Nasib Investasi Hulu Migas Pasca Terbitnya Aturan Pajak Gross Split

Chevron
Penulis: A. Rinto Pudyantoro
Editor: Yura Syahrul
29/12/2017, 14.38 WIB

Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 tahun 2017 mengenai perpajakan pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) dengan kontrak bagi hasil Gross Split, akhirnya terbit. PP ini paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh Kementeriaan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan investor hulu migas karena menjadi penentu keputusan investasi.

Demi menunggu PP tersebut, Kementerian ESDM terpaksa menunda beberapa kali penutupan lelang wilayah kerja migas (WK migas). Yang terakhir, masa lelang WK migas tahap 1 tahun 2017 yang semula akan ditutup 27 November 2017 diperpanjang hingga 31 Desember 2017.

Kini, setelah PP tersebut terbit, bagaimana dampaknya terhadap investasi di sektor hulu migas?

Pada awal tahun 2017, Kementerian ESDM memperkenalkan model bisnis baru untuk penawaran WK migas, yaitu Production Sharing Contract Gross Split (PSC GS). Pada dasarnya ini adalah model kontrak kerja sama yang dibuktikan dengan dokumen hasil lelang berwujud kontrak yang ditandatangani oleh Pemerintah dan pemenang lelang.

Jadi, wujudnya relatif sama dengan PSC cost recovery atau kontrak kerja sama (KKS) lama. Tapi, ada dua perbedaan yang paling mendasar, yaitu mekanisme pembagian lifting (produksi siap jual) migas dan penanggung beban biayanya.

Pada KKS lama, mekanisme pembagiannya dilakukan setelah perhitungan biaya sehingga setiap pengeluaran yang dibebankan sebagai biaya operasi ditanggung proporsional oleh pemerintah dan kontraktor. Sedangkan dalam model bagi hasil Gross Split, lifting migas dibagi berdasarkan persentase split tertentu seperti tertuang dalam kontrak segera setelah hasil penjualan migas diterima.

Pola pembagian seperti ini membuat pemerintah steril terhadap beban biaya, atau dengan kata lain seluruh biaya operasi ditanggung oleh kontraktor.

Porsi split pembagian hasil penjualan migas di dalam kontrak mengacu pada Peraturan Menteri (Permen). Makanya, pada awal tahun 2017 dikeluarkan Permen No. 8 tahun 2017 yang kemudian direvisi dengan Permen No. 52 tahun 2017. Salah satu yang penting dari Permen tersebut adalah split kontraktor yang terdiri dari based split, variable split dan progressive split.

Based split ditetapkan sama untuk seluruh kondisi WK migas, yaitu Pemerintah sebesar 57% dan kontraktor 43% untuk minyak, sedangkan untuk gas ditetapkan Pemerintah 52% dan kontraktor 48%. Porsi kontraktor dapat bertambah dengan mengacu pada kondisi WK saat migas ditemukan dan produksi migas terjadi. Besaran tambahan split ditentukan berdasarkan 10 variable split dan 2 progressive split.

Variable split adalah penambahan split yang lebih terkait dengan operasional dan dampaknya terhadap tambahan biaya, sedangkan progressive split berhubungan dengan sisi penerimaan.

Adapun, 10 variabel split itu adalah: status WK migas; lokasi lapangan; kedalamanreservoir; dukungan infrastruktur; konvensional atau nonkonvensional reservoir; kandungan CO2; kandungan H2S; API; kandungan lokal; fase produksi.

Sedangkan progressive split menambahkan atau mengurangi split kontraktor dengan mempertimbangkan harga migas dan jumlah kumulatif produksi. Ketika harga migas rendah maka split kontraktor akan ditambah dengan porsi tertentu. Sebaliknya, ketika harga migas tinggi maka bagian kontraktor akan dikurangi.

Lalu terhadap kumulatif produksi yang masih rendah akan diberikan tambahan split, yang porsinya akan terus berkurang seiring dengan peningkatan kumulatif produksi. Progressive split dapat dimaknai sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kemungkinan keekonomian WK migas yang tidak menguntungkan di saat harga migas rendah dan ketika produksi masih kecil.

(Chevron)

Perbandingan model bagi hasil

Berikut ini kalkulasi sederhana untuk mengetahui mekanisme PSC Gross Split dan keperluan analisis dibandingkan dengan model PSC lama. Misalnya pada satu tahun tertentu dibelanjakan uang untuk operasi migas sebesar US$ 300 juta yang menghasilkan lifting senilai US$ 500 juta.

