Suara angin berembus menerpa pohon-pohon di pagi hari. Sejumlah petani mulai berangkat memanen kopi robusta (coffea canephora) di kawasan hutan Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Berjalan mendaki gunung lebih dari empat kilometer dengan kondisi gerimis, tak menjadi penghalangan bagi para petani itu.
Kopi robusta di kawasan Gunung Karang dengan ketinggian 1.768 mdpl tidak ditanam dengan menggunakan metode sistem pagar, melainkan tumbuh liar di kawasan hutan. Pohon-pohon kopi liar di kawasan itu diperkirakan sudah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda pada abad ke-17.
Apandi merupakan petani muda yang masih bertahan memproduksi kopi dengan cara tradisional di daerah itu. Sang ayah mengajarkannya memanen kopi sejak usia 15 tahun. Tak banyak petani kopi di daerah tersebut yang memiliki kemampuan untuk memanen dan mengolah secara tradisional hingga menghasilkan produk biji kopi yang dikelola mandiri.
Proses memanen biji kopi di Gunung Karang juga terbilang cukup unik. Petani tak hanya memanen biji kopi yang ada di bagian bawah, namun mereka memanen dengan memanjat pohon yang mencapai ketinggian empat hingga 10 meter.
Pada masa panen raya yang biasa dilakukan pada Juni hingga Juli itu, Apandi dapat mengumpulkan kopi hingga dua ton. Proses panen tersebut dilakukannya secara bertahap di lahan seluas lima hektare.
Petani muda berusia 32 tahun tersebut memberdayakan orang-orang di rumahnya untuk membantu menjemur kopi dengan mengandalkan sinar matahari. Selain itu, ia menciptakan alat sederhana untuk mengupas kulit buah kopi.
Kopi Gunung Karang memiliki rasa yang unik, terasa ringan dan wangi. Apandi menyebutkan rasa tersebut timbul akibat faktor ketinggian buah kopi dan tanah subur di kawasan Gunung Karang.
Pamor kopi Gunung Karang mulai meningkat seiring dengan bermunculannya kedai-kedai kopi di daerah Pandeglang. Di sejumlah kedai, kopi kualitas premium ini dipasarkan dengan harga Rp 55.000 hingga 100.000 per kilogram.