Banyak hal menarik dari perkembangan ekonomi digital dan teknologi digital selama tiga tahun terakhir. Sektor ini naik turun bagai roller coaster. Sempat terbang tinggi saat wabah Covid-19 merebak, lalu menukik tajam ketika pandemi selesai. Siklusnya berlangsung sangat singkat.
Sejumlah lembaga penelitian dan konsultan bisnis meramal bahwa kebiasaan baru konsumen yang muncul di era pandemi, bakal menetap. Setelah pandemi berakhir, konsumen tidak lagi tertarik kembali ke budaya lama. Intinya, menurut berbagai riset itu, konsumen akan memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan mengoptimalkan teknologi digital.
Dan adopsi teknologi bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup, seperti belanja, memesan barang, memesan jasa dan lain sebagainya, juga untuk berbagai aktivitas kehidupan sehari hari dan enabler dunia bisnis.
Untuk alasan inilah, Metaverse sempat menghebohkan dan raksasa teknologi sekelas Facebook, melalui divisi Reality Labs, membenamkan investasi miliaran dolar di proyek masa depan ini. Kita juga menyaksikan tingginya ketergantungan terhadap Zoom sebagai platform pertemuan daring.
Saat ini Pandemi Covid-19 sudah mereda, akan tetapi cara menjalani hidup paska pandemi malah semakin menjauh. Masyarakat justru euforia untuk beraktivitas tatap muka. Bersosialisasi secara offline, bukan menggunakan headset virtual reality (VR).
Banyak perusahaan juga mulai mewajibkan kembali karyawannya untuk work from office, termasuk pelaku industri startup. Jumlah rapat online via zoom juga berkurang drastis.
Mark Zuckerberg pun terpeleset. Kini, Metaverse menjadi pemberat kinerja dan mengecewakan investor. Laporan keuangan Meta, induk Facebook, merugi US$13,72 miliar pada 2022 lalu atau sekitar Rp 214 triliun. PHK massal tak terhindarkan justru setelah rekrutmen besar besaran untuk membangun proyek masa depan. Zoom juga mulai PHK dan pangkas gaji.
Industri gim yang meledak di awal pandemi, juga menghadapi tantangan berat. Pekerja dan pelajar sudah kembali beraktivitas normal, menurunkan minat bermain gim online. Sea Ltd, induk Garena, produsen gim Free Fire, harga sahamnya anjlok 46 persen selama 52 minggu terakhir (12 bulan).
Raksasa bank digital seperti Nu Bank (Brazil) dan Kakao Bank (Korea) juga menguap kapitalisasi pasarnya lebih dari 40 persen pada kurun waktu yang sama. Nasdaq terjerembap bersama Facebook, Amazon dan perusahaan teknologi lain.
Tech winter
Petualangan Mark Zuckerberg di Metaverse, penurunan bisnis Zoom dan anjloknya harga saham perusahaan digital, hanyalah sepenggal kisah muramnya industri teknologi selama dua tahun terakhir. Banyak orang menyebut fenomena ini sebagai tech winter yang bakal berlanjut dengan seleksi alam yang keras.
Salah satu penanda tech winter adalah bergesernya persepsi investor. Ekspektasi mereka terhadap prospek “perusahaan masa depan” tidak lagi setinggi dulu.
Para pengelola dana raksasa kini memberikan penilaian terhadap perusahaan teknologi, atau industri startup, secara lebih wajar. Intinya, tidak ada lagi “dana murah dan mudah” yang melimpah di market, terutama sejak The Fed mengerek bunga acuan demi memerangi inflasi.
Investasi ke startup atau perusahaan teknologi memang akan tetap mengalir, meski tidak sederas dulu. Bagaimanapun ekonomi digital merupakan sesuatu yang riil dan potensi bisnisnya sangat menjanjikan. Industri teknologi juga sudah terbukti memiliki sumber pendapatan yang jelas dan menguntungkan para pelakunya.
Akan tetapi investor bakal lebih selektif. Mereka tidak lagi mudah terpukau oleh presentasi pebisnis startup ketika mencari pendanaan baru, seperti pengalaman empat atau lima tahun lalu.
Bagi investor, market share tumbuh pesat tetapi meninggalkan bolong besar di neraca laba rugi, adalah cerita masa lalu. Pertumbuhan bisnis memang sangat penting, tapi neraca keuangan yang sehat adalah di atas segalanya.
Tech winter juga melanda negeri ini. Aliran modal ke startup berkurang drastis. Sementara itu, startup eksisting yang berada dalam fase perkembangan, mulai kesulitan mencari sumber pendanaan baru.
