Bisnis Serba Digital (1): Untuk (Si) Apa?

Olah foto digital dari 123rf
Penulis: Ade Febransyah
Editor: Yura Syahrul
29/4/2018, 07.00 WIB

Digital adalah masa depan. Lihatlah perusahaan dengan market cap terbesar, yang 10 besarnya didominasi oleh perusahaan berbasis digital.

Per 31 Maret 2018, Apple secara konsisten kembali di posisi puncak dengan nilai pasar sekitar US$ 853 miliar dan diperkirakan bakal menjadi perusahaan pertama yang menembus market cap US$ 1 triliun. Di bawahnya ada Alphabet Inc, Microsoft, Amazon, Tencent, Alibaba, Facebook, yang semuanya berbasis digital. Peringkat 10 besar perusahaan paling inovatif di dunia juga didominasi oleh perusahaan berbasis digital.

Digitalisasi bisnis sudah menjadi fenomena yang tidak terhindari bagi pelaku bisnis. Gemerlapnya perusahaan kelas dunia berbasis digital menyilaukan kerumunan pelaku bisnis lainnya. Obsesi menjadi “The Next Alibaba” atau “The Next Amazon” tidak terhindari. Para start-up berparade menjadi digital company. para established company juga latah merangkul digitalisasi.  

Mengapa digital

Kenyamanan status quo membuat pelaku bisnis terlena. Konsistensi dalam penyampaian (delivery) produk dan layanan menjadi rutinitas bisnis dan ukuran performa bisnis.

Kenyataannya, masyarakat pengguna masih memiliki pekerjaan (jobs to be done, Christensen 2016) yang belum terselesaikan dengan baik. Sedangkan perusahaan dituntut memberikan solusi yang dapat menyelesaikan pekerjaan masyarakat tersebut.

Kebanyakan pelaku bisnis bermain dalam kerumunan; menawarkan solusi yang relatif satu sama lain untuk pekerjaan yang juga sama. Praktis tidak ada inovasi di sini. Kalaupun ada sifatnya inkremental saja.

Di sinilah para pendisrupsi menemukan peluang besar untuk berinovasi. Menyelesaikan pekerjaan yang sudah ada dengan jauh lebih baik, lebih cepat, lebih mudah dan lebih murah. Better, faster, easier dan cheaper! Itulah proposisi nilai yang ditawarkan.

Lihat saja apa yang ditawarkan pelaku disrupsi. Penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi mencoba menyelesaikan tugas berupa ‘memudahkan bepergian ke mana saja’. Penyedia layanan antar makanan/minuman berbasis apps yang juga menyelesaikan pekerjaan ‘mendapatkan makanan/minuman favorit selagi menikmati hiburan di rumah’ dengan lebih mudah, tidak repot dengan harga yang masih diterima.

Bagi mereka yang suka melancong, pekerjaan seperti ‘mendapatkan tempat akomodasi dengan harga lebih terjangkau’ juga sudah terjawab. Ke depan akan terus hadir beragam penyedia layanan apapun berbasis apps ini.

Kecenderungan berbisnis digital juga mulai menjangkiti pelaku konvensional. Ada semacam kelatahan di kalangan perusahaan yang sudah ada untuk bertransformasi digital. Tidak dipungkiri, terlihat ada kegagapan ketika harus mendigitalkan bisnisnya.

Digitalisasi bisnis tidak sekadar berinvestasi teknologi informasi. Digitalisasi bisnis harus didasari pada adanya oportunitas untuk meningkatkan kualitas proposisi nilai kepada masyarakat pengguna.

Digitalisasi bisnis adalah pernyataan hipotetikal yang perlu diuji. Benarkah dengan digitalisasi, bisnis akan sukses diterima pasar? Ya, jika digitalisasi bisnis mampu meningkatkan rasio performa produk/layanan terhadap harga produk/layanan secara drastis. Tidak, jika rasio tersebut tidak berubah, bahkan semakin kecil.

Sosok perusahaan digital

Digitalisasi bisnis dapat dilihat sebagai suatu inovasi terhadap model bisnis yang sedang dipraktikkan mayoritas pelaku bisnis. Ketika bicara model bisnis, paling tidak ada empat komponen utama di dalamnya.

Keempatnya adalah: What (apa yang ditawarkan), Who (siapa penggunanya), How (bagaimana merealisasikannya), dan Why (mengapa bisnis mendatangkan keuntungan). Sekarang perhatikan, dimana letak perbedaan model bisnis perusahaan berbasis digital dengan perusahaan kebanyakan?

Mulailah dengan Who. Lihat siapa pengguna dari pengguna taksi biasa dan taksi online. Apakah ada perbedaan? Tidak ada. Pengguna taksi online juga sudah menggunakan taksi biasa sebelumnya.

Apa “jobs to be done” (JTBD) mereka? Juga tidak ada perbedaan. Sama-sama ingin bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemudian perhatikan What yang biasanya dinyatakan dengan proposisi nilai dari produk atau layanan yang ditawarkan.

Di sinilah mulai terlihat perbedaan antara perusahaan berbasis digital dan konvensional. Taksi online melihat “desired outcomes yang didambakan pengguna taksi dalam menyelesaikan JTBD mereka, seperti cepat mendapatkan kendaraan dan bisa lebih ekonomis.

Berdasarkan JTBD dan desired outcomes tersebut, maka dengan mudah penyedia taksi online menuliskan proposed solution berupa ‘penyediaan taksi secara lebih cepat dan lebih hemat’ kepada penggunanya. Lebih cepat dan lebih hemat adalah proposisi nilai yang membedakan layanan taksi online dan konvensional.

Perbedaan lebih jelas lagi terletak pada How-nya. Mulailah dari perjalanan pengguna (customer journey), dari upaya mencari taksi, menunggu taksi, memulai perjalanan, selesai perjalanan dan membayar layanan. Urutannya bisa saja sama. Yang membedakan adalah kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan pelaku disrupsi.

Dengan teknologi informasi yang menjadi enabler, aliran informasi yang datangnya pengguna diteruskan ke penyedia layanan secara instan. Inilah prinsip “just in time” yang sebetulnya bukan hal baru. Adanya “bottleneck” berupa hambatan aliran informasi dari pengguna ke penyedia produk/layanan selalu menjadi oportunitas bagi pendisrupsi, pebisnis digital.

Selain kecepatan aliran informasi dari pengguna ke penyedia layanan, bisnis digital juga harus mengadakan ketersediaan yang tinggi dari penyedia layanan, supaya terjadi aliran layanan dari penyedia ke pengguna. Inilah sesungguhnya ‘lompatan performa’ yang ditawarkan pebisnis digital dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Melancarkan aliran informasi dari hilir ke hulu dan aliran layanan dari hulu ke hilir.

Satu lagi aliran yang dilancarkan dari pebisnis digital tentunya aliran pembayaran. Tidak mengherankan para penyedia layanan berbasis digital terobsesi untuk menawarkan sistem pembayarannya sendiri.

Terakhir, pebisnis digital memiliki model penciptaan pendapatan yang berbeda dari kebanyakan. Mereka ini terobsesi dengan penciptaan kerumunan pengguna yang  besar. Kerumunan yang besar menyimpan big data. Big data menawarkan banyak insight baru. Inilah tambang emas masa depan!

Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.