, bisokop keliling tetap bernilai sama seperti beberapa dekade silam, yakni sebagai ajang hiburan sekaligus berkumpul dan bercengkrama.