Darurat Pajak Perusahaan Digital, Saatnya Negara Berkembang Bersuara

Alexander Ishchenko/123rf
Penulis: Jose Antonio Ocampo
9/11/2019, 09.30 WIB

Dua Pilar dalam Proposal Reformasi Pajak OECD

Proposal reformasi dari OECD dibuat berdasarkan dua "pilar". Pilar pertama, menetapkan dengan jelas di mana laba perusahaan dihasilkan untuk keperluan perpajakan.

Cita-cita yang diperjuangkan ICRICT sebagai ketua komisi reformasi pajak selama bertahun-tahun adalah menetapkan perusahaan multinasional sebagai perusahaan tunggal. Artinya, total labanya harus dikenakan pajak di tempat mereka beroperasi sesuai dengan faktor-faktor objektif seperti pekerjaan, penjualan, konsumen digital, dan sumber daya alam yang digunakan.

Namun, proposal OECD tidaklah ambisius ataupun cukup adil dalam hal ini. Bagian laba yang akan didistribusikan kembali secara internasional bakal terbatas pada apa yang disebut bagian "residual" dari total laba perusahaan multinasional.

Yang lebih buruk, prinsip ini hanya akan berlaku bagi perusahaan multinasional yang sangat besar dan alokasi keuntungan hanya akan bergantung pada volume penjualan, tidak termasuk lapangan kerja dan faktor lain yang akan menguntungkan negara-negara berkembang.

Pilar kedua adalah pembentukan pajak perusahaan minimum yang efektif di tingkat global. Dengan menanggalkan insentif pajak sebagai amunisinya, beberapa negara berkembang khawatir tidak akan lagi dapat menarik investasi dari perusahaan multinasional. Namun, menurut penelitian IMF, bukti bahwa insentif tersebut menarik investasi masih kontroversial.

Perlu Konsensus Internasional untuk Tarif Pajak

Yang terpenting, jika komunitas internasional menyetujui tarif yang cukup tinggi (ICRICT meminta setidaknya 25%, seperti tarif pajak rata-rata di negara maju), hal ini akan mengakhiri persaingan ke level dasar. Langkah ini akan menghapus alasan utama keberadaan (raison d'être) surga pajak, sambil memastikan bahwa semua negara memiliki akses ke sumber daya yang penting untuk pembangunan.

Dengan tidak adanya konsensus internasional, beberapa negara memilih untuk menemukan solusi alternatif. Ini seperti kasus Prancis yang akan mengenakan pajak 3% dari omset perusahaan di sektor digital.

Negara lain, contohnya Meksiko, sedang mempertimbangkan kemungkinan memaksa platform digital, seperti Uber atau Netflix untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan yang disediakan di negara tersebut.

Walaupun ini adalah inisiatif yang baik untuk memungut pendapatan yang luput saat ini, tidak mungkin memecah-belah ekonomi digital dan menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan reformasi. Alasannya, semakin banyak perusahaan yang menggunakan teknologi digital sebagai bagian dari kegiatan komersial mereka. Dan negara tidak akan keluar dari defisit dan penghematan berulang dengan sekali langkah.

Sudah saatnya negara-negara berkembang bergerak. Sebab, peningkatan sumber daya fiskal menjadi satu-satunya cara meningkatkan akses ke kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender atau perjuangan melawan perubahan iklim.

Jika kepala negara dan menteri keuangan negara-negara tersebut terus meremehkan betapa pentingnya perdebatan ini, mereka akan segera menemukan diri mereka dipaksa untuk menerima sistem perpajakan internasional baru yang tidak sesuai dengan kemauan mereka. Pemenangnya akan selalu sama, tetapi kemudian sudah terlambat untuk mengeluh.

Halaman:
Jose Antonio Ocampo
Presiden Komisi Independen untuk Reformasi Perpajakan Perusahaan Internasional (ICRICT)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.