Bukan sekali saja, Indonesia diprediksi menjadi salah satu powerhouse perekonomian dunia. Tahun lalu, firma konsultan global Price Waterhouse Cooper (PwC) menerbitkan laporan komprehensif berjudul “The Long View: How will the global economic order change by 2050?”.
Dalam analisis ini, Indonesia yang pada 2016 berada di peringkat ke-8 ekonomi terbesar dunia, pada 2050 diproyeksikan naik menjadi peringkat ke-4, setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat.
Pada September 2012, McKinsey Global Institute (MGI) merilis laporan sejenis berjudul “The archipelago economy: unleashing Indonesia’s potential”. Isinya kurang lebih memprediksi hal yang sama, yaitu peningkatan perekonomian Indonesia, dari peringkat ke-17 pada 2012 menjadi peringkat ke-7 pada 2030.
Dua laporan ini mewakili begitu banyak analisis yang optimistis terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Meski membesarkan hati, jangan membuat kita terlena (complacent), karena ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan guna merealisasikan potensi tersebut.
Kita perlu memperhatikan dengan seksama berbagai asumsi yang dipergunakan dalam melakukan proyeksi tersebut. Dalam laporan MGI secara eksplisit dijelaskan, ada dua syarat besar guna merealisasikan potensi perekonomian Indonesia.
Pertama, meningkatkan produktivitas perekonomian, yang salah satunya ditandai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja yang bertambah sekitar 60 persen pada periode 2010 hingga 2030 nanti.
Kedua, mampu memperbaiki kesenjangan perekonomian agar pencapaian pembangunan tak porak-poranda akibat kekacauan politik dan sosial. Hanya dengan dua cara tersebut, potensi menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia bisa terealisasi. Jika gagal diciptakan prasyarat tersebut, maka tentu saja potensi sulit direalisasikan
Sama seperti MGI, proyeksi PwC juga mengandaikan selama 30 tahun ke depan perekonomian kita bisa tumbuh di atas 7 persen. Sebuah asumsi yang pada hari ini sulit dibayangkan. Meski begitu, proyeksi tersebut menunjukkan betapa potensi perekonomian kita memang menjanjikan dan yang diperlukan adalah sebuah peta jalan untuk merealisasikannya, betapapun jalannya begitu terjal dan berliku.
Perangkap Pertumbuhan
Selama 4 tahun ini, kita berada dalam siklus pertumbuhan yang terus menurun. Pada 2011 lalu kita berada pada puncak pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen akibat booming harga komoditas. Setelah itu, seiring dengan jatuhnya harga komoditas, pertumbuhan ekonomi juga terus menyusut, menjadi 6,2 persen pada 2012 dan turun lagi menjadi 5,8 persen pada 2013. Pada 2015 kita berada di titik pertumbuhan terendah sebesar 4,88 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Setelah itu, pola pertumbuhan mulai recovery, namun relatif lambat. Pada 2016 naik menjadi 5, 03 persen, pada 2017 menjadi 5,07 persen dan 2018 naik lagi menjadi 5,17 persen.
Meski mulai memasuki fase peningkatan, terkesan sangat lambat. Rasanya kita terperangkap pada pola pertumbuhan moderat sebesar 5 persen. Fakta ini tak bisa dihindari. Dunia tengah mencari titik keseimbangan dan fase stabilitas yang disertai pertumbuhan tinggi telah berakhir. Pola pertumbuhan global berubah drastis menjadi penuh ketidakpastian, tak sinkron satu kawasan dengan kawasan lain, serta pola pertumbuhan terus merosot.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok hanyalah puncak gunung es dari fase pencarian titik temu perekonomian global ini. Dan nampaknya, fase pertumbuhan global ke depan penuh dengan dinamika yang menantang. Jika dalam situasi yang tak menguntungkan ini perekonomian kita masih bisa tumbuh di atas 5 persen, sudah merupakan kinerja yang baik.
Masalahnya, untuk meraih mimpi menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dan menjadi negara maju, maka kita perlu meningkatkan secara bertahap pertumbuhan kita menjadi rata-rata 6-7 persen dalam 10 tahun ke depan. Tentu tak mudah, namun perlu upaya yang sistematis dan berkelanjutan agar kita terbebas dari “perangkap negara berpenghasilan menengah”.
Selama 4 tahun terakhir, pemerintah sangat progresif membangun infrastruktur. Dana yang dialokasikan juga meningkat setiap tahun. Apakah cukup? Tentu tidak.
Masalahnya, infrastruktur adalah prasyarat pokok yang harus dipenuhi. Meski tak mencukupi, namun dibutuhkan. Sehingga, mau tidak mau harus diupayakan.
Pertanyaannya, apa setelah pembangunan infrastruktur? Saatnya menyusun peta jalan membangun basis perekonomian yang produktif dan berdaya saing, ditandai dengan peningkatan penerimaan dari sektor manufaktur berorientasi ekspor. Bagaimana kita bica mencapainya?
