Tantangan ekonomi yang dihadapi pemerintahan Prabowo akan lebih berat dibandingkan era Jokowi. Prabowo tidak bisa hanya mengandalkan cara-cara lama dalam mengungkit pembangunan, apalagi mencapai pertumbuhan tinggi. Selayaknya pemerintah mulai berpikir ulang soal paradigma ekonomi yang selama ini dijalankan. Ekonomi restoratif bisa menjadi jalan baru.
Ekonomi restoratif tengah mendapat perhatian dalam berbagai forum ekonomi internasional. Pembahasan mengenai pentingnya pemulihan alam dan roda ekonomi menjadi topik menarik di tahapan G20 Brasil. Munculnya urgensi ekonomi restoratif di forum global seperti G20 tidak terlepas dari besarnya dampak krisis iklim akibat kebijakan ekonomi yang kurang selaras dengan upaya melestarikan alam.
Dalam rangka mendukung ekonomi restoratif maka dibutuhkan langkah berani dan radikal melalui kebijakan fiskal. Kerja sama berbagai pemangku kepentingan juga dibutuhkan untuk mengokestrasi gerakan progresif ekonomi restoratif.
Ekonomi Ekstraktif yang Eksploitatif
Riset CELIOS dan CREA berjudul “Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel” di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menemukan bahwa sektor ekstraktif berdampak negatif terhadap ekonomi dan kesehatan. Industri nikel tidak selalu bicara nilai tambah, tapi juga dampak negatif pada total output ekonomi daerah, surplus usaha, serapan tenaga kerja, dan upah tenaga kerja.
Selain itu, cara eksploitasi masif industri nikel juga berdampak negatif pada perekonomian masyarakat hingga Rp6 triliun pada sektor pertanian dan perikanan serta berisiko menurunkan pendapatan masyarakat hingga Rp3,64 triliun.
Bukan hanya dampak ekonomi langsung, simulasi dampak pada kesehatan masyarakat berisiko menimbulkan kematian 3.800 jiwa pada 2025 dan 5.000 jiwa hingga 2030 akibat polusi udara zat PM2.5, NO2, dan SO2 melebihi ambang batas harian. Zat polutif tersebut berasal dari PLTU batubara maupun pengolahan logam.
Ancaman pada lingkungan juga terjadi akibat partikel logam berat yang mengancam keanekaragaman laut dan hutan di kawasan lindung terdekat. Hal ini dapat memberi beban ekonomi sebesar Rp53 triliun hingga 2030.
Temuan lain dalam penelitian CELIOS dan Greenpeace mengungkapkan bahwa kontribusi dari ekonomi ekstraktif yang diklaim selama ini bisa jadi menciptakan kesejahteraan yang semu. Desa-desa yang mengandalkan sektor pertambangan memiliki kecenderungan memiliki akses yang lebih rendah pada pendidikan, air bersih, hingga kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai, dan akses pada teknologi komunikasi atau internet. Hal ini dapat memperburuk pencapaian kualitas hidup di wilayah sekitar pertambangan.
Ekonomi Restoratif
Ekonomi restoratif merupakan bentuk antitesa ekonomi konvensional yang menitikberatkan pada eksploitasi SDA. Prinsip ekonomi restoratif berorientasi pada pemulihan kerusakan lingkungan, kolektivitas masyarakat lokal, dan transformasi sosial-ekologis yang holistik. Cara ini diharapkan mampu menciptakan kualitas hidup manusia yang lebih sejahtera, adil, berkelanjutan, dan inklusif.
Prinsip ini bisa dikonkretkan dengan menjadikan program dan lembaga yang berkontribusi pada pemulihan lingkungan dan sosial yang holistik menjadi prioritas. Pemerintah dapat memasukkan ke dalam setiap target rencana jangka pendek hingga panjang.
