Kebijakan pemanfaatan gas sebagai jembatan transisi energi menjadi pilihan rasional dan dilakukan oleh negara–negara dengan kelompok ekonomi utama seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan Tiongkok. Sampai dengan 2030, Amerika diproyeksikan masih akan mempertahankan porsi gas di dalam bauran energi primernya sebesar 31%.
Pada periode yang sama, porsi gas bumi di dalam bauran energi Rusia dan Jerman masing-masing diproyeksi masih sekitar 50% dan 12%. Tiongkok juga berencana meningkatkan porsi gas dalam bauran energinya dari sekitar 10% pada 2020 menjadi 15% pada 2030.
Transisi Energi dan Potensi Defisit Gas
Hal yang sama relevan dan berlaku untuk transisi energi Indonesia. Sampai dengan 2023 lalu, porsi gas bumi dalam bauran energi nasional mencapai 16,28%. Terjadi peningkatan sekitar 0,33% dari porsi tahun 2022 yang berada di kisaran 15,95%.
Peningkatan porsi gas dalam bauran energi nasional tersebut diproyeksikan masih akan terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang. Sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ada sekarang, pemerintah memang memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi baru terbarukan.
Pada periode 2010 – 2022, volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik tercatat meningkat sekitar 9%. Di sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan tercatat sebagai kontributor utama dalam peningkatan konsumsi gas bumi domestik.
Porsi konsumsi gas bumi untuk kedua sektor industri ini, pupuk dan ketenagalistrikan, pada 2022 tercatat masing-masing sekitar 31,7%, 11,31% dan 10,92% dari total produksi gas nasional. Selama periode 2010–2022 itu, telah terjadi pergeseran alokasi produksi gas untuk kebutuhan dalam negeri dari semula di 43,8% menjadi 67,3%.
Menilik dari sisi pasokan, dengan proyeksi kebutuhan gas domestik yang akan terus meningkat, tidak lama lagi Indonesia dapat mengalami defisit gas apabila hanya mengandalkan produksi yang ada saat ini. Merujuk proyeksi neraca gas nasional, jika hanya mengandalkan produksi existing, Indonesia berpotensi mengalami defisit gas bumi sekitar 4,022 MMSCFD pada tahun 2030.
Volume kebutuhan gas bumi berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) diproyeksikan lebih tinggi dari existing supply yaitu perkiraan gas bumi yang mampu dipasok dari lapangan migas dan infrastruktur gas yang saat ini ada. Defisit neraca gas tersebut dapat diantisipasi atau diminimalkan apabila terdapat tambahan pasokan gas bumi dari project supply dan potential supply, yang dalam hal ini bergantung pada ketersediaan (penambahan) infrastruktur gas.
Dengan kata lain, ketersediaan infrastruktur yang mampu menyalurkan gas bumi dari sumber pasokannya hingga termanfaatkan di titik-titik pengguna akhir, dengan jangkauan konektivitas dan kapasitas yang memadai, merupakan kunci untuk mengatasi potensi defisit gas tersebut.
Porsi Anggaran Infrastruktur Gas
Dalam garis kebijakan yang ada, disebutkan pengembangan infrastruktur gas akan dilakukan oleh pemerintah secara langsung melalui: APBN, program kerja dari BUMN, program Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), dan/atau melalui investasi lain. Dalam konteks ini, porsi alokasi anggaran infrastruktur gas secara langsung melalui APBN, di Kementerian ESDM khususnya, memegang peranan penting dalam percepatan dan realisasi proyek infratruktur gas.
Data-data yang ada menunjukkan peran pemerintah secara langsung di dalam pengembangan infrastruktur gas melalui penganggaran di APBN lebih dapat menjamin terealisasinya penyediaan infrastruktur sesuai dengan perencanaan strategis dan target yang ditetapkan. Hal ini terutama dapat dilihat dari terselesaikannya proyek gas Cisem Fase I pada 2023 lalu, yang memang dianggarkan secara langsung dalam APBN 2022 dan 2023.
Pada periode itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM menganggarkan masing-masing sebesar Rp 1,08 triliun dan Rp 0,63 triliun atau kurang lebih sekitar 19,86% dan 9,2% saja dari total anggaran Kementerian ESDM yang ada.
Data realisasi perkembangan program jaringan gas kota (jargas) di atas juga menunjukkan, penurunan porsi keterlibatan langsung pemerintah melalui APBN di dalam pengembangan infrastruktur gas, dengan memperbesar porsi pengembangan melalui skema KPBU dan program kerja BUMN, menyebabkan terjadinya pergeseran (penurunan) target pengembangan jaringan gas kota yang sebelumnya telah ditetapkan.
Dalam hal ini, berdasarkan informasi yang dihimpun, pada Oktober 2023 lalu disebutkan bahwa target pengembangan jarigan gas kota yang semula adalah sebesar 4 juta Sambungan Rumah (SR) pada tahun 2024 direvisi menjadi 2,5 juta SR. Hingga Januari 2024 lalu, realisasi sambungan jaringan gas kota itu sendiri baru mencapai sekitar 900 ribu SR, atau di bawah target sebelumnya 1,2 juta SR.
Dari angka 900 ribu SR ini, sekitar 703,3 ribu SR (78,1%) dikembangkan dengan biaya APBN. Angka ini terutama dikontribusikan oleh anggaran langsung jaringan gas kota di APBN yang dilakukan hingga tahun 2022.
Apabila ditilik lebih lanjut, porsi alokasi anggaran langsung pemerintah untuk jargas selama periode 2020-2022 ditemukan mengalami tren penurunan, dari 31,8%, 17,6% dan 1,19%. Pada periode 2023–2024, tidak ditemukan lagi porsi anggaran langsung dari Kementerian ESDM untuk program jargas ini.
Pendekatan Kebijakan
Dari paparan di atas, terlihat bahwa peran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur gas melalui pembiayaan/penganggaran langsung di APBN lebih efektif dalam merealisasikan dan mempercepat pengembangan infrastruktur gas sesuai garis kebijakan energi nasional. Pengembangan infrastrutur gas melalui mekanisme KPBU dan investasi lain (swasta) akan sangat bergantung pada objektivitas, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian badan usaha yang belum tentu sejalan dengan objektif dan rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional.
Ketika terjadi perubahan objektif dari badan usaha, objektif dan rencana strategis pengembangan infrastrutur gas nasional yang sudah memiliki landasan dan semestinya menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser. Objektif, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian pemerintah dan badan usaha di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Ini yang membuat skema KPBU dan/atau skema investasi melalui mekanisme pasar biasa di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak dapat selalu bekerja/berjalan secara efektif.
Dalam pengembangan infrastruktur gas, untuk dapat membuat mekanisme KPBU dan pasar bekerja secara efektif, diperlukan peran langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian investasi yang sejalan dengan objektif, pertimbangan dan kalkulasi badan usaha. Peran langsung pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek dan/atau insentif fiskal dan non-fiskal lainnya.
Artinya, tetap diperlukan pengalokasian sumber daya atau anggaran langsung tertentu dari pemerintah melalui instrumen APBN. Khusus dalam hal KPBU dan penugasan kepada BUMN, pengalokasian anggaran, sistem dan mekanisme kerja sama dan kompensasinya perlu diatur secara jelas dan diimplementasikan secara konsisten agar tidak kontraproduktif dan menghambat kinerja BUMN secara keseluruhan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.