Garuda Indonesia akhirnya mencapai kesepakatan dengan AerCap, salah satu perusahaan persewaan pesawat terbesar di dunia. Keduanya menandatangani global side letter pada 28 Juli 2021. Penandatanganan ini menghapus gugatan kepailitan yang diajukan AerCap terhadap Garuda Indonesia pada Mahkamah Agung New South Wales, Australia.
Kesepakatan tersebut mewajibkan Garuda merelokasi sembilan pesawat sewaan Boeing 737-800NG ke Alice Springs, Negeri Kanguru. Opsi penyelesaian ini dapat menjadi terobosan tidak hanya bagi maskapai pelat merah ini, tetapi seluruh perusahaan penerbangan nasional dalam menegosiasikan kembali perjanjian sewa pesawat dengan lessor.
Armada Garuda tengah dikurangi secara bertahap. Kini perusahaan hanya mengoperasikan sekitar 40 dari total 142 pesawat yang dioperasikan sebelum pandemi Covid-19. Data per-Juni 2021 menunjukkan seluruh 142 pesawat tersebut disewa dari 34 lessor. Pekerjaan rumah untuk renegosiasi dengan lessor lain menanti.
Perusahaan tidak lagi memiliki sewa pesawat dari AerCap setelah pengembalian tersebut. Urgensi pengurangan ini muncul sehubungan dengan turunnya permintaan akan transportasi udara, baik penerbangan domestik dan terutama internasional. Syarat perjalanan yang kerap kali berubah serta kekhawatiran penumpang dalam berpergian menjadi pemicunya.
Sepanjang 2021, Garuda berjuang keras menghadapi isu armadanya. Maskapai ini telah menderita kerugian sehubungan operasional pesawat Bombardier CRJ1000, imbas dugaan keterlibatan kasus suap yang melibatkan mantan petingginya.
Kementerian Badan Usaha Milik Negra (BUMN) menekankan upaya pengembalian pesawat ke lessor Nordic Aviation Capital sebelum masa sewa berakhir guna menghindari kerugian lebih lanjut. Namun, tampaknya belum membuahkan hasil.
Pada Mei 2021, Direktur Utama Irfan Setiaputra menyebutkan Garuda perlu melakukan restrukturisasi total. Rencana ini memaksa pemangkasan armada secara bertahap dari 142 menjadi tidak lebih dari 70 pesawat. Sebelumnya pada Juni 2021, perusahaan telah menyetujui pengembalian dua pesawat Boeing 737-800NG kepada lessor. Strategi lainnya ialah mengalihkan fokus ke pasar domestik.
Kembali ke penyelesaian dengan lessor AerCap, opsi tersebut merupakan salah satu solusi terbaik. Dalam industri penyewaan pesawat (aircraft leasing), terdapat beberapa strategi guna menegosiasikan kembali pembayaran sewa pesawat.
Pertama, pembayaran sewa pesawat melalui skenario power-by-the-hour. Melalui pengaturan ini, maskapai hanya perlu membayar kepada lessor berdasarkan jumlah jam terbang pesawat dalam hitungan per-bulan.
Kedua, dalam wujud perpanjangan masa sewa. Keberhasilan skema kedua tergantung pada apakah maskapai masih akan tetap beroperasi di akhir masa sewa sehingga skenario ini lebih aman ditujukan bagi maskapai penerbangan milik negara (flag carrier). Lessor akan menghitung pendapatan yang diterima dari maskapai penerbangan berdasarkan perpanjangan masa sewa.
Perlu digarisbawahi kedua skenario di atas baru akan berhasil jika pesawat diterbangkan. Menjadi masalah ketika pesawat dikandangkan mengingat permintaan pasar yang sangat rendah, baik domestik dan terutama internasional.
Hal yang memperburuk keadaan pada sebagian besar perjanjian sewa pesawat adalah maskapai penerbangan wajib membayar sewa bulanan terlepas apapun situasi yang terjadi. Lessor tidak akan menerima alasan apapun terkait kegagalan pembayaran sewa pesawat oleh maskapai penerbangan.
