Masih Pentingkah Kemampuan Coding Saat AI Berkembang Pesat?

Ilustrator : Bintan Insani | Katadata
Penulis: St Wisnu Wijaya
5/12/2024, 14.29 WIB

Akhir-akhir ini coding skills dan kecerdasan buatan (AI) menjadi buzzword yang menggema di seluruh negeri. Tentu saja ini karena rencana kebijakan Pemerintah Prabowo Subianto untuk menerapkan pembelajaran coding skills yang dilaksanakan mulai jenjang pendidikan dasar. Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan dampak signifikan dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang melek teknologi digital.

Hal ini sejalan dengan rilis dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Dalam ministerial meeting on the digital economy 2016 menegaskan bahwa setiap individu harus menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam science, technology, engineering, and mathematics (STEM) agar efektif dalam merespons dan memanfaatkan lingkungan kerja yang padat teknologi.

Berdasarkan data “Digital Literacy Index 2021” yang disurvei oleh Katadata, nilai indeks literasi digital Indonesia masih dalam kategori medium yang membutuhkan penguatan terus-menerus. Padahal, berdasarkan “The Future Jobs Report 2023”, 75 % dari seluruh perusahaan akan mengadopsi big data, cloud computing, dan AI technology untuk operasional bisnis mereka(WEF, 2023). 

Untuk itu, menyiapkan bekal yang komprehensif bagi siswa agar mampu berpartisipasi dan berkontribusi serta merespons peluang yang terbuka dalam lingkungan padat teknologi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari.

Di sisi lain, sebuah pernyataan dari Jensen Huang, President dan CEO Nvidia, ketika berkunjung ke Indonesia menyatakan hal berbeda. Orang terkaya kesembilan di dunia versi Forbes pada November lalu ini menilai anak-anak tidak perlu repot lagi belajar coding karena AI dapat menangani hal tersebut dengan lebih sempurna. Hal ini tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar.

Tulisan pendek ini akan membahas gagasan tentang coding skills, computational thinking, dan AI literacy, untuk memberikan pencerahan posisi ketiga kompetensi tersebut dalam era yang sangat padat dengan teknologi. Semoga tulisan pendek ini memberi pencerahan yang memperkuat gagasan dalam merespons kehadiran teknologi AI saat ini.

Memperkuat Computational Thinking melalui Coding Skills

Sebagaimana disampaikan di atas, dua pernyataan yang tampak kontradiktif menggema dan menjadi perdebatan publik saat ini, antara perlunya coding skills dan tidak perlunya belajar coding karena adanya AI. Mari kita perhatikan definisi keduanya dahulu.

Coding adalah kompetensi untuk menginstruksikan agar komputer menjalankan tugas tertentu. Tentu saja penguasaan coding skills memerlukan pemahaman yang cukup mendalam tentang bagaimana komputer itu bekerja.  Programmer perlu memahami cara kerja komputer agar mampu memberikan instruksi yang benar kepada komputer. Penguasaan bahasa pemrograman dan desain algoritma sangat diperlukan dalam membangun kode-kode yang dipahami oleh komputer. 

Namun kompetensi ini tidaklah cukup untuk memenangkan kompetisi dalam lingkungan padat teknologi. Tidak hanya sekadar coding skills yang diperlukan, lebih jauh lagi yaitu   computational thinking. Ini sebuah kompetensi yang meletakkan kemampuan dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan teknologi komputer sangat diperlukan oleh dunia bisnis saat ini (Wing, 2006).

Computational thinking tidak terbatas pada kompetensi dalam menyusun instruksi kepada komputer secara efektif, namun sampai pada higher order thinking skill yang mampu memodelkan, membangun abstraksi, generalisasi, dan dekomposisi persoalan nyata sehingga dapat diselesaikan dengan bantuan teknologi komputer.

Pengembangan kompetensi computational thinking dapat melalui pengembangan coding skills. Bahkan, menurut Oluk dan Kormas (2016), siswa yang memiliki kemampuan coding bagus memiliki korelasi dengan peningkatan kemampuan computational thinking-nya. Computational thinking sangat baik diajarkan sejak siswa berada di jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi.

Gambar di bawah ini menjelaskan computational thinking (Selby, 2015)

 

Gambar 1. Computational thinking menurut Guzdial(2008)

Computational thinking dapat dipahami sebagai sebuah pendekatan pemecahan masalah sehari-hari bagi setiap individu. Lebih jauh lagi, computational thinking dapat dilihat sebagai sebuah proses pemecahan masalah (Mohaghegh & Mccauley, 2016; Ng et al., 2021; Selby, 2015)

  • Dekomposisi: me- dekomposisi suatu persoalan menjadi beberapa komponen penyusun.
  • Pattern recognition: pengenalan terhadap analisis data dan melihat kesesuaian pola
  • Abstraksi: kemampuan dalam memilih informasi yang esensial dan mengeliminasi informasi yang kurang relevan, objek permasalahan, dan solusinya.
  • Algorithm design: kemampuan dalam menentukan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah.
  • Modelling and simulation: membangun model dan simulasi dalam menggambarkan proses
  • Evaluation: menentukan efektivitas dari solusi, mengeneralisir dan mengidentifikasi untuk diterapkan pada persoalan yang mirip.

Penerapan computational thinking tidak terbatas pada keilmuan computer science, informatika, atau software engineering, namun diperlukan di berbagai bidang ilmu yang lain.  Begitu juga metode pengajaran computational thinking tidak terbatas melalui pengajaran coding saja, namun dapat melalui berbagai pendekatan lain dalam berbagai bidang ilmu.

Mempersiapkan AI Literacy

Kemudian apakah benar bahwa kita