Transisi energi telah menjadi salah satu agenda utama pembangunan global. Sebagai salah satu emerging countries, Indonesia juga menekankan transisi energi dalam prioritas pembangunan nasional.
Indonesia berupaya untuk terlibat dalam kerja sama transisi energi di tingkat global melalui berbagai agenda dan kerja sama internasional. Dengan target dan ambisi transisi energi yang ada, penting adanya kolaborasi dan kerjasama, khususnya untuk pendanaan, investasi, dan transfer teknologi.
Untuk mencapai net-zero emission dan meningkatkan bauran energi terbarukan, Indonesia membutuhkan setidaknya 1 US$ triliun, yang tidak dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan APBN. Oleh sebab itu, dibutuhkan sumber pendanaan lain salah satunya berasal dari investasi luar negeri dan bantuan internasional.
Dalam KTT antara ASEAN dan Australia pada 4-6 Maret 2024, Indonesia menekankan komitmen pemerintah Australia dalam memberikan pembiayaan investasi hingga AU$ 2 miliar untuk Asia Tenggara, khususnya untuk pembiayaan proyek transisi energi dan infrastruktur. Indonesia juga menerima bantuan pendanaan melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) dari International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang untuk mempercepat transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Meskipun pendanaan internasional dibutuhkan, terdapat risiko ketergantungan dan intervensi secara mendalam yang berdampak pada penciptaan ketegangan geopolitik. Selain itu, pendanaan dari luar negeri yang tidak dikelola secara bijak dan transparan serta adanya ketidakstabilan kondisi global, akan memberikan risiko yang besar bagi Indonesia.
Berkaca pada pengalaman Indonesia ketika menghadapi guncangan eksternal, seperti Krisis Finansial Asia pada tahun 1997 dan guncangan Keuangan Global pada tahun 2008, terlihat jelas Indonesia menghadapi guncangan yang berbeda pada periode-periode tersebut. Pada 1997, Indonesia menunjukkan kelemahan dalam kinerja perekonomiannya dan bergulat dengan masalah moneter, seperti kredit bermasalah selama masa krisis.
Sebaliknya, pada saat krisis keuangan global tahun 2008, Indonesia telah melakukan reformasi dan mencapai sistem moneter yang lebih stabil. Tetapi pada periode tersebut, Indonesia tetap terimbas dengan melemahnya pasar keuangan, terjadi krisis likuiditas pada lembaga keuangan, melemahnya neraca pembayaran Indonesia, dan melambatnya perekonomian tersebab anjloknya kinerja ekspor.
Peristiwa-peristiwa ini menujukkan kerentanan sektor keuangan Indonesia karena sangat bergantung pada pembiayaan non-residen, khususnya di pasar portofolio. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mencapai keseimbangan antara kerja sama internasional dan kepentingan nasional terkait transisi energi, khususnya terkait pendanaan proyek-proyek energi terbarukan.
Kunci Menjaga Keseimbangan untuk Transisi Energi
Pertama, Indonesia harus melanjutkan program hilirisasi minerba dengan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Hal ini termasuk meningkatkan transparansi mulai dari proses perizinan dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengawasan, terutama terhadap nikel, bahan baku baterai kendaraan listrik.
Pasalnya, produsen kendaraan listrik (EV) seperti Tiongkok menghadapi kekurangan bahan baku baterai dan sasis EV. Kondisi ini secara signifikan dapat meningkatkan daya tawar Indonesia dalam rantai pasokan EV global, mulai dari penambangan hingga produk akhir (end-user), khususnya untuk lima jenis mineral utama (nikel, bauksit, tembaga, emas, dan timah) yang dapat membuat Indonesia lebih mampu berpartisipasi dalam persaingan rantai pasokan global.
Dalam pengembangan energi terbarukan, Indonesia memiliki potensi sebesar 3.677 GW, namun hanya sekitar 0,36% dari potensi ini yang telah dimanfaatkan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan iklim bisnis untuk menarik investor guna memanfaatkan sumber energi terbarukan.
Untuk menarik investor dengan menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi regulasi, lingkungan pasar domestik, peraturan perpajakan, dan infrastruktur. Seiring dengan semakin kompetitifnya biaya energi terbarukan, industri energi terbarukan di Indonesia harus dimulai secara intensif yang selaras dengan komitmen Pemerintah dalam meningkatkan persyaratan konten lokal.
Namun, tidak cukup sampai di sana; peningkatan sumber daya manusia juga penting. Pemerintah harus mengembangkan potensi sumber daya manusia yang ada dengan meningkatkan kapasitasnya melalui pendidikan yang relevan dan kompeten.
Hal ini juga berlaku bagi pekerja di sektor bahan bakar fosil yang mungkin akan kehilangan pekerjaan di masa depan. Mereka perlu diberdayakan melalui program relokasi dan peningkatan keterampilan dengan pengetahuan yang relevan untuk menjamin keberlanjutannya.
Selain itu, investasi pada teknologi dan inovasi domestik dapat memperkuat posisi global Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus berkomitmen untuk mengembangkan teknologi domestik yang canggih, memberikan insentif kepada perusahaan untuk penelitian dan pengembangan di bidang energi terbarukan, dan mendukung startup lokal.
Sinergi antara pemerintah dan swasta dalam mendukung inovasi domestik akan menjadi pendorong utama kemajuan Indonesia dalam transisi energi.
Indonesia juga harus mendiversifikasi pasar internasional dan sumber pendanaan untuk meminimalkan potensi guncangan eksternal. Misalnya, jika ada kendala di pasar salah satu negara dominan, maka industri dalam negeri akan terkena dampak langsungnya.
Dari sisi pendanaan, kerentanan sektor keuangan Indonesia juga diperburuk dengan besarnya kepemilikan obligasi pemerintah oleh pihak asing. Ke depan, Indonesia harus berupaya meningkatkan tabungan dalam negeri dan mengembangkan sumber pembiayaan dalam negeri.
Mendorong partisipasi domestik di pasar obligasi dan pengembangan institusi investor dalam negeri dapat membantu mendiversifikasi sumber pembiayaan dan mengurangi paparan terhadap risiko eksternal.
Terakhir, komitmen yang setara dari seluruh stakeholders adalah kuncinya. Akhirnya, komitmen yang sama dari semua pemangku kepentingan sangat penting. Kerja sama erat antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan diperlukan untuk mencapai tujuan transisi energi dengan efektif.
Dengan komitmen kuat dari semua pihak, upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam transisi energi akan lebih mudah dicapai.
Munculnya risiko yang terkait dengan ketergantungan pada bantuan internasional dan peluang yang terbuka lebar bagi Indonesia menciptakan dorongan untuk mengambil langkah-langkah untuk mengelola transisi energinya secara mandiri. Indonesia dapat memanfaatkan hubungan internasional untuk mendapatkan dukungan teknis dan keuangan. kebijakan energi yang selaras dengan konteks lokal.
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya bergantung pada bantuan luar negeri, namun juga mampu mengelola dan mengarahkan transisi energi sesuai dengan agenda global.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.