Saat ini pemerintah sedang merampingkan jumlah badan, komisi maupun lembaga tinggi negara sebagai bentuk optimalisasi pelayanan pada masyarakat. Perampingan tersebut juga sebagai bentuk reformasi birokrasi sehingga tidak terdapat tumpang tindih kewenangan dan pemerintah dapat lebih cepat dalam mengambil keputusan. Salah satu lembaga yang masuk daftar akan dibubarkan adalah Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.
Mengacu pada Perpres tersebut masa kerja BRG jika tidak diperpanjang oleh presiden maka akan berakhir pada akhir Desember 2020. Maka kini pertanyaannya adalah adakah urgensi mempertahankan dan memperpanjang masa kerja BRG? Kilas balik pembentukan BRG adalah pasca terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang besar pada 2015 (yang sebagian besar terjadi di lahan gambut) dan kala itu Indonesia mendapat sorotan negatif dari dunia internasional.
Sesuai namanya BRG sesuai semangat pembentukannya diarahkan pada fungsi restorasi dari lahan gambut. Makna dari fungsi restorasi adalah mengembalikan fungsi yang rusak baik karena alam maupun karena pengelolaan lahan gambut. Sebagai catatan pada evaluasi kinerja BRG, dalam hal ini harus diakui bahwa pada awal pembentukannya ‘agak’ melampaui wewenang, yakni dengan memberikan kewenangan penegakan hukum (enforcement) pada BRG, meskipun pada tahun 2017 wewenang tersebut dicabut.
Jika pertanyaannya apakah masih diperlukan BRG, maka jawabannya adalah tentu masih diperlukan, mengingat Indonesia adalah negara dengan lahan gambut terluas keempat di dunia dan restorasi lahan gambut di Indonesia belum terlaksana sepenuhnya. Bahkan belum seluruh daerah prioritas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Perpres BRG yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua belum seluruhnya selesai fungsi restorasinya.
Bahkan fungsi restorasi yang dilakukan BRG masih dibawah 60% beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah dan Papua. Mengacu pada situasi ini maka seharusnya secara fungsi BRG masih dibutuhkan, namun perlu penataan yang tepat dalam hari ini menyangkut sinkronisasi peran dengan instansi terkait seperti kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) sehingga tidak tumpang tindih secara fungsi dan kewenangan.
Keseriusan Pemerintah
Persoalan penataan dan restorasi gambut dalam hal ini memang memerlukan keseriusan dari pemerintah. Sebagaimana diketahui BRG sendiri tidak memiliki pagu anggaran hingga tahun kedua pembentukannya. Keseriusan pemerintah dalam hal ini setidaknya meliputi dua hal, yakni secara kelembagaan dan secara substansi penataan dan restorasi gambut. Persoalan BRG secara kelembagaan adalah tidak jelasnya kedudukan, di satu sisi sesuai Perpres, BRG bertanggung jawab langsung pada presiden pada fungsi restorasi gambut.
Sebaliknya, mengacu pada Pasal 14 Peraturan Menteri KLHK Nomor P.14/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 kedudukan BRG adalah pada fungsi supporting dan asistensi dari-kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya pada restorasi lahan gambut. Konsekuensi dari Peraturan Menteri LHK tersebut adalah terhapusnya fungsi BRG sebagai sebuah badan sehingga memang dalam perspektif Peraturan Menteri tersebut kedudukan BRG memang tumpang tindih dengan fungsi yang ada dalam KLHK.
Artinya, dalam hal ini guna menjawab apakah ada urgensi untuk memperpanjang BRG yang akan berakhir pada akhir Desember 2020, maka jawabannya adalah perlu diputuskan terkait kedudukan BRG secara formal. Hal yang sudah pasti adalah masih tingginya urgensi restorasi gambut. Hanya saja apakah pelaksanaannya diserahkan pada BRG secara mandiri sesuai Perpres pembentukan BRG atau dilebur dalam satu fungsi asistensi terkait dengan restorasi gambut pada fungsi KLHK sesuai Peraturan Menteri LHK.
Jika melihat pada efisiensi kelembagaan dan mengingat fungsi BRG baik secara teknis maupun regulasi sangat berkaitan dengan fungsi restorasi lingkungan (restorasi gambut merupakan bagian dari fungsi restorasi lingkungan) maka idealnya BRG dilebur dalam KLHK, sehingga ke depannya Kementerian membawahi fungsi teknis restorasi gambut sekaligus menjalankan fungsi penegakan hukumnya (enforcement). Dengan demikian maka fungsi restorasi gambut tetap dapat dilaksanakan sekaligus tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan fungsi antar lembaga negara.
Persoalan kedua, dalam hal menilai urgensi BRG adalah perdebatan yang belum usai antara kalangan prokonservasi dan kalangan pro-development. BRG dipandang mewakili kalangan prokonservasi yang cenderung merestorasi gambut untuk kepentingan konservasi. Hal ini terlihat dari aturan yang lahir bersamaan dengan dibentuknya BRG seperti Peraturan pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 beserta peraturan turunannya yang cenderung membatasi pembukaan lahan gambut untuk kepentingan komersial dan memperluas kepentingan konservasi dan restorasi pada lahan gambut yang ada.
Kondisi tersebut mendapat sejumlah kritik dari kalangan pro-development yang cenderung memanfaatkan lahan gambut untuk kepentingan komersial. Hal ini terlihat dari Surat Menteri Perindustrian Republik Indonesia sudah mengirim surat kepada Presiden melalui surat Nomor 149/ M- IND/3/2017 tanggal 30 Maret 2017 yang berisi catatan para pemangku kepentingan yang disampaikan kepada Menteri Perindustrian Republik Indonesia beserta usulan alternatif penyelesaian persoalan regulasi gambut.
Saat ini persoalan restorasi gambut perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah baik terkait fungsi kelembagaan yang akan melakukan fungsi penataan ekosistem gambut maupun pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan investasi. Sehingga esensinya saat ini pemerintah selain perlu menata secara kelembagaan juga perlu mengurai regulasi terkait gambut lindung yang harus dikonservasikan dan gambut budidaya yang dapat dimanfaatkan secara komersial sebagai landasan institusi yang kelak akan menata fungsi restorasi gambut terlepas apakah pemerintah akan memperpanjang masa tugas BRG atau sebaliknya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.