Berdasarkan PSC yang lama, baik penerimaan maupun biaya dibagi proposional. Hitungan sederhana, anggap saja tanpa First Tranche Petroleum (FTP) dan Domestic Market Obligation (DMO), yang diperoleh porsi hak atas produksi sebesar 65% untuk Pemerintah dan 35% untuk kontraktor.  Jadi, dengan keuntungan US$ 200 juta yang dibagi secara proporsional sehingga Pemerintah akan mendapatkan US$ 130 juta dan kontraktor US$ 70 juta.

Sedangkan dengan sistem Gross Split, misalnya berdasarkan Permen 52 tahun 2017 diperoleh porsi split Pemerintah 40% dan kontraktor 60%. Jadi, di awal sebelum dikurangi biaya, Pemerintah akan memperoleh bagian US$ 200 juta (US$ 500 juta x 40%) sedangkan kontraktor akan menerima US$ 300 juta. Lalu dikurangi biaya sebesar US$ 300 juta yang ditanggung kontraktor seluruhnya, maka alhasil kontraktor akan berada pada posisi impas alias US$ 0.

Bila kontraktor dapat melakukan efisensi, misalnya belanja biaya operasi ditekan hingga US$ 100 juta, maka hasil efisiensi itu seluruhnya akan dinikmati kontraktor. Dengan asumsi yang sama seperti di atas tersebut, Pemerintah akan tetap menerima US$ 200 juta, sedangkan kontraktor setelah melakukan efisiensi bakal mendapatkan US$ 100 juta {(US$ 500 juta x 60%) – US$ 200 juta)}.

Dari kalkulasi sederhana itu terlihat bahwa sistem Gross Split tersebut mengajak kontraktor berhemat supaya mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Proses bisnisnya pun disederhanakan dengan tidak melibatkan pemerintah di sisi belanja kontraktor dan pembebanannya. 

Jadi, kontrak bagi hasil Gross Split akan sangat menarik bagi perusahan-perusahaan minyak yang memiliki biaya operasi murah. Di sisi inilah sistem kontrak tersebut unggul dibanding sistem PSC lama yaitu berupa Opportunity loss and gain.

Walaupun Opportunity loss and gain berdampak pada proses persetujuan rencana pengembangan (Plan of Development / POD) pertama WK migas akan relatif lebih berpolemik. Sebab, kontraktor akan bersikap konservatif dalam membuat perencanaan keekonomian proyek, sehingga secara naluriah memberlakukan opportunity loss dan opportunity gain secara berbeda.

Opportunity loss akan secepatnya dikalkulasi dan dimasukan dalam perhitungan keekonomian proyek. Sedangkan pengakuan opportunity gain akan ditunda menunggu terealisasi atau memiliki bukti yang kuat.

Jadi, investor umumnya merasa kesulitan mengakui adanya opportunity gain dalam bentuk perencanaan. Pengaturan atau tata cara evaluasi dan analisis POD pertama menjadi tantangan ke depan sehingga diperlukan aturan yang lugas dan jelas. 

Batasan Loss carry forward

Revisi terhadap Permen ESDM No 8 tahun 2017 menjadi Permen 52 tahun 2017 adalah reaksi pemerintah untuk menanggapi pasar dan investor yang cenderung kurang tertarik terhadap kontrak Gross Split yang berbasis Permen No 8 tahun 2017. Ada dua perubahan mendasar yang termuat dalam Permen 52 tahun 2017.

Pertama, besaran split yang memungkinkan kontraktor memperoleh split yang lebih besar. Kedua, diskresi Menteri untuk menambahkan split kontraktor tidak lagi dibatasi maksimum 5%, bisa berapapun namun dibatasi berdasarkan kriteria keekonomian proyek WK migas.

Setelah teknis perhitungan berdasarkan Permen dan kontrak diperbaiki, ternyata sistem Gross Split masih menyisakan persoalan yaitu perpajakan. Jika tidak diatur khusus, maka PSC GS wajib mengikuti ketentuan perpajakan umum yang kemungkinan besar akan mendistorsi keuntungan menggunakan sistem bagi hasil baru tersebut.

Sementara tidak mungkin menggunakan PP No. 79 tahun 2010 dan PP No. 27 tahun 2017 yang dikhususkan mengatur perpajakan PSC lama atau PSC cost recovery.

