Belajar Mengelola Krisis dan Anomali Perekonomian dari Pandemi

Katadata
Penulis: Samsul Arifin
26/10/2023, 15.42 WIB

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran bagaimana menghadapi “next pandemic”, terutama masalah ekonomi. Indonesia dapat dikatakan mampu membuat kebijakan mencegah penyebaran Covid-19 yang tidak menganggu pertumbuhan ekonomi. 

Kasus Covid-19 pertama di tanah air, secara resmi diumumkan pada 2 Maret 2020. Sebulan kemudian, pemerintah mengumumkan pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran. Jika dihitung dari pertama kali terdeteksi di Cina pada akhir 2019, artinya butuh empat bulan Covid-19 masuk ke Indonesia. 

Kalau virus Nipah yang sedang merebak saat ini disebut sebagai “next pandemic”, artinya pada akhir 2023 dan awal 2024 perlu diwaspadai sebagai masuknya virus ke Indonesia. 

Akurasi Intervensi Menjaga Pertumbuhan Ekonomi

Ketika penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada April 2020, mobilitas aktivitas kegiatan ekonomi sangat terdampak. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 minus 4,19%. 

Intervensi PSBB hanya mampu menahan mobilitas manusia, tapi tidak untuk kegiatan ekonomi. Terbukti pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 sebesar 5,05%. Bukti lain yang menunjukkan kebijakan pembatasan sudah tepat, bukan “lockdown” terlihat pda puncak kasus varian Delta pada Juli 2021 dan Omicron pada Februari 2022. Pertumbuhan ekonomi di kedua kasus puncak ini barhasil tumbuh 1,57% (kuartal III-2021) dan 3,73% (kuartal II-2022).

Terlihat jelas bahwa kebijakan pencegahan penyebaran penyakit di masa pandemi sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ketepatan pemberlakuan PSBB/PPKM, dari aspek waktu maupun cakupan wilayah, menjadi kunci keberhasilan pencegahan penyakit sekaligus pertumbuhan ekonomi. 

Mengelola Krisis dan Anomali Pertumbuhan Ekonomi

Ancaman resesi global, dampak krisis pandemi, dan ketidakpastian kapan akan berakhirnya perang Rusia-Ukraina menambah berat tantangan ekonomi Indonesia jika pandemi kembali terjadi. Sudah hampir dua tahun perang Rusia-Ukraina terjadi dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. 

Di sisi lain, berita tentang virus Nipah menjadi jawaban atas pernyataan Bill Gates yang mengatakan, “pandemi berikutnya akan datang dengan virus yang lebih mematikan, bahkan bisa membunuh ratusan juta nyawa manusia” saat berkunjung ke India pada Maret 2023. 

Potensi virus Nipah menjadi the Next Pandemic sekiranya perlu diwaspadai mengingat pada Agustus 2023 dilaporkan ada enam orang di Negara Bagian Karala India terinfeksi virus Nipah, dua di antaranya meninggal dunia.

Sekiranya kita dapat berefleksi dari pemberlakuan PSBB/ PPKM saat pengendalian Covid-19. Salah satu pertimbangan penetapan status ketika itu adalah risiko relatif penyebaran penyakit di suatu area. Nilai risiko relatif yang tinggi, artinya semakin besar risiko penyebaran tentunya semakin buruk bagi perekonomian.

Daerah yang diberlakukan PSBB/ PPKM dalam level yang semakin ketat artinya memiliki nilai risiko relatif semakin besar. Apabila nilai risiko relatif maka semakin besar nilainya berimplikasi kepada pembatasan aktivitas kegiatan yang semakin ketat, termasuk aktivitas ekonomi. Dampaknya akan memperburuk kondisi perekonomian yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang melambat. 

Hubungan risiko relatif dan pertumbuhan ekonomi yang seperti ini disebut hubungan negatif. Semakin besar risiko relatif (kondisi semakin buruk) semakin rendah pertumbuhan ekonomi.

Provinsi yang terletak di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Malpanus (Maluku Papua Nusa Tenggara) menunjukkan hubungan negatif antara risiko relatif penyebaran dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berbeda dengan keadaan di Pulau Jawa-Bali-Sumatera memperlihatkan anomali pengaruh risiko relatif dengan pertumbuhan ekonomi. 

Hubungan positif tetap terlihat pada saat memotret kondisi Pulau Jawa-Bali ataupun pulau Sumatera secara terpisah, meskipun berbeda pada besarnya ukuran risiko relatif. 

Nilai risiko relatif provinsi yang berada di Jawa-Bali tidak hanya selalu berisiko tinggi, tetapi juga memiliki tren meningkat. Ini dapat kita lihat pada puncak kasus varian Delta pada Juli 2021 sejalan dengan nilai risiko relatif di kuartal III-2021 yang paling tinggi. 

Hal ini sekiranya sangat relevan jika fokus kebijakan PSBB/ PPKM diterapkan di wilayah ini. Meskipun terjadi peningkatan nilai risiko relatif, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 tetap tumbuh positif, bahkan berlanjut pada kuartal IV-2020. 

Pada 2021 semakin jelas menunjukkan anomali, pada saat terjadi peningkatan risiko relatif, pertumbuhan ekonomi masih tumbuh positif. Hubungan positif keduanya dibuktikan oleh nilai parameter risiko relatif bernilai positif dari pengamatan penulis. 

Hal serupa juga berlaku untuk provinsi di Sumatera. Penjelasan terkait hubungan positif risiko relatif dengan pertumbuhan ekonomi di pulau ini menjadi lebih mudah mengingat mayoritas provinsi yang ada berada pada tingkat kategori risiko rendah, sehingga level kebijakan yang diberlakukan tentunya sangat longgar. 

Hal yang sangat menarik pada saat kita lihat pada periode kuartal IV-2020 untuk provinsi di Jawa-Bali yang tumbuh positif (0,35%) sedangkan provinsi di Sumatera negatif (-0,08%). Padahal status provinsi di Jawa-Bali mayoritas adalah risiko tinggi, sedangkan Sumatera mayoritas risiko rendah. 

Pertanyaannya adalah apakah yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Bukankah provinsi di Jawa-Bali merupakan area dengan penerapan kebijakan paling ketat, serta terdampak paling besar oleh pandemi. 

Penjelasannya sementara ini sebab konsentrasi ekonomi ada di Jawa-Bali yang selama ini dikenal sebagai penyumbang PDRB nasional terbesar. Perekonomian di wilayah ini bisa lebih cepat bergerak kembali bila dilakukan pengaturan pembatasan yang terukur dan tepat. 

Sinergi kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar pada masa pandemi, yang berkaitan dengan fokus pada belanja kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi, juga menjadi kunci mengelola krisis yang dihadapi.

Samsul Arifin
Dosen dan Peneliti Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.