Hilirisasi, Penciptaan Nilai Tambah, dan Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Ekonomi dan Peneliti Senior LPEM FEUI
Penulis: Mohamad Ikhsan
15/11/2022, 10.28 WIB

Pelajaran Apa yang Bisa Kita Petik dari Pengalaman Empiris?

Pertama, memiliki kekayaan alam tidak menjamin program hilirisasi berhasil. Pelajaran sejarah menunjukkan bahwa banyak negara yang memiliki SDA yang melimpah yang gagal seperi kelompok negara Amerika Latin. Di lain pihak, negara Asia Timur yang miskin SDA justru berhasil dalam mengembangkan industri hulu hingga hilir.

Seperti yang ditunjukkan oleh World Bank dalam World Development Report 2020 dalam kasus keberhasilan partisipasi suatu negara dalam Global Value Chain – yang kita bisa gunakan dalam menilai determinan keberhasilan program hilirisasi – adalah kombinasi antara tersedianya factor endowments baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, besarnya pasar (domestik dan akses terhadap pasar global), faktor geografi dan kualitas institusi. 

Tidak semua determinan tersebut mesti dimiliki oleh suatu negara sepanjang dapat disubtitusi oleh faktor lain. Misalnya faktor geografi. Walaupun lokasi kegiatan ekonomi tersebut di daerah terpencil tetapi dengan fasilitas infrastruktur transportasi dan komunikasi yang baik dan memadai, lokasi menjadi ingridien yang kurang penting.

Kedua, kualitas institusi tergolong penting dan di antaranya tidak bisa disubstitusi dengan yang lain (Acemoglu and Robinson, 2012 khususnya bab 13). Di antara yang merupakan resep tergolong klasik yaitu kebijakan makro dan politik yang stabil. Keduanya merupakan necessary condition sebagai kunci sukses penting dari hilirisasi ini.

Yang tidak kurang pentingnya adalah predictability dan stability dari peraturan pemerintah. Stabilitas dan prediktibilitas peraturan merupakan bagian yang penting dari iklim berusaha yang kondusif. Hal ini merupakan prasyarat lain bagi entrepreneur mau melakukan investasi di suatu negara.

Prediktibitas peraturan ini terutama penting untuk industri-industri ekstraktif yang memiliki sunk cost – biaya yang hilang jika proyek tersebut gagal – yang besar. Iklim berusaha yang kondusif ini tidak bisa disubstitusikan dengan, misalnya, manipulasi nilai tukar (overvaluation untuk mendorong industri substitusi impor atau undervaluation nilai tukar untuk menambah insentif bagi industri promosi ekspor) atau tax holiday.

Ilustrasi Aktivitas Ekspor-Impor (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/wsj.)

Studi Rasbin, Ikhsan, Gitahari dan Affandi (2021) menunjukkan bahwa undervaluasi nilai tukar khususnya untuk industri manufaktur tidak efektif meningkatkan output dan ekspor. Semakin hilir dan kompleks semakin tidak sensitif undervaluasi nilai tukar terhadap kinerja output dan ekspor industri manufaktur.

Ketiga, hilirisasi adalah proses penciptaan nilai tambah. Proses nilai tambah ini harus dievaluasi pada harga pasar (yaitu harga ekonomi yang mengeluarkan elemen subsidi di dalamnya). Setiap elemen insentif termasuk subsidi harus dilihat sebagai instrumen yang sementara yang bertujuan untuk menciptakan “future value added” baik sepanjang value chain maupun sepanjang production cycle.

Yang dimaksud sepanjang value chain adalah ada elemen dalam supply chain yang mungkin masih mengandung nilai tambah negatif (ada elemen subsidi di dalamnya), tetapi penjumlahan nilai tambah secara value chain tetap positif. Ada kendala (constraint) lain yang diperlakukan di sini bahwa tanpa ativitas yang bernilai tambah negatif maka proses penciptaan nilai tambah sepanjang value chain tidak dapat atau lebih sukar dilakukan.

Kemudian yang dimaksud sepanjang production cycle lebih bersifat antar-waktu. Suatu kegiatan yang pada awalnya memberikan nilai tambah negatif tetapi dapat menjadi positif di kemudian hari sehingga penjumlahan nilai tambah sepanjang waktu production cycle tetap positif.

Keempat, kebijakan pemerintah untuk melakukan penciptaan nilai tambah dengan proses hilirisasi tidak bisa disamaratakan untuk semua produk dan komoditas. Walaupun kita kaya dengan bahan baku, namun tidak berarti kita akan menghasilkan produk akhir yang mampu bersaing. Kemampuan kita menghasilkan produk yang bersaing tergantung pada ketersediaan input domestik dan input antara yang efisien.

Hal ini konsisten dengan riset LAPI-ITB yang menemukan hasil yang berbeda untuk proses hilirasi tembaga dan nikel di Indonesia. Temuannya, bahwa hilirisasi tembaga dengan pembangunan smelter kurang ekonomis sementara untuk pembangunan industri pengolahan nikel memiliki nilai ekonomis yang memadai.

Hal ini menjelaskan mengapa industri smelter nikel seperti yang di Morowali dan daerah lain berkembang pesat sementara pembangunan smelter tembaga baik oleh Freeport maupun Amman Nusatenggara berjalan tidak terlalu smooth.  Upaya untuk melakukan hilirisasi untuk komoditas lain harus dilakukan lebih hati-hati untuk menghindari biaya ekonomi yang sia-sia (Patunru, 2015)

Kelima, analisis harus dilakukan secara komprehensif untuk setiap komoditas dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif pada setiap kegiatan dalam supply chain. Tidak semua kegiatan dalam rantai penawaran (supply chain) ekonomis untuk dikembangkan.