PP Gross Split mengatur pajak penghasilan dan pajak tidak langsung. Perhitungan pajak penghasilan mengatur dua hal yang paling utama. Pertama, berkaitan dengan pola dan tata cara menghitung pajak penghasilan, yang dalam PP tersebut disamakan dengan tata cara perpajakan umum. Pajak dihitung berdasarkan tambahan kemampuan ekonomi, yaitu besarnya penerimaan dikurangi biaya.

Namun karena karakteristik hulu migas berbeda dengan industri umum, maka beberapa biaya ditetapkan sebagai biaya yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan.

Kedua, masalah loss carry forward atau pembebanan rugi perusahaan terhadap keuntungan perusahaan di waktu yang akan datang. Pada ketentuan pajak umum, loss carry forward diperkenankan namun dibatasi 5 tahun.

Artinya, jika tahun pertama perusahaan rugi, maka kerugian tersebut boleh diperhitungkan pada pungutan pajak tahun-tahun berikutnya. Jika setelah tahun kelima masih ada kerugian maka tidak lagi diperkenankan dibebankan dan diperhitungkan, alias hangus. Dengan kata lain, di tahun keenam biaya yang boleh dikurangkan hanya biaya di tahun bersangkutan.

Jika mempertimbangkan karakteristik bisnis hulu migas, tampaknya batasan lima tahun loss carry forward masih kurang lama. Sebab, kegiatan masa eksplorasi yang cukup panjang diikuti pengeluaran biaya cukup besar, plus investasi di masa pengembangan sehingga tidak akan cukup waktu lima tahun penghasilan migas untuk mengembalikan investasi awal tersebut. Alhasil, dalam PP Gross Split, loss carry forward ditetapkan selama 10 tahun.

Masa loss carryforward 10 tahun adalah titik tengah. Sebab, jika mengacu pada PSC lama, pembebanan investasi dalam perhitungan pajak dilakukan sepanjang masa kontrak, melalui mekanisme cost recovery.

Sedangkan 10 tahun adalah masa yang relatif panjang untuk memperhitungkan kerugiaan pada masa investasi awal, dan diyakini berdasarkan pengalaman sebagian besar proyek hulu migas investasi awalnya akan tercover pada masa 10 tahun tersebut. 

(Katadata)

PP Gross Split dimaksudkan untuk memperbaiki arus kas investor dan keekonomian proyek. Sebab, pada PSC yang lama, pajak-pajak tidak langsung ditanggung Pemerintah, alias kontraktor tidak perlu dibebani pajak tidak langsung. Demikian juga PSC setelah tahun 2010, yaitu setelah terbitnya PP 79, kontraktor wajib membayar pajak tidak langsung namun bebannya kemudian dibagi secara proporsional antara Pemerintah dan kontraktor.

Semangat itu pula yang dibawa pada PP Gross Split ini. Sebab, jika tidak beban pajak tidak langsung yang cukup besar pada kisaran 18% sampai dengan 28% dari biaya operasional akan memberatkan keuangan investor yang sekaligus mengurangi tingkat IRR (Internal Rate of Return). Ujung-ujungnya membuat investor enggan berinvestasi.

Pada bisnis hulu migas, yang diawali dengan kegiatan eksplorasi yang dinyatakan dalam kontrak bahwa biaya dan seluruh risiko ditanggung oleh kontraktor. Sementara pada masa eksplorasi ini tidak ada jaminan bahwa kegiatan kontraktor akan berhasil menemukan cadangan migas yang ekonomis.

Jika tidak diberikan perlakuan khusus terhadap pajak tidak langsung dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka kegiatan ekplorasi tidak akan menarik untuk dikerjakan oleh investor. Makanya, dalam PP Gross Split diatur tentang pembebasan pajak tidak langsung dan PBB, yang sudah barang tentu detail tata caranya perlu diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Sedangkan pada masa eksploitasi pada hakekatnya diatur assumed and discharged ‘bersyarat’. Pembayaran pajak tidak langsung dan PBB oleh kontraktor akan diganti sepadan oleh pemerintah melalui tambahan split kontraktor apabila beban pajak tersebut berdampak menurunkan keekonomian projek.

Jadi, pada tingkat keekonomian yang memadai saat POD pertama yaitu pada tingkat IRR yang disetujui oleh Menteri, akan diberikan ‘pengembalian’ pajak tidak langsung berupa penambahan split kontraktor yang sepadan sehingga tingkat keekonomiannya tidak terganggu.

