Matahari perlahan memancarkan cahaya lembutnya. Petani di pesisir Pantai Kusamba, Bali, mulai beranjak untuk beraktivitas. Berbeda dengan petani padi yang membutuhkan lahan sawah, petani di sini hidup bergantung dari pasir pantai dan air laut.
Mereka adalah petani garam. Setiap hari bekerja dari pagi hingga sore hari demi menghasilkan butir-butir garam dari air laut yang melimpah dengan cara tradisional, khas Kusamba.
Di kawasan Banjar Tribuana, Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, I Wayan Purna, salah satu petani garam di sana, berhasil menghidupi keluarganya berkat matapencaharian ini. Konsumennya datang silih berganti dari warga sekitar hingga tamu luar negeri.
Ada sejumlah hal yang membuat garam Kusamba diminati beragam konsumen. Yang paling kasat mata ada pada karakteristiknya, dengan warna putih bersih berkilau bak kristal dengan buliran yang sedikit lebih besar dari garam pabrik. Rasanya tidak terlalu asin, lebih gurih, dan ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa maka akan ada sedikit rasa manis.
Wayan Purna bercerita, karakteristik garam Kusamba ini tak pernah berubah meskipun ia sendiri tak mengetahui sejarah produk ini lahir. Yang pasti, ia adalah generasi keempat dari keluarganya yang menggeluti pekerjaan ini.
"Ini turun-temurun. Saya dari 1998 bantu bapak, yang meneruskan dari kakek. Setahu saya, dari sebelum kakek saya, buyut sudah mulai menggeluti. Seingat saya, sepanjang Pantai Kusamba pada tahun 1980 semua aktivitas warganya masih bertani garam," katanya.
Dengan cuaca terik tanpa terhalang mendung, hujan, dan angin kencang, ia bisa memanen 20 kilogram garam. Jika panen rutin dilakukan, ia memperkirakan dapat mengumpulkan 400 kilogram garam dalam satu bulan.
"Selama ini para petani menyetor ke koperasi 100 kg per bulan. Sisanya saya tampung dalam kantung plastik untuk disiapkan kalau ada pembeli. Biasanya, individu bisa beli sampai 50 kilogram," ujar Wayan Purna.
Kepada koperasi, tiap anggota menjual garam dengan harga Rp 11 ribu per kilogram, sementara untuk pembeli langsung dijual Rp 25 ribu per kilogram, tentunya dengan kualitas lebih baik. Ini lantaran lebih lama garam dibiarkan maka akan semakin kering dan gurih. Dalam sebulan apabila seluruh hasil panennya habis maka ia dapat mengumpulkan uang Rp 8,6 juta bersih.
Wayan Purna tak tahu pasti peruntukan garam-garam yang dibeli tamu tersebut. Namun dari cerita-cerita pelanggan, biasanya garam itu digunakan mulai dari konsumsi individu, bahan masakan di restoran, hingga cendramata wisatawan.