Polemik Buka-Tutup dan Hibridisasi Bioskop Era Adaptasi Kebiasaan Baru
Gabungan Pengusaha Bioskop mengumumkan rencana pembukaan bioskop secara serentak pada 29 Juli 2020. Sayangnya, suka cita rencana tersebut berubah menjadi suram.
Sebagai salah satu pusat hiburan dan episentrum dunia malam Indonesia, DKI Jakarta masih melarang sekolah hingga hiburan malam untuk beroperasi di saat pandemi corona. Hal ini mengacu pada kebijakan pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta yang memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi hingga 14 hari ke depan. Jadwal tersebut tertuang dalam paparan dokumen Gubernur DKI Jakarta Anies Basedan tentang Penjelasan PSBB pada masa transisi yang dirilis pada 4 Juni 2020.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria sempat mengingatkan pembukaan bioskop akan sangat berisiko menjadi sarana penularan baru jika proses pemantauan dan pengawasan terhadap penonton beserta pelaksanaan protokol kesehatannya tidak dilakukan dengan hati-hati.
Hal ini mengakibatkan kebijakan pembukaan bioskop harus diundur sementara waktu mengingat situasi yang belum memungkinkan karena kuatnya ancaman pandemi. Keadaan tersebut akhirnya turut berdampak pada arus kas pengusaha bioskop yang masih berada pada zona merah karena tidak adanya pendapatan dan karyawan yang telah dirumahkan untuk sementara waktu.
Hibridisasi Bisnis Bioskop dan Kemerdakaan Dunia Maya
Apabila menilik kebelakang, Indonesia merupakan pasar potensial dan menarik dalam kategori industri bioskop. Jumlah penonton bioskop yang mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, membuat bisnis ini menjadi industri yang menjanjikan untuk dikembangkan.
Data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menunjukkan jumlah penonton meningkat hampir lima kali lipat pada tahun 2018 menjadi 52,5 juta orang. Pada tahun itu, jumlah layar yang ada di Indonesia mencapai 1.680 buah. Terjadi peningkatan sekitar 19% dari total 1.412 layar pada tahun sebelumnya.
Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin, mengatakan jumlah layar tersebut memiliki potensi untuk terus berkembang pesat kedepannya. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan industri perfilman dan minat penonton Tanah Air yang terus menunjukkan tren positif.
“Kami perkirakan untuk jumlah layar akan tumbuh sekitar 20 hingga 30% pada tahun ini. Prospek industri bioskop sangat besar saat ini, terlebih makin banyak pemain di bisnis ini,” kata Djonny pada 2 Januari 2019.
Menurut dia, salah satu pendorong banyaknya pemain dalam bisnis tersebut adalah kehadiran Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 yang membuka 100% investasi sektor perfilman bagi investor asing. Para pemain tersebut diantaranya adalah Cinema XXI, CGV, Cinemaxx, New Star Cineplex, Platinum Cineplex, Movimax dan yang terbaru Lotte Cinema Multiplex. Selain itu, terdapat pula beberapa pemain pada bioskop independen dengan jumlah terbatas.
Wajah perkembangan bioskop dan perfilman nasional yang sedang melambung tersebut sontak berubah tajam di kala pandemi menghantam. Pandemi telah membuka tafsir penting bahwa diperlukannya antisipasi yang tepat untuk bioskop dalam mengelola arus kas.
Bioskop tak seharusnya berjalan hanya dengan mengandalkan pemasukan dari jumlah tiket semata. Jika demikian, keadaan tersebut dapat mengancam bisnis bioskop menuju kehancuran atau bahkan kepunahan.
Sirkulasi jumlah tiket sangat erat kaitannya dengan jumlah penonton, kursi dan banyaknya ruang yang ditawarkan. Karakteristik jam tayang dengan frekuensi tiga sampai lima kali sehari (jeda pergantian tayang pendek), tata ruang yang tertutup rapat dan interaksi sosial menjadi polemik tersendiri di saat pandemi.
Keterbatasan gerak antar penonton juga menjadi sasaran empuk penyebaran virus corona yang diduga dapat menyebar melalui udara. Sebuah kontradiksi dengan kondisi yang demikian bioskop berharap untuk mendapatkan untung dalam jumlah besar.