Proses produksi semua produk atau komoditas kini mengikuti pola spesialisasi yang horizontal. Contoh, produksi Ipad melibatkan proses produksi di banyak negara – AS, Jepang, Cina, Taiwan, Jerman. Begitu pula dengan produksi sepeda olah raga (World Bank, World Development Report 2020).

Menarik untuk mengamati perubahan supply chain kedelai di Cina. Cina yang pada tahun 1990-an masih menjadi eksportir kini berubah menjadi importir terbesar dunia. Perubahan ini disebabkan karena Cina kehilangan keunggulan komparatif pada produksi kedelai dibandingkan dengan Brazil, Argentina, dan AS. Cina memilih mengembangkan produk akhir yang berbasis kedelai (impor) yang dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi.

Dalam kasus Indonesia, pengembangan daging sapi yang permintaan potensialnya di pasar domestik akan meningkat tajam hingga kini dan mendatang perlu mengikuti prinsip yang serupa.  Perhitungan dalam supply chain sapi menunjukkan bahwa kita mempunyai keunggulan kompetitif termasuk dengan Australia dalam penggemukan sapi, bukan untuk semua kegiatan.

Jika kita fokus pada sisi hilir dalam proses value chain daging sapi termasuk modernisasi industri pemotongan (slaughterhouse), dan bersinergi dengan Australia dalam pengadaan anak sapi, nilai tambah yang dihasilkan Indonesia bisa lebih besar. Indonesia juga bisa memanfaatkan status negara Islam untuk menciptakan “brand” produser daging halal dunia.

Kesimpulan dalam beberapa studi kasus di atas adalah walaupun input antara domestik tidak tersedia, kita tetap bisa menghasilkan produk akhir (diproduksi di pasar domestik) jika kita dapat mengidentifikasi kegiatan dalam supply chain yang memiliki keunggulan komparatif dan menjamin akses terhadap input antara (termasuk impor) yang efisien.

Kelima, mengambil referensi dari studi teoritis Diop dan Laabidi bahwa ketersediaan (completeness) dari suatu ekosistem suatu rantai industri memberikan peluang yang lebih besar dari proses hilirisasi. Berkembangnya industri otomotif di Indonesia belakangan ini tidak terlepas dari terbentuknya ekosistem industri ini di kawasan industri Karawang dan Cikarang. Hal ini sebelumnya terjadi di Silicon Valley California untuk industri teknologi elektronik dan kawasan-kawasan industri Guangzhou di Cina.

Peran biaya transportasi untuk jenis industri atau kegiatan tertentu memegang peran penting terutama untuk memenuhi kebutuhan just in time production dan high variety product yang kesemuanya membutuhkan pabrik berdekatan dengan lokasi perakitan akhir.

Aglomerasi industri juga terlihat menonjol dalam menjawab fenomena berkembangnya kawasan industri Morowali di mana peran minimilisasi biaya transporasi lebih menonjol.  Dalam mengembangkan ekosistem ini, pasar domestik yang besar dapat menjadi anchor dan pasar global menjadi suplemen dan menjadi instrumen yang baik untuk memastikan tingkat efisiensi industri domestik. Sukses dari Korea Selatan melakukan industrialisasi dalam era 1980-an tidak terlepas dari penggunaan pasar global sebagai indikator keberhasilan.  

Keenam, geographic agglomeration dan sinergitas juga bisa sebagai modal untuk hilirisasi. Proximity to pusat produksi (the hubs) dalam network perdagangan global, Cina, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat menjadi penting untuk mendorong hilirisasi. Banyak rantai nilai industri tidak global melainkan regional.

Proximitas Vietnam terhadap supplier regional input industri elektronik memberikan penjelasan penting mengapa industri elektronik berkembang di Vietnam. Sama halnya dengan Vietnam, Indonesia seharusnya dapat menggunakan proximity dengan Jepang atau Cina untuk mendorong proses hilirisasi ini dengan tetap memperhatikan efisiensi di tingkat perusahaan.

Bukan hanya untuk produk manufaktur, pengembangan daging sapi di atas merupakan contoh dari peran geographic agglomeration dan sinergitas dengan Australia. Peluang untuk memanfaatkan geographic agglomeration ini meningkat dengan kecenderungan reshoring dan friendshoring industri manufaktur akibat perang dagang Amerika-Cina.    

Terakhir, proses penciptaan nilai tambah ini menuntut dukungan sektor logistik yang efisien.  Salah satu CEO perusahaan otomotof global pernah menceritakan kepada mantan Wakil Presiden Boediono bahwa di tingkat pabrikan, biaya produksi otomotif di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan di Thailand. Tetapi, begitu sampai di pelabuhan, nilai keunggulan biaya ini hilang begitu saja karena biaya logistik (di Indonesia dibandingkan Thailand) yang mahal.

Menjadi penting bagi pemerintah berfokus untuk mendorong pembangunan sektor logistik yang efisien melalui peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan pasar logistik domestik yang kompetitif.

Catatan:

[1] Tulisan ini merupakan pengembangan dari kolom penulis yang pernah dimuat dalam (majalah) Tempo, 7 April 2013. Beberapa pengulangan kalimat tidak bisa dihindari dan mohon dianggap bukan merupakan plagiarism.

[3] PDRB Kabupaten Morowali adalah 20 % lebih tinggi dibandingkan sebelum kawasan ini dikembangkan.

[4] Diop, Ndiame and Laabidi, Ramzi (akan dipublikasikan), Export-Led Growth Strategies Revisited: Innovate or Perish? Processed

[5] Sebagai contoh lihat Fujita, M., Krugman, P.: The new economic geography: past, present and the future. Pap. Reg. Sci. 83, 139–164 (2004)

Halaman:
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.