Langit pagi terlihat cerah. Semburat cahaya menerobos celah-celah pepohonan, menambah eksotisnya salah satu hutan tempat berkoloninya lebah penghasil madu di Teluk Betung, Kota Bandar Lampung, Lampung. Nyanyian Tonggeret dan suara angin saling mengisi ruang, pertanda musim hujan segera berakhir.
Berawal dari kekhawatiran sulit mendapatkan madu murni, seorang warga Kota Bandar Lampung, Isnina, mulai belajar secara otodidak untuk membudidayakan lebah madu pada 2016. Tiga tahun kemudian, dengan memanfaatkan lahan seluas satu hektare, ia mulai membuka usaha perkebunan ternak Lebah Madu Suhita.
Ada beberapa jenis lebah yang dibudidayakan, yaitu Apis Mallifera, Apis Dorsata, dan Trigona Utama yang dapat menghasilkan 200 kilogram madu setiap 40 hari. Usai panen, madu dibawa ke rumah kemas, kurang lebih 20 menit dari hutan. Di rumah kemas ini, madu ditimbang, dicicipi kemudian dilakukan pengujian Organoleptic sebelum dilepas ke pasar.
Dengan menjual produk melalui ekosistem digital seperti yang tengah digalakkan pemerintah untuk industri kecil dan menengah (IKM), Madu Suhita dapat meraup keuntungan lebih besar dibanding berjualan dengan cara konvensional. Dalam satu bulan, Isnina mampu menjual 2.000 sampai 2.700 botol melalui e-commerce dan media sosial. Sedangkan bila dengan cara konvensional hanya terjual 500 botol.
Saat ini wanita kelahiran 1985 itu berencana untuk melakukan ekspansi ke pasar global. "Kami sedang difasilitasi pemerintah untuk dapat sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai salah satu syarat untuk bisa ekspor", ujar Isnina.
Program digitalisasi ini sejalan dengan langkah pemerintah yang mendorong pelaku IKM bergabung ke ekosistem digital melalui program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. Pemerintah menargetkan ada 30 juta UMKM atau sekitar 50 persen dari populasi, yang bergabung ke ekosistem digital pada 2024.
Foto dan teks : Rivan Awal Lingga