Sudah tiga bulan sejak pertama kali kasus Covid-19 secara resmi diakui dan tercatat di Indonesia, penanganannya tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ini bisa dilihat dari rasio tes yang masih sangat rendah yaitu 715 per sejuta penduduk, kasus baru 2,51 per sejuta penduduk dengan pergerakan yang masih volatil, dan tren total kasus yang belum mununjukkan indikasi melandai (per 27 Mei 2020).
Kalau kita membandingkan dengan Korea Selatan sebagai salah satu negara yang dianggap berhasil mengatasi pandemi corona, ini seperti bumi dan langit. Dalam rentang waktu yang sama sejak kasus pertama muncul, Korea telah berhasil mencapai rasio tes lebih dari 10 ribu per sejuta penduduk dan menurunkan angka pertumbuhan kasus baru sampai di bawah 0,5 per sejuta penduduk dengan tren total kasus melandai. Apa yang salah dengan strategi penanganan Covid-19 di Indonesia?
(Baca: Aprindo Desak BPJS Kesehatan Gelar Tes Cepat Gratis Jelang New Normal)
Model SIR
Mari kita pahami situasi pandemi Covid-19 ini menggunakan model susceptible-infectious-recovered (SIR) yang banyak digunakan untuk menggambarkan dinamika penyakit menular. Menurut model ini, di satu saat orang memiliki kemungkinan ada dalam kondisi rentan terinfeksi (S), terinfeksi (I), atau sembuh dari infeksi (R).
Dalam kasus Covid-19, kelompok S terdiri dari orang yang karena kondisi dan aktivitasnya rentan terinfeksi virus corona. Mereka yang ada dalam kelompok S karena kondisi misalnya lansia dan orang dengan komorbiditas. Komorbiditas yang terbanyak ditemukan berturut-turut adalah hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit sistem pernafasan. Mereka yang masuk kelompok S karena aktivitasnya misalnya tenaga medis.
Kelompok I terdiri dari orang yang sudah terinfeksi Covid-19 dengan atau tanpa gejala, sedangkan kelompok R terdiri dari orang yang tadinya terinfeksi Covid-19 dan berhasil sembuh. Dengan berjalannya waktu orang bisa berubah status dari S ke I, dan dari I ke R.
(Baca: Bertambah 609 Kasus, Lebih dari 27.500 Orang di RI Terinfeksi Corona)
Fakta versus Data
You cannot manage what you cannot measure. Jika ingin berhasil memerangi Covid-19, kita harus bisa mengukur dan mengendalikan angka SIR kita. Sebelumnya, mari kita bedakan antara fakta atau angka SIR dengan data SIR. Secara faktual sulit untuk mengetahui berapa banyak orang dalam kelompok S, I, dan R. Satu-satunya cara mengetahui potret SIR kita adalah dengan melakukan tes.
Dengan tes kita mendapatkan data banyaknya orang terinfeksi, yang kemudian sering dianggap sebagai angka I. Sesungguhnya data ini hanya potret karena angka I yang sebenarnya hanya bisa diketahui jika semua orang dites. Seberapa dekat data I hasil tes dengan angka sebenarnya? Secara statistik, semakin banyak tes dilakukan, semakin dekat data ini dengan angka sebenarnya. Jika angka I diketahui, angka R bisa diketahui. Jika data I tidak menggambarkan angka I yang sebenarnya maka data R juga tidak menggambarkan angka R yang sebenarnya.
Mengetahui berapa banyak orang dalam kelompok S jauh lebih sulit. Jika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan physical distancing dilaksanakan secara disiplin oleh setiap orang, angka S relatif bisa dikendalikan dan diukur karena akan terbatas pada lansia, orang dengan komorbiditas, serta tenaga medis dan petugas yang menangani pasien Covid-19. Dalam kondisi ini kita bisa mendapatkan data S yang relatif akurat. Akurasi data S juga dipengaruhi akurasi data I. Jika di luar sana ternyata banyak orang positif Covid-19 yang tidak terdeteksi maka angka S yang sebenarnya bisa lebih besar lagi.
(Baca: New Normal, Orang Batuk Flu Dilarang Masuk ke Mal hingga Restoran)
Pelanggaran terhadap PSBB dan ketidakdisiplinan dalam physical distancing akan membuat banyaknya orang dalam kelompok S tidak terkendali dan sulit diukur. Kebijakan penanganan pandemi pada dasarmya adalah kebijakan untuk mengendalikan dan menurunkan angka S dan I. Data SIR yang tidak akurat akan menyulitkan Pemerintah membuat kebijakan yang tepat.
Selanjutnya: Kita Perlu Lebih Banyak Tes
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.