Kemudian, pada umumnya sebagian besar perjanjian sewa pesawat menggunakan hukum Inggris, atas preferensi sebagian besar lessor, yang tidak memuat klausul kondisi kahar atau force majeure. Praktik ini membuat maskapai terpojokkan dengan dua pilihan, yakni menerbangkan pesawat lalu membayar sewa; atau mengembalikan pesawat ke lessor.
Pengembalian pesawat ke lessor nyatanya tidak sesederhana yang dibayangkan. Ibarat menyewa mobil, sang penyewa perlu memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan ketika mengembalikan lebih dini – dalam konteks ini menanggung penalti.
Analogi yang sama berlaku dalam penyewaan pesawat, dengan persyaratan lebih detail mencakup hal teknis. Salah satunya, kewajiban menanggung perawatan (maintenance) pesawat yang akan dikembalikan, artinya biaya tambahan bagi maskapai.
Penyusutan armada Garuda hingga 70 pesawat saja tidak berarti maskapai ini akan bangkrut. Namun, perusahaan mengamankan kondisi finansial guna memuluskan restrukturisasi ke depannya.
Pada masa pandemi, bisnis maskapai penerbangan berbicara mengenai kemampuan beroperasi secara fleksibel di tengah perubahan yang kadang tidak terprediksi. Munculnya varian Delta yang sempat meruntuhkan momentum bangkit kembali adalah salah satunya.
Pasar dunia penerbangan saat ini lebih meyakinkan bagi penerbangan domestik atau regional semacam Uni Eropa ketimbang penerbangan internasional yang harus berhadapan dengan penutupan perbatasan tiba-tiba. Indonesia diuntungkan dengan jumlah penerbangan domestik yang signifikan, yakni pada kisaran 80-100 juta penerbangan sebelum pandemi.
Inilah modal kebangkitan dunia penerbangan nasional. Syaratnya, koordinasi dan upaya mitigasi antar pemangku kepentingan berlangsung kondusif. Kehadiran peraturan baru secara tiba-tiba dan kerap berubah, merupakan salah satu yang perlu dievaluasi.
Satu langkah dengan AerCap memungkinkan Garuda untuk mengalihkan fokus pada isu lain. Yang terpenting adalah penyelamatan karyawan. Pandemi memberikan pelajaran berharga bagi segenap pilot, pramugari, dan teknisi dalam memilih license dan rating. Mengingat pemulihan penerbangan global akan dimulai dari penerbangan domestik, maka pemilihan license dan rating pesawat berbadan sempit, seperti seri Boeing 737 dan Airbus 320, terasa lebih tepat.
Penggunaan pesawat berbadan lebar layaknya seri Airbus 330 dan Boeing 777 perlu menunggu lebih lama mengingat tipe pesawat ini secara umum digunakan untuk penerbangan jarak jauh (internasional). Seandainya pandemi terjadi kembali, maka para kru dan teknisi pesawat pemilik license dan rating pesawat berbadan lebar akan menghadapi persaingan lebih ketat.
Upaya manajemen di bawah komando Irfan Setiaputra dalam membenahi Garuda pada masa sulit ini layak diberikan kredit mengingat turut membawa beban kasus manajemen sebelumnya. Ke depannya, publik dan pemegang saham perlu mengawasi kesepakatan baru perusahaan dengan lessor pesawat, terutama ketika memasuki fase pemulihan. Semoga tidak (terlalu) banyak campur tangan politik dalam pemilihan armada Garuda.
Terakhir, perlu dipertimbangkan untuk menciptakan peraturan internal yang memuat minimal jumlah sewa pesawat dari suatu lessor. Lebih banyak sewa pesawat dari satu lessor berpotensi meningkatkan posisi tawar Garuda Indonesia, yang kemudian dituangkan melalui keuntungan komersial semacam biaya sewa lebih rendah, kebebasan memilih rute penerbangan, hingga menentukan seluruh perawatan dilakukan di MRO GMF Aeroasia, anak usaha Garuda.
Artikel Opini ini ditulis bersama Andika Immanuel Simatupang, Associate di Firma Hukum Nurjadin Sumono Mulyadi & Partners
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.