Platform e-commerce JD.ID sudah pamitan. Tanihub dan Tanifund tengah menghadapi masalah dengan para funder nya. CoHive juga sudah tutup kantor. Ada banyak lagi kisah startup yang tengah bertahan hidup di “musim dingin” ini.
Berubah atau tumbang
Lalu bagaimana nasib raksasa teknologi seperti GoTo, Shopee, Grab, Blibli dan Bukalapak? Mereka bakal sanggup bertahan, tetapi dengan sejumlah catatan. Apalagi status mereka sebagai listed company, di mana profitabilitas selalu menjadi perhatian utama.
Saya mencatat ada tiga strategi penting yang perlu dijalankan secara konsisten.
Pertama, stop bakar uang berlebihan. Dulu, sebelum menjadi perusahaan publik, dan meraih pendanaan masih relatif mudah, startup cepat naik kelas menjadi unicorn lalu decacorn. Valuasi melesat tinggi dalam waktu singkat. Tapi, pencapaian ini membutuhkan ongkos mahal.
Untuk menaikkan jumlah pengguna, merangkul lebih banyak merchant dan meningkatkan volume transaksi dalam platform, perusahaan berlomba lomba memberikan promosi dan diskon. Persaingan sangat keras dan konsumen begitu dimanjakan. Balance sheet pun menjadi korban karena praktik bisnis “lebih besar pasak daripada tiang”.
Sekarang kemewahan itu tidak ada lagi. Efek tech winter, investor semakin cerewet tentang profit dan neraca keuangan yang sehat. Grab, Shopee dan GOTO menghadapi tantangan yang sama. Pada setiap momen analyst meeting, pertanyaan pelaku pasar selalu sama: kapan mencapai profit dan seberapa efisien biaya yang dikeluarkan.
Kedua, kreativitas dalam menjaga loyalitas pelanggan. Setelah memangkas promo, pertanyaan berikutnya; bagaimana menjaga loyalitas pelanggan dan mempertahankan market share.
Di sinilah ketangguhan ekosistem akan diuji. Platform digital yang disokong ekosistem besar yang saling terintegrasi, akan diuntungkan. Platform yang benar-benar menyediakan layanan yang disukai konsumen karena kualitasnya dan bukan karena promonya, akan bertahan.
Pada titik ini, GOTO bisa dibilang berada selangkah di depan. GOTO punya kaki yang sangat kuat di bisnis e-commerce (Tokopedia), on demand (Gojek) dan pembayaran/finansial (GoTo Finansial). Untuk memaksimalkan bisnis finansial, GOTO didukung oleh Bank Jago. Di bank digital ini, GOTO memiliki 21 persen saham.
Dengan dukungan ekosistem yang terintegrasi, GOTO mampu melakukan cross selling ataupun subsidi silang sehingga pricing bisa lebih baik dari kompetitor. Mereka juga mengubah skema promo menjadi GopayCoins dan menawarkan GopayLater Cicil untuk angsuran. Jadi, promo tetap diberikan dalam bentuk lain dan loyalitas semakin diikat dengan keragaman produk yang meningkatkan kenyamanan.
Ketiga, menciptakan sumber pendapatan baru. Hanya ada dua strategi untuk membalikkan rugi menjadi untung, yakni genjot pendapatan dan pangkas pengeluaran secara bersamaan.
Persoalannya, bagaimana genjot pendapatan jika harga/tarif ditentukan batas atasnya? Ya ciptakan sumber pendapatan baru di luar core business. Atau, monetisasi bisnis dengan fitur layanan premium dan berbayar.
Pada konteks ini, ambisi GOTO di bisnis lending bisa berdampak signifikan. Sumber pemasukan tidak lagi hanya bersumber dari komisi atas transaksi (take rate), juga margin, interest/bunga dan provisi. GOTO tidak sulit mewujudkannya karena mereka punya Bank Jago. Begitu pula rencana Tokopedia yang akan mengoptimalkan bisnis advertising.
Tech winter memang menjadi masa penuh tantangan sulit perusahaan teknologi digital. Tapi situasi ini memberikan banyak pelajaran. Di masa ini akan terlihat siapa yang mampu bertahan karena kualitas produknya dan mana perusahaan yang bertahan karena promonya.
Tech winter mengajarkan tentang pentingnya bertumbuh secara berkualitas demi kondisi finansial yang sehat. Pilihannya hanya dua: berubah atau tumbang.
Saat menghadiri pemaparan manajemen GOTO di hadapan media dan analis, tentang percepatan EBITDA positif pada kamis pekan lalu (16/2), saya menyaksikan sendiri tekad kuat mereka untuk berubah. Semoga kesimpulan saya tidak salah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.