Pola pengembalian pajak ini melalui split lebih bagus dibandingkan PSC setelah PP 79 tahun 2010, walau tidak sebagus PSC lama sebelum PP 79 tahun 2010 yang menganut assumed and discharged otomatis. Namun dapat ditangkap sinyal bahwa dengan konsep tersebut pemerintah peduli dan mengupayakan keekonomian proyek agar sistem Gross Split layak dijalankan.

Walaupun tantangannya masih ada, yaitu pada sisi detail tata acara pelaksanaannya yang memerlukan aturan lebioh lanjut berupa Permen, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau Pedoman Tata Kerja (PTK) SKK Migas.

Kendala investasi

Pertanyaannya berikutnya, apakah berbagai upaya pemerintah memperbaiki sisi fiskal dari sistem Gross Split tersebut bakal menjamin peningkatan investasi? Apakah dengan terbitnya PP Gross Split akan segera mendorong investor memutuskan berinvestasi di sektor hulu migas?

Terbitnya Permen No. 52 tahun 2017 dan PP Gross Split sebenarnya baru menyelesaikan salah satu dari 16 persoalan yang menghambat investasi. Sebab, selain masalah fiskal, menurut studi Fraser (2016) masih ada persoalan yang sebenarnya tidak seluruhnya berada di bawah kendali pemerintah.

Penghambat investasi tersebut dapat dikelompokan menjadi delapan item. Pertama, masalah hukum yang mencakup penegakan hukum, tumpang tindih regulasi, kejelasan regulasi perpajakan migas, regulasi lingkungan hidup. Kedua,  kebijakan fiskal.

Ketiga, politik. Keempat, kualitas geologi. Kelima, ketersediaan infrastruktur. Keenam, perizinan dan sengketa lahan. Ketujuh, keamanan. Kedelapan, ketersedian tenaga kerja di daerah operasi.

Misalnya, masalah hukum dan penegakan hukum. Investor saat ini sangat menunggu hadirnya revisi UU Migas yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR.

Demikian juga dengan masalah politik. Tahun depan, tahun 2018 dan tahun 2019 disebut sebagai tahun politik. Gejolak politik akan banyak mempengaruhi pertimbangan investor, apalagi investasi hulu migas yang bersifat jangka panjang.

Demikian juga dengan masalah keamanan. Investor sebenarnya sangat alergi dengan aksi demonstrasi yang berbau politik. Sebab, dapat menimbulkan kerusuhan atau tertundanya kegiatan ekplorasi dan eksploitasi. Belum lagi masalah sosial di lapangan atau daerah operasi yang seringkali menghambat kegiatan operasi.

Meski begitu, kelahiran Kontrak Bagi Hasil Gross Split melalui Permen 8 tahun 2017 yang kemudian diperbaiki dengan Permen 52 tahun 2017 dan ditambah lagi dengan PP perpajakan GS, menunjukkan niat dan upaya pemerintah meningkatkan investasi hulu migas yang dalam dua tahun terakhir menurun tajam.

PP Gross Split jelas merupakan faktor penting bagi investor dalam mempertimbangkan investasi di sektor hulu migas.  Namun meletakkan tumpuan dan harapan yang terlalu besar, apalagi menjadikan PP tersebut sebagai satu-satunya penentu peningkatan investasi hulu migas, tampaknya terlalu berlebihan. Faktor fiskal bukan satu- satunya yang menyebabkan invetasi hulu migas menurun. Masih ada tujuh kelompok faktor lain yang mempengaruhi keputusan investasi hulu migas.

Lebih dari itu, sistem Gross Split mengandung unsur opportunity loss and gain yang tidak terkait langsung dengan PP GS. Bagi investor yang mampu memanfaatkan opportunity gain dengan menekan biaya serendah mungkin, maka  sistem Gross Split adalah sebuah tawaran yang menarik.

Sistem bagi hasil baru ini juga cocok untuk perusahaan minyak yang memiliki kelenturan dalam pengelolaan biaya mengikuti fluktuasi harga migas. Perusahaan dapat memanfaatkan dan menikmati margin antara harga dan biaya pada tingkatan harga migas. Bagi perusahan yang seperti ini, PP Gross Split merupakan sweetener.

Semoga ada investor hulu migas yang perusahaannya memiliki ciri-ciri seperti itu mengikuti lelang WK migas tahun ini.

A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.