Dalam webinar yang diadakan oleh Program Studi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya dengan tajuk Hybrid Event (20/7/2020), dapat disimpulkan para pelaku usaha dalam bidang pariwisata dan rekreasi (leisure), termasuk bioskop, harus melakukan perubahan dengan cepat dan tepat. Terobosan baru harus dibuat dengan memaksimalkan “ruang maya” sebagai “bioskop”.
Menurut Muhammad Riza, President Director PT Visicita Imaji Semesta, Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 80 juta dari sekitar 170 juta pengguna internet nasional. Ini merupakan peluang raksasa yang dapat dikapitalisasi oleh semua sektor industri.
Ketidaktersediaan bioskop dalam waktu yang cukup lama membuat sebagian besar orang beralih kepada layanan video streaming guna memuaskan hasrat untuk mencari tontonan atau hiburan. Efek tersebut membuat kotak pandora industri basis ini jauh lebih terbuka dan terang.
Dalam skala Asia Tenggara terdapat jumlah penonton yang ditaksir lebih dari 600 juta orang. Adapun pemain mayoritas dalam industri basis ini adalah Netflix, HBO, Viu (Hong Kong), HOOQ (Singapura), iFlix (Malaysia) dan Astro (Malaysia). Bioskop maya memiliki peluang yang sangat besar pada momen ini. Dengan besarnya pasar pengguna internet, maka potensi pendapatan pun akan luar biasa. Bangunan fisik gedung seolah menjadi keniscayaan jika dibandingkan dengan pasar ‘bioskop’ internet.
Kuota internet dengan harga murah serta kualitas streaming yang baik merupakan modal. Banyak kota besar Indonesia telah mencukupi prasyarat tersebut. Bioskop konvensional tidak cukup berpangku tangan mengandalkan jumlah penonton berdasarkan kursi tersedia, tetapi perlu mengambil ancang-ancang termasuk melakukan negosiasi dengan pemerintah terkait regulasi hingga produser film maya. Solusi bisokop drive-in membantu, tetapi tampaknya bukan solusi jangka panjang. Cuaca yang sering berubah serta pola hitungan baru terhadap jumlah kendaraan menjadi tantangan.
Di sisi lain, problema buka tutup bioskop terkait pandemi masih menjadi pil pahit yang harus ditelan. Keamanan dan kenyamanan adalah hal yang mutlak bagi penonton. Persoalan menarik lainnya adalah mayoritas keberadaan bioskop yang menyatu dengan pusat perbelanjaan. Sehingga jumlah pengunjung bioskop sangat berkaitan dengan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan.
Sedikitnya pengunjung tentu akan berpengaruh kepada biaya operasional bioskop. Memaksimalkan standar protokol kesehatan, strategi pengaturan kursi dan mesin pendukung lainnya bukanlah solusi. Setidaknya hal ini layak dicoba dan dijalankan dengan perhitungan yang tepat, guna menghidupkan kembali para pekerja yang sempat terdampak akibat pandemi.
Guna mendulang sponsor, CGV kembali beroperasi dengan strategi mengoptimalkan sektor lain yaitu jasa pembuatan video maupun webinar. Namun, hal ini masih dianggap cenderung prematur dan belum digarap secara serius. Kegiatan tersebut tidak masuk pada pokok substansi bisnis bioskop yaitu pemutaran film dan penyediaan ruang nonton.
Dalam kondisi ini, pekerjaan rumah besar menanti GPBSI untuk segera meramu terobosan baru yang lebih hybrid agar model bisnis bioskop lebih tahan banting dalam menghadapi bencana. Persoalan distribusi film dalam konteks offline versus streaming menjadi suatu kenyataan yang tak bisa dielakan. Keberhasilannya akan melindungi pekerjaan karyawan.
Mengacu pada Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, tidak ada salahnya bergotong-royong dengan memanfaatkan jalur internet sebagai potensi daulat gelombang demi kemerdekaan maya. Kementerian Pawisata dan Ekonomi Kreatif bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu berkolaborasi menyambut gayung ini.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.