Holding BUMN Pangan Berpotensi Hambat Investasi di Sektor Pertanian

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.
Petani mengangkut benih padi di Kawasan Tasikardi, Kramatwatu, Serang, Banten, Jumat (28/6/2021). Dirjen Tanaman Pangan Kementan Suwandi memprediksi dampak masa tanam yang berkesinambungan didukung curah hujan yang cukup dapat mendorong produksi beras nasional selama panen raya Januari hingga Mei 2021 hingga mencapai 15,89 juta ton atau mengalami surplus sebesar 3,66 juta ton.
Penulis: Indra Setiawan
Editor: Sorta Tobing
7/7/2021, 14.23 WIB

Pemerintah Indonesia kini sedang mempersiapkan pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan tujuan memperkuat ekosistem serta ketahanan pangan Indonesia. Namun, pembentukan induk usaha yang akan mencakup seluruh rantai pasok dari hulu ke hilir tidak hanya akan berdampak pada rendahnya kompetisi di sektor pertanian tetapi juga akan menghambat investasi yang sangat dibutuhkan sektor ini untuk meningkatkan produktivitas.

Penguatan ketahanan pangan Indonesia memang penting mengingat ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 65 dari 113 negara, menurut Indeks Ketahanan Pangan Global 2020. Namun pembentukan holding pangan yang akan menggabungkan sembilan BUMN klaster pangan dibawah pimpinan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), yang rencananya akan terbentuk pada September 2021, justru akan semakin memperkuat dominasi perusahaan pelat merah di Indonesia dan mengurangi keterlibatan swasta dan minat investasi di sektor pertanian.

Investasi di sektor pertanian Indonesia masih tergolong rendah. Investasi asing di sektor ini misalnya, hanya sebesar 3%-7% dari total penanaman modal asing (PMA) di Tanah Air pada 2015 hingga 2019. Sebagian besar investasi pun masuk ke sektor kelapa sawit. Sedangkan untuk sektor pertanian lainnya, seperti tanaman pangan dan hortikultura, masih jauh lebih rendah. Peningkatan investasi di sektor pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk pertanian Indonesia.

Rendahnya investasi dan keterlibatan swasta akibat dominasi BUMN telah terbukti di sektor infrastruktur. Keterlibatan BUMN dalam pembangunan infrastruktur strategis semakin menguat sejak pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas. Pemerintah memberikan BUMN suntikan modal, penunjukan langsung, serta kemudahan birokrasi, terutama dalam pembebasan dan akuisisi lahan. Keuntungan-keuntungan demikian tidak dapat dinikmati oleh investor swasta yang menyebabkan mereka enggan terlibat dalam proyek tersebut.

Di sektor pertanian, dominasi BUMN yang menyebabkan rendahnya investasi pertanian bukanlah hal baru. Penelitian Fane & Warr (2008) menyebutkan, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, petani tebu dipaksa untuk memasok hasil panen pertanian hanya ke pabrik gula milik negara. Meski kebijakan ini dicabut pada 1998, pembatasan investasi tetap dilanjutkan dan menyebabkan penggilingan gula sulit mengalami pembaruan (Pasaribu, Murwani, & Setiawan, 2021). Dampak dari hal tersebut dapat dirasakan hingga sekarang. Sekitar 40 dari 63 pabrik gula di Indonesia berusia di atas 100 tahun sehingga menghasilkan gula melalui proses yang tidak efisien dan membutuhkan revitalisasi.

Pembentukan holding BUMN pangan juga dibayang-bayangi kekhawatiran akan kinerja BUMN yang dianggap tidak efisien selama ini. Contohnya, kerugian tujuh BUMN pada 2018 meskipun telah diberikan suntikan dana oleh pemerintah. Hal ini tentu saja menjadi beban fiskal bagi pemerintah yang tengah fokus pada penanganan pandemi yang membutuhkan anggaran besar.

Rendahnya investasi di sektor pertanian akan berakibat antara lain pada terhambatnya upaya meningkatkan kemampuan manajerial di sektor pertanian. Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia memiliki keterampilan rendah dan hanya sekitar 2% lulusan universitas di Indonesia yang bekerja di sektor pertanian.

Investasi juga membuka peluang pelatihan bagi petani maupun pekerja di sektor pertanian. Perusahaan yang melakukan investasi umumnya memberikan pelatihan yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pertanian, seperti pertanian berkelanjutan dan presisi.

Terhambatnya investasi di sektor pertanian juga berpotensi menghambat perkembangan teknologi pertanian di Indonesia. Negara saat ini memerlukan teknologi yang mampu menekan ongkos produksi dan transaksi petani serta meningkatkan mutu pangan dan nutrisinya. Investasi merupakan salah satu jalan bagi transfer teknologi, terutama investasi asing dari negara-negara yang memiliki pertanian lebih maju dari Indonesia.

Untuk mengurangi dampak negatif dominasinya di kemudian hari, rencana pembentukan holding BUMN  pangan harus diikuti rencana reformasi BUMN. Perlu adanya rencana-rencana strategis untuk meningkatkan tata kelola perusahaan, seperti melalui initial public offering (IPO) holding BUMN pangan. Melalui pencatatan perdana ke lantai bursa, pengawasan publik dapat lebih ditingkatkan sehingga transparansi akan semakin baik pula.

Holding BUMN pangan juga harus terbuka terhadap kompetisi pasar. Pemerintah perlu memberikan perlakuan yang setara antara holding BUMN  dan pihak swasta yang hendak terlibat dalam sektor pangan dan pertanian. Hal ini akan mendorong lebih banyak sektor swasta untuk terlibat dalam sektor pangan dan pertanian sehingga peningkatan investasi dapat terus terjadi.

Indra Setiawan
Peneliti Muda

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.