Sebagai petahana pada Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo tidak saja mendapat sorotan atas kinerjanya empat tahun terakhir. Dia juga memperoleh perhatian atas apa yang akan dilakukannya lima tahun ke depan, termasuk di bidang kemaritiman.
Poros Maritim Dunia, sejak pertama kali dikumandangkan 2014 silam, berhasil menyajikan kebaruan, “magnet”, sekaligus corak pembeda antara calon Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto kala itu. Namun pada Pemilu 2019 kali ini, sebagian kalangan justru menilai visi maritim Jokowi tidak sekokoh saat mencalonkan diri pada 2014.
Ihwalnya sederhana. Frasa Poros Maritim Dunia tidak ditemukan di dalam dokumen visi-misi yang diberi judul Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong tersebut. Lalu, penggunaan kata: maritim, kelautan, nelayan, termasuk tol laut dinilai sangat minim, masing-masing hanya ditemukan satu atau tiga kali saja. Pendapat ini sah, namun tidak lengkap.
Fondasi
Meski belum sempurna, pemerintahan Joko Widodo telah menancapkan jangkar kemaritiman yang kokoh kurun empat tahun terakhir. Pertama, meyelamatkan kekayaan sumber daya laut, tidak terkecuali perikanan. Pasalnya, selama berpuluh-puluh tahun, kapal-kapal ikan asing seolah tak pernah jera mencuri ikan di perairan Indonesia. Sekarang, praktik merugikan nelayan Indonesia itu tidak lagi mudah dilakukan.
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menyebutkan mulai dari November 2014 hingga Agustus 2018 sebanyak 488 kapal pencuri ikan ditenggelamkan. Saat ini, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, potensi lestari ikan di laut Indonesia mencapai 12,5 juta ton. Padahal sebelumnya, berpuluh-puluh tahun potensi ikan Indonesia hanya satu digit: sekitar 5, 6, atau 7 juta ton saja.
Fondasi kedua adanya Kebijakan Kelautan Indonesia.
Laut Indonesia terlalu luas untuk dikelola oleh satu-dua orang saja. Bahkan, pekerjaan rumahnya terlalu berat untuk diselesaikan oleh satu-dua rezim pemerintahan. Celakanya, selama berpuluh-puluh tahun, tak ada “peta jalan” yang memastikan agar kerja besar dan berat tersebut diselesaikan secara terencana, tuntas, dan berkesinambungan oleh tiap-tiap rezim pemerintahan.
Setelah lebih 70 tahun merdeka, baru kali ini Indonesia memiliki dokumen pemandu pembangunan kelautan melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.
Fondasi ketiga adalah konektivitas laut.
Sebagai negara kepulauan-tropis terbesar dan khas Indonesia, konektivitas antarpulau menjadi salah satu kunci pengamalan sila ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pembangunan yang berpusat di Pulau Jawa selama berpuluh-puluh tahun telah menjauhkan masyarakat di pulau kecil, di pulau terdepan, dan di Timur Indonesia untuk mendapatkan layanan: transportasi antarpulau yang layak dan biaya logistik yang rendah.
(Baca: Data Kelautan Tuntas, Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia)
Sekarang, trayek kapal perintis terus bertambah: dari 84 di 2015 naik menjadi 113 trayek di 2018. Sama halnya dengan tol laut: dari sebelumnya hanya tiga trayek, sekarang sudah menjadi 18 trayek.
Lalu, volume pengangkutan barang melalui laut juga berangsur meningkat. Kapasitas kargo yang di 2014 hanya 16,7 juta TEUs per tahun, telah membesar menjadi 19,7 juta TEUs per tahun di 2017. Terakhir, tersedianya skema pembiayaan non bank “Bank Mikro Nelayan” guna memacu tumbuh kembangnya usaha kelautan dan perikanan rakyat yang selama berpuluh-puluh tahun terhambat akses permodalan.
Kelanjutan
Visi maritim Jokowi lima tahun ke depan hendak “memanen” hasil: peningkatan kualitas hidup rakyat dan memajukan industri maritim nasional. Secara operasional, ada tiga agenda prioritas.
Pertama, memperkuat manusia Indonesia dengan kultur inovasi. Inovasi tak mesti impor teknologi dari luar, tidak juga harus berbiaya mahal. Paling penting adalah tumbuhnya kreativitas yang dapat diaplikasikan guna meningkatkan nilai tambah produk kelautan dan kualitas hidup orang Indonesia.
Kedua, memperkuat perikanan budidaya. Faktanya, dari total 17,9 juta hektare potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di darat maupun laut, baru 1,3 juta hektare yang termanfaatkan. Itu pun dengan produktivitas rendah.
Padahal, tiga eksportir ikan papan atas dunia adalah (juga) negara yang berhasil mengembangkan perikanan budidaya. Ambil contoh Vietnam, selain ikan patin, komoditas udanglah yang mengantarkan Vietnam masuk tiga besar eksportir ikan di dunia. Inilah peluang yang harus diambil Indonesia.
Terakhir, memastikan diplomasi maritim Indonesia semakin strategis. Utamanya, untuk terlibat menjaga perdamaian di kawasan, menyelesaikan perjanjian batas wilayah dengan para tetangga, serta memperluas dan menekan bea masuk produk-produk perikanan dan kelautan Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor.
Maka, tidaklah benar visi maritim Jokowi kandas di 2019. Justru sebaliknya, berbekal kerja empat tahun terakhir, ditambah optimisme dan sederet inovasi yang tengah tumbuh kembang di kampung-kampung nelayan, Indonesia siap melaju menjadi Poros Maritim Dunia.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.