Vietnam Adalah Wake Up Call untuk Kita

Katadata/Bintan Insani
Ferro Ferizka, CEO Pijar Foundation
Penulis: Ferro Ferizka
Editor: Dini Pramita
25/6/2024, 16.54 WIB

Indonesia, negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah dan populasi terbesar di Asia Tenggara, harus menghadapi kenyataan bahwa Vietnam, negara tetangganya yang jauh lebih kecil secara luas wilayah, sedang melesat jauh melampauinya di berbagai sektor.

Wake up call yang terbaru adalah kalahnya Indonesia dalam menarik nilai investasi perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple. Pascapertemuan CEO Apple Tim Cook dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan tanggal 17 April lalu, terungkap bahwa Apple memiliki rencana berinvestasi di Indonesia senilai Rp 1,6 triliun.

Angka tersebut sekilas terdengar besar, namun ternyata sangat jauh dibandingkan dengan yang diperoleh Vietnam. Adapun investasi Apple di Vietnam sejauh ini telah mencapai US$ 15,84 miliar atau setara Rp 256,79 triliun (asumsi kurs Rp 16.211 per dolar AS), yang menciptakan sekitar 200 ribu lapangan kerja.

Pada awal tahun ini, Presiden Joko Widodo juga sudah menyampaikan kekhawatiran mengenai daya saing Indonesia dibandingkan Vietnam. Di tahun 2023, pendapatan per kapita Vietnam sekitar US$ 4,320, sementara Indonesia US$ 5,110. Sekilas, tampak angka Indonesia lebih besar. Namun apabila kita lihat dalam perspektif Vietnam baru selesai menghadapi perang sekitar tahun 1970-an, maka pertumbuhan Vietnam jauh lebih melesat dibandingkan Indonesia.

Mengapa Indonesia bisa kalah saing dibandingkan Vietnam sebagai destinasi investasi dan pusat pertumbuhan ekonomi baru di Asia Tenggara?

Namun yang lebih penting, apa yang segera perlu Indonesia perbaiki dan pelajari dari kesuksesan Vietnam?

Vietnam dan Indonesia Dulu

Pada tahun 1990-an, Vietnam adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan PDB per kapita hanya sekitar US$ 98. Ekonominya sangat bergantung pada agrikultur, khususnya padi, yang mencakup sekitar 40% dari PDB dan mempekerjakan lebih dari 70% populasi.

Sebaliknya, Indonesia di era Orde Baru mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan dengan rata-rata pertumbuhan PDB sekitar 7% per tahun antara 1967 dan 1997, didorong oleh sektor minyak dan gas serta industrialisasi yang pesat. PDB per kapita Indonesia pada 1990 sekitar US$6 70, jauh di atas Vietnam.

Reformasi "Đổi Mới", yang dimulai pada tahun 1986 memperkenalkan ekonomi pasar sosialis di Vietnam, membuka pintu bagi investasi asing dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Pada tahun 1996, Vietnam menarik Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing langsung sebesar US$ 1,6 miliar, meningkat dari hampir nol pada awal 1990-an. Pertumbuhan ekspor juga meningkat tajam, dari sekitar US$ 2 miliar pada 1990 menjadi lebih dari US$ 40 miliar pada akhir dekade tersebut.

Vietnam Kini: Destinasi Pilihan Investasi

Vietnam kini menjelma menjadi salah satu perekonomian paling menjanjikan di kawasan. Perusahaan multinasional besar seperti Samsung, Apple, Foxconn, dan Canon terus berinvestasi di Vietnam, memperkuat posisinya sebagai pusat manufaktur.

Pertumbuhan PDB tahunan Vietnam berkisar antara 6-7%, mencapai puncak 8% pada 2022, sementara Indonesia hanya tumbuh rata-rata sekitar 5% per tahun. Pada 2023, Vietnam mencatat rekor FDI sebesar US$ 36,6 miliar, meningkat 132% dari tahun sebelumnya, jauh melampaui Indonesia yang hanya mencapai US$ 18 miliar. Dalam empat bulan pertama 2024 saja, Vietnam menerima FDI sebesar US$ 9,27 miliar.

Kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia juga mulai tertinggal dibandingkan Vietnam. Skor PISA 2018 Indonesia untuk matematika (379), membaca (371), dan sains (396) berada jauh di bawah rata-rata OECD, sementara Vietnam mencatat skor lebih tinggi (matematika 495, membaca 496, dan sains 543).

Dalam Indeks Daya Saing Talenta Global (GTCI) 2022, Indonesia berada di peringkat 82 dari 133 negara, sementara Vietnam berada di peringkat lebih tinggi. Investasi Vietnam yang agresif di bidang pengembangan SDM menghasilkan tenaga kerja terampil dan kompetitif, menjadi daya tarik tambahan bagi investor asing.

Sedangkan Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, 65% usia produktif kita hanya lulusan SMP ke bawah. Usia produktif dengan pendidikan rendah, akan menghasilkan produktivitas rendah dan daya saing dan daya inovasi yang rendah pula. Ketika kualitas SDM rendah, maka Indonesia bisa jadi kurang menarik bagi investor.

Apa yang Dilakukan Vietnam?

Vietnam telah berhasil dengan konsistensi dan keberlanjutan kebijakan reformasi ekonomi. Reformasi "Đổi Mới" yang dimulai pada tahun 1986 mengubah struktur ekonomi dari sistem terpusat ke pasar bebas, didukung oleh implementasi yang berkelanjutan.

Vietnam menunjukkan kemampuan untuk menyesuaikan kebijakan, menciptakan lingkungan yang stabil bagi investor asing. Sebaliknya, Indonesia sering terjebak dalam birokrasi kompleks dan perubahan kebijakan yang tidak konsisten, sehingga menghambat investasi asing.

Keberhasilan Vietnam dalam menarik FDI juga dipicu oleh strategi promosi agresif dan kebijakan insentif yang menarik, termasuk pengurangan pajak dan fasilitas investasi di zona ekonomi khusus. Vietnam juga aktif menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan berbagai negara dan blok ekonomi, seperti Perjanjian Perdagangan Bebas Uni Eropa-Vietnam (EVFTA), yang dapat meningkatkan daya saing produk ekspor Vietnam. Hasilnya, FDI Vietnam mencapai US$ 36,6 miliar pada 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Di bidang pendidikan, Vietnam berinvestasi besar-besaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah serta fokus pada program pelatihan vokasi. Indonesia, meskipun melakukan berbagai reformasi pendidikan, kualitasnya masih di bawah rata-rata OECD, berdampak pada kesiapan tenaga kerja dalam menghadapi tantangan global.

Vietnam juga unggul dalam mendukung inovasi dan teknologi dengan insentif untuk startup dan peningkatan alokasi dana untuk R&D. Pemerintah Vietnam mendorong kolaborasi antara universitas dan industri, serta mendirikan taman sains dan teknologi, mendukung ekosistem inovasi. Sektor digital Vietnam tumbuh 19% mencapai nilai US$ 30 miliar pada 2023.

Apa Pelajaran Bagi Indonesia?

Untuk meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia perlu sadar dan bergegas. Fokus pada simplifikasi dan harmonisasi regulasi untuk mengurangi birokrasi, serta mempercepat digitalisasi pelayanan pemerintahan untuk transparansi dan efisiensi sangat penting.

Mencontoh Vietnam, Indonesia bisa memperkenalkan lebih banyak zona ekonomi khusus dengan insentif pajak, infrastruktur yang baik, dan regulasi sederhana untuk menarik lebih banyak investasi asing.

Di bidang pendidikan, Indonesia harus meningkatkan kualitas kurikulum dan pelatihan vokasi sesuai kebutuhan industri. Mengadopsi model Vietnam yang fokus pada STEM dapat meningkatkan keterampilan teknis tenaga kerja.

Pemerintah bisa memperluas program beasiswa dan pelatihan untuk guru, meningkatkan fasilitas pendidikan, dan memperkenalkan kurikulum yang berorientasi pada keterampilan praktis dan inovasi. Kemitraan dengan sektor swasta dan industri untuk program magang dan pelatihan kerja akan memastikan lulusan memiliki keterampilan relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Untuk mendorong inovasi dan teknologi, Indonesia perlu meningkatkan dukungan terhadap start-up dan UKM melalui pendanaan dan insentif fiskal. Pemerintah bisa mendirikan lebih banyak inkubator bisnis dan technopark, serta memberikan akses pembiayaan lebih mudah melalui program hibah dan pinjaman dengan bunga rendah.

Pemerintah juga dapat meningkatkan investasi dalam R&D dengan menyediakan dana khusus dan mendorong kolaborasi antara universitas, lembaga penelitian, dan industri akan meningkatkan kapasitas inovasi. Infrastruktur digital perlu ditingkatkan, termasuk memperluas jaringan internet berkecepatan tinggi ke daerah-daerah terpencil untuk memastikan akses merata ke teknologi dan informasi.

Semua yang dilakukan Vietnam ini adalah rahasia umum — tidak ada kebijakan yang tidak pernah terdengar sebelumnya oleh Indonesia. Kunci keberhasilan Vietnam terletak pada konsistensi dan fokus yang tak tergoyahkan.

Berbeda dengan Indonesia yang sering mengeluarkan kebijakan inovatif, namun terkendala di eksekusi, koordinasi, dan konsistensi. Indonesia harus berani memperkuat konsistensi kebijakan, menyederhanakan regulasi, meningkatkan pendidikan, dan mendukung inovasi. Tanpa itu, Indonesia bisa tertinggal sementara Vietnam melesat jauh ke depan.

Ferro Ferizka
CEO Pijar Foundation

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.