Peluang Menerbitkan Obligasi Bencana di Indonesia

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Fikri C. Permana
4/11/2024, 07.31 WIB

Berbagai teori pertumbuhan ekonomi, baik dari aliran Klasik, Keynesian, maupun teori endogen, cenderung fokus pada sektor-sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Di tingkat masyarakat, perhatian utama sering kali tertuju pada bagaimana mengakumulasi kekayaan, mencapai stabilitas, dan menciptakan keberlanjutan. 

Namun, upaya untuk menjaga atau mempertahankan nilai yang telah dicapai seringkali terabaikan. Hal ini mungkin terkait dengan budaya optimisme di Indonesia, yang cenderung menghindari pemikiran negatif.

Merujuk pada World Risk Index (WRI) 2023 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft dan Institute for International Law of Peace and Armed Conflict pada September 2023, Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara paling rawan bencana di dunia. Posisinya hanya di belakang Filipina. 

Dua indikator utama yang digunakan, yakni Exposure dan Vulnerability (termasuk Susceptibility, Lack of Coping Capacities, dan Lack of Adaptive Capacities), menunjukkan tingkat risiko yang dikategorikan “Sangat Tinggi.” 

Ini berarti kemungkinan terjadinya bencana dan banyak orang yang berpotensi terkena dampak selain tingginya. Tingkat pemulihan di Indonesia relatif lebih rendah dan memakan waktu lebih lama dibandingkan negara lain. Meskipun Indonesia memiliki budaya gotong royong yang kuat.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi potensi La Nina yang dimulai pada Oktober. Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik) membuat kita harus selalu siap menghadapi aktivitas seismik, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, ataupun risiko megathrust. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 5.400 kejadian bencana alam di wilayah Indonesia sepanjang 2023.

Tantangan ini semakin besar jika kita mempertimbangkan dampaknya terhadap kegiatan ekonomi. Di satu sisi, bencana secara langsung mempengaruhi infrastruktur, properti, dan aset produktif. 

Di sisi lain, secara tidak langsung bencana meningkatkan risiko inflasi biaya (cost-push inflation) akibat gagal panen, guncangan pasokan, perpindahan penduduk, dan kebutuhan adaptasi keterampilan ketika harus beralih dari satu sektor ke sektor lain. Hal ini sering disebut sebagai opportunity cost, di mana hilangnya kesempatan menyebabkan inefisiensi atau kerugian dalam perekonomian.

Sebagai pengingat, lebih dari 300 kejadian banjir yang melanda berbagai wilayah di Indonesia dari Januari hingga April 2024 menyebabkan gagal panen di 20 provinsi. Hal ini mengakibatkan penurunan produksi gabah kering sebesar hampir 17,6% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Dampaknya, harga beras di pasar tradisional naik sebesar 9,97% setiap bulan dari Januari hingga Maret 2024. Kenaikan harga ini mendorong inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia hingga melampaui angka 3,0% pada Maret 2024, tingkat yang terakhir terlihat pada Agustus 2023.

Sebagai antisipasi, pemerintah merespons dengan impor beras sebanyak 5,2 juta ton sepanjang 2024, dengan realisasi impor mencapai 1,77 juta ton dari Januari hingga April 2024. Pemerintah juga memberikan bantuan kepada petani yang mengalami gagal panen, sebesar Rp8 juta per hektare pada periode yang sama.

Bencana tsunami Aceh pada 2004 menjadi pelajaran penting dalam mitigasi risiko. Selain memakan korban lebih dari 230 ribu jiwa, biaya pemulihan pascabencana diperkirakan mencapai lebih dari Rp51,4 triliun, yang bahkan lebih tinggi dari alokasi anggaran Provinsi Aceh di tahun 2024 yang mencapai 48,6 triliun rupiah. 

Untungnya saat ini teknologi untuk menganalisis dan menyebarkan informasi kebencanaan, seperti gempa dan tsunami, sudah diterapkan dalam bentuk Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWs).

Pada 2018, Indonesia telah memiliki Dana Bencana Alam Indonesia (Indonesia Natural Disaster Management Fund – INDMF). Selain itu, pada 13 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021), atau Pooling Fund Bencana (PFB). 

Ini adalah langkah konkret pemerintah untuk menciptakan mekanisme pendanaan penanggulangan bencana yang lebih fleksibel dan proaktif. Hal ini merupakan langkah inovatif selain dari skema yang telah disiapkan pemerintah sebelumnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang merupakan turunan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 

Keberadaan peraturan ini diharapkan dapat menjamin ketersediaan Dana PFB yang memadai, tepat waktu, tepat sasaran, terencana, berkelanjutan, melindungi keuangan negara, dan memperkuat kapasitas pemerintah dalam pendanaan penanggulangan bencana. Namun, meskipun tidak ada seorangpun yang menginginkan adanya bencana, kemungkinan-kemungkinan kejadian tidak diinginkan masih mungkin terjadi.

Pada 2021 juga diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. 

Perpres ini diterbitkan sebagai bagian dari langkah pengendalian perubahan iklim yang mempengaruhi frekuensi dan intensitas bencana. Dengan penerapan Perpres ini, pemerintah Indonesia berharap dapat meningkatkan efektivitas mitigasi perubahan iklim.

Walaupun begitu, berbagai inovasi dalam pengelolaan risiko, salah satunya dengan menerbitkan Catastrophe Bond (CAT Bond) juga dapat menjadi alternatif lain. CAT Bond merupakan instrumen keuangan yang memungkinkan pemerintah atau perusahaan untuk mengalihkan sebagian risiko bencana kepada pasar modal, yang dikenal juga dengan insurance-linked-security (ILS).

Contoh penerapan CAT Bond adalah surat utang yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada 2014 lalu. Obligasi ini diperuntukkan bagi negara-negara di kawasan Karibia guna melindungi mereka dari risiko badai. 

Melalui CAT Bond, investor akan mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan instrumen tradisional. Sementara di sisi lain, pemerintah mendapatkan perlindungan finansial yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi bencana. Jika bencana terjadi, sebagian atau seluruh pembayaran kepada investor dapat dialihkan untuk membiayai pemulihan.

Karenanya penerapan CAT Bond di Indonesia juga menjadi hal yang relevan. Sebab selain dapat memberikan solusi finansial bagi pemerintah dalam mengelola risiko bencana, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mitigasi risiko. 

Apalagi dalam menghadapi tantangan bencana yang semakin kompleks, sehingga inovasi dalam pendanaan dan pengelolaan risiko sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Terlebih kondisi bencana bisa saja terulang di masa depan, termasuk bencana yang disebabkan oleh manusia atau teknologi, seperti serangan siber.

Fikri C. Permana
Senior Economist PT KB Valbury Sekuritas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.