Produktivitas
Salah satu kunci agar kita bisa “naik kelas” menjadi bagian dari kelompok negara maju adalah membangun basis produksi dengan bertumpu pada prinsip produktivitas. Produktivitas adalah ukuran untuk menilai seberapa kita mampu menghasilkan luaran (output perekonomian) dari sumber daya (faktor produksi) yang kita miliki.
Paling tidak, ada dua sumber daya yang perlu kita upayakan agar mendorong perekonomian domestik. Pertama, tenaga kerja yang selama ini dianggap menjadi salah satu kendala pokok dalam meningkatkan produksi domestik. Kedua, modal yang masih relatif langka sehingga kita menggantungkan ketersediaannya dari pihak eksternal.
Lemahnya produktivitas perekonomian domestik ditandai dengan tak berkembangnya sektor industri manufaktur yang menghasilkan produk berorientasi ekspor. Defisit neraca transaksi berjalan pada 2018 yang nilainya sangat besar, yaitu sekitar US$ 31 miliar atau terburuk sejak 1975 merupakan early warning dalam membangun perekonomian domestik.
Dalam dua tahun terakhir, defisit transaksi berjalan terus membesar. Jika pada 2016 lalu hanya sebesar (-1,82) persen, pada 2017 sebesar (-1,6) persen, pada 2018 lalu melonjak menjadi (-2,98) persen.
Defisit transaksi berjalan menunjukkan ketergantungan kita pada sumber daya eksternal dalam mendorong perekonomian kita. Dengan kata lain, jika ingin tumbuh lebih tinggi, maka diperlukan transformasi perekonomian agar sumber daya domestik lebih kuat.
Pertama, meningkatkan ekspor non-migas agar lebih banyak penerimaan dalam bentuk valuta asing masuk pada perekonomian kita. Neraca non-migas memang masih surplus, namun jumlahnya terus menurun. Pada 2016 lalu neraca non-migas surplus sebesar US$ 19 miliar dan pada 2018 lalu turun menjadi US$ 11 miliar.
Ekspor produk non-migas naik, namun kalah dengan kenaikan impor. Penerimaan devisa dalam jumlah besar dari neraca barang non-migas akan menjadi penanda daya saing sektor industri. Penerimaan yang masuk menandakan produk non-migas kita punya daya saing dan mampu menopang aktivitas perekonomian domestik, melalui penciptaan lapangan kerja.
Kedua, meningkatkan penerimaan dari sektor pariwisata yang memang dalam beberapa tahun terakhir sudah mengalami peningkatan cukup signifikan. Jika pada 2016 lalu, wisatawan asing yang datang sekitar 12 juta, pada 2018 lalu sudah mencapai 14 juta dari 15 juta yang ditargetkan.
Meski meningkat, namun bila dibandingkan dengan jumlah wisatawan asing negara tetangga, kita masih sangat tertinggal. Malaysia misalnya, jumlah wiasatawan yang datang mencapai 25 juta, sementara Thailand sekitar 35 juta. Perlu upaya yang terarah untuk terus meningkatkan jumlah wisatawan asing ke berbagai destinasi wisata yang disiapkan secara komprehensif, mulai dari transportasi, perhotelan serta sarana logistik lainnya.
Ketiga, mengurangi beban neraca migas yang terus mengalami defisit dari tahun ke tahun. Jika pada 2016 lalu defisit neraca migas mencapai US$ 4,7 miliar, pada 2018 defisit melonjak menjadi US$ 11,5 miliar.
Untuk menopang dinamika perekonomian domestik, kita terus meningkatkan kebutuhan impor migas. Harus dicari jalan keluar yang komprehensif dari yang paling ideal, yaitu mengurangi penggunaan energi fosil melalui peningkatan produksi energi terbarukan hingga cara yang paling pragmatis, seperti membeli kilang minyak di negara lain sehingga impor migas akan tercatat sebagai penerimaan pemerintah.
Keempat, membangun basis industri penghasil bahan baku secara masif. Kita tahu, kebutuhan konsumsi dan investasi kita masih sebagian besar dipenuhi dari bahan baku dan bahan penolong impor. Tanpa ada upaya membangun industri penghasil bahan baku, kita akan terus tergantung pada impor sehingga membebani neraca transaksi berjalan.
Pendek kata, untuk mencapai mimpi menjadi negara maju, tak bisa membiarkan dinamika perekonomian bergerak sendiri tanpa arah dan strategi. Potensi memang besar, namun tantangan juga tak ringan.
Karena itu, diperlukan upaya yang sistematis dan berkelanjutan, agar potensi menjadi negara maju, salah satunya ditandai dengan naiknya peringkat perekonomian dari sisi output. Tak ada jalan yang mudah, namun bukan berarti tak mungkin. Hanya perlu kerja keras.
(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.