Gemuruh suara belasan truk berlalu-lalang, membuat jalanan di sepanjang Desa Muara sering bergetar. Tak hanya itu, truk yang hilir mudik melindas jalanan, membuatnya menjadi sangat berdebu dan gersang di siang hari. Truk tersebut membawa gundukan tanah yang menjadi material pembangunan Pantai Indah Kapuk 2. Kawasan perumahan elite yang dirancang oleh PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk yang berganti nama menjadi PT Pantai Indah Kapuk Dua.
Terdapat tiga desa yang berbatasan langsung dengan proyek pembangunan PIK 2, yaitu Desa Muara, Desa Lemo, dan Desa Salembaran. Ketiganya berada di wilayah Kabupaten Tangerang. Salah seorang warga Desa Muara bernama Aeni mengatakan, suara gemuruh truk tersebut kerap mengganggu warga desa sekitar.
Selain berisik, desiran debu dari jalanan dan material yang diangkut truk kerap tersapu ke rumah warga yang posisinya lebih rendah dari jalanan. Apalagi pengerjaan proyek kerap dilakukan hingga malam hari. “Lalu lintas truk di sini cukup ramai, apalagi saat malam suara truk-truk yang lewat mengganggu warga yang ingin istirahat,” kata Aeni, warga yang tinggal di Desa Muara, saat ditemui Katadata, Senin (31/7).
Namun demikian, suara bising truk tersebut hanya sebagian kecil dari dampak negatif pembangunan PIK yang dirasakan warga. Lebih jauh, pembangunan PIK 2 menyebabkan warga kehilangan akses jalan, banjir, bahkan kehilangan pekerjaan. Berdasarkan pantauan Katadata, pengembang PIK 2 membangun tembok setinggi 5 meter yang membatasi perumahan elite dengan warga asli Desa Muara, Desa Limo dan sebagian Desa Salembaran. Tembok pembatas sepanjang 6 km tersebut menyebabkan akses jalan tikus yang biasa digunakan warga tertutup.
Akibatnya, warga hanya bisa memanfaatkan jalan pipa sebagai satu-satunya akses untuk menuju jalan utama di depan Kompleks PIK 2. Jalur yang bisa dilalui warga tersebut berupa jalan kecil yang tidak tersambung dengan jalan utama PIK 2. Hal ini seperti menciptakan dua dunia yang berbeda lantaran warga desa maupun penghuni PIK 2 tidak akan bisa berada di jalan yang sama. “Kita sekarang kalau mau belanja, atau ke PIK 2 itu harus muter-muter, dulunya bisa lewat jalur tikus yang lebih cepat, sekarang jadi bisa 30 menit,” kata Aeni. Pembangunan tembok yang menjulang tinggi tersebut juga sempat viral di media sosial. Dalam video yang diunggah akun TikTok @satelitegoogleearth, nampak Desa Salembaran yang kini dikelilingi dengan tembok tinggi sebagai pembatas dengan PIK 2.
Tak hanya itu, pengerukan oleh pengembang menyebabkan sumber pencarian warga hilang. Hal itu dialami oleh Agus, salah satu warga yang berprofesi sebagai nelayan. Dulu, ia adalah nelayan yang memanfaatkan hasil tangkapan dari rawa-rawa dan laut sekitar. “Dulu mah enak bang, lah sekarang kita nyari ikan aja masih harus kucing-kucingan sama satpam.” ujar Agus. Agus hanya satu dari 80 persen warga Desa Muara dan Lemo yang tadinya berprofesi sebagai nelayan. Kini, mereka semua mengaku kehilangan mata pencahariannya.
Oleh sebab itu, Agus sangat menyayangkan adanya proyek PIK 2. Pasalnya, pihak pembangun juga tidak memberikan ganti rugi kepada warga-warga yang sudah dimatikan mata pencahariannya. “Makanya, adanya proyek ini sangat menyulitkan warga. Hasilnya empang jadi diuruk, akses jalanan susah. Kalau jadi ayam sudah engap-engapan,” tuturnya. Menurut Agus, banyak warga yang takut dan tidak bisa menyuarakan protes terkait kerugian yang telah dirasakan. Dia berharap, ke depannya pemerintah bisa lebih memperhatikan permasalahan seperti ini.
Permasalahan yang terjadi di desa-desa itu sesungguhnya bukan sebuah kebetulan. Namun merupakan sebuah skema yang telah dirancang sedemikian rupa sesuai dengan perencanaan yang telah digagas. Tindakan represif, kriminalisasi, hingga penggusuran paksa, merupakan praktik-praktik kekuasaan yang menyimpang untuk mengakomodasi kepentingan pemodal. Dengan kata lain, perampasan ruang hidup merupakan implikasi dari kepentingan kekuasaan dan akumulasi keuntungan. Sementara penduduk setempat menjadi korban. Mereka tak dapat apa-apa selain bising dan debu jalanan.