Foto: Ingin Pulang. Potret ODGJ di Sudut Bogor

Muhammad Zaenuddin|Katadata
25/9/2021, 07.00 WIB

Kesehatan jiwa masih menjadi masalah signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta mengidap skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami dimensia.

Di Indonesia, jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 memperlihatkan angka prevalensi rumah tangga yang memiliki orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ naik. Dari 1000 rumah tangga terdapat tujuh rumah tangga dengan ODGJ. Diperkirakan sekitar 450 ribu mengalamai ODGJ berat. Tentu ini berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia dalam jangka panjang.

Situsai seperti ini tercermin di Yayasan Bina Tauhid Darul Miftahudin. Kapasitas lembaga kesejahteraan sosial yang berdiri sejak 2010 ini tak lagi ideal menampung ODGJ. Sebanyak 150 orang lebih harus berbagi dalam tiga ruang kamar.

Bina Tauhid berdiri di atas lahan 1.200 meter persegi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kesulitan kerap dialami pengurus yayasan dalam membagi porsi makan, air, dan keperluan sehari-hari pasien ODGJ karena fasilitas yang minim.

Selama bermalam di LKS yang berlokasi tak jauh dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) itu, saya mendengar paisen kerap menjerit di tengah malam. “Aku ingin pulang. Pulang. Ingin main sama anakku, kangen lihat foto keluarga,” suara-suara seperti itu yang terdengar Senin pekan lalu, 13 September 2021.

Rita, seorang warga binaan berusia 45 tahun, menyatakan sanga rindu susana rumah. “Saya sudah sembuh, tapi kok keluarga saya tidak juga dijenguk,” kata Rita dari balik jeruji besi yang dibuat untuk mengindari pasien melarikan diri.

Akbar, pengurus di sana yang merupakan mantan pasien, mengatakan upaya melarikan diri sering dilakukan, mulai dari menjebol atap hingga merusak pagar yang terbuat dari bambu di tepi sungai halaman belakang. “Saya kadang bingung. Ada beberapa yang sudah membaik kejiwaannya, namun tidak sedikit pihak keluarga yang menolak kepulangan mereka,” kata lelaki 25 tahun ini.

Menurut dia, kabar dari pihak keluarga akan sangat membantu para tenaga memberi layanan kesehatan jiwa untuk mendiagnosa dan menentukan perawatan yang tepat. Harapannya, kualitas hidup ODGJ berangsur membaik dan menjadi manusia yang produktif dan mandiri. Untuk itu, pihak yayasan terus meningkatkan kompetensi para tenaga layanan kesehatan jiwa secara konsisten.