Pendekatan ekonomi restoratif dibutuhkan di tengah penurunan keanekaragaman hayati sebesar 69% selama 50 tahun terakhir di Indonesia. Secara global, menurut UNEP 3,2 miliar orang terutama di pedesaan dan yang termiskin terdampak degradasi tanah. Tak hanya itu, kerusakan alam membawa dampak sosial dan membebani ekonomi global hingga Rp150,4 kuadriliun.
Fokus strategi ekonomi restoratif yang lebih holistik ini diproyeksikan memberikan manfaat ekonomi senilai US$7-US$30 setara Rp112 ribu - Rp480 ribu pada setiap Rp16 ribu uang yang diinvestasikan untuk merestorasi lahan. Manfaat ini juga termasuk dalam menciptakan green jobs sebesar 18-25 juta, menjaga seperempat ekonomi desa yang tergantung pada hutan, dan menjaga lahan serta keanekaragaman hayati.
Bentuk ekonomi restoratif meliputi ketahanan pangan berbasis pangan lokal dari hutan maupun ekosistem pesisir, penanaman kembali lahan eks tambang, mendorong ekspor produk perkebunan secara berkelanjutan, agroforestri, hingga permakultur.
Dukungan Kebijakan Fiskal
Dukungan kebijakan fiskal untuk ekonomi restoratif di Indonesia masih mengalami beberapa tantangan. Tantangan resistensi politik muncul sebagai implikasi hubungan erat elit politik dan oligarki dengan bisnis pertambangan yang berpotensi menolak disinsentif atas sektor ekstraktif. Resistensi ekonomi menjadi tantangan mengingat dominasi energi fosil, terkhusus batu bara yang masih tinggi dalam mendukung industri dan perekonomian.
Kuatnya kepentingan kelompok yang diuntungkan dari eksploitasi SDA juga menjadi tantangan. Ini tercermin dari Indeks Korupsi Indonesia yang stagnan di 34 poin menjadi indikator rendahnya transparansi dan tingginya angka korupsi di Indonesia.
Kondisi ini menjadi sumber dari ketimpangan fiskal dalam kebijakan ekonomi restoratif. Pembiayaan ekonomi restoratif oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini mencapai Rp103,245 triliun. Dana tersebut didapat dari berbagai mekanisme dan lembaga, seperti dari Dana Bagi Hasil SDA, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, Anggaran Belanja Pemerintah Pusat untuk Lingkungan Hidup, Dana Desa untuk Energi Terbarukan, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Dana Alokasi Khusus untuk Ketahanan Pangan dan Pertanian, dan Dana Alokasi Khusus Pelayanan Sampah.
Di tengah pengelolaan dan implementasi dana tersebut yang masih belum optimal dan tidak tepat sasaran, menurut perkiraan CELIOS Indonesia membutuhkan dana sampai tahun 2045 hingga Rp892,15 triliun. Rendahnya rasio pajak Indonesia yang berimplikasi pada rendahnya penerimaan pajak dan risiko utang berpotensi menambah beban fiskal, sehingga mengurangi porsi anggaran untuk ekonomi restoratif.
Kondisi ini terjadi di saat pemerintah baru masih memiliki beban anggaran dari janji kampanye 2024. Maka dari itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih radikal dan progresif dalam fiskal untuk memenuhi anggaran secara berkelanjutan.
Kebijakan fiskal yang dimaksud adalah kebijakan fiskal berkeadilan. Kebijakan fiskal berkeadilan yang bisa diambil seperti penerapan pajak produksi batu bara, pajak karbon, windfall profit tax, pajak kekayaan, dan pajak berkeadilan lain dapat menjadi solusi konkrit dalam mengupayakan dana ekonomi restoratif.
Perkiraan CELIOS, setidaknya dapat diperoleh dana hingga Rp241 triliun dari penerapan berbagai pajak yang progresif. Alih-alih memberi insentif fiskal pada sektor ekstraktif dan tinggi emisi, sebaiknya pemerintah menginisiasi langkah berani dan radikal dalam mendukung ekonomi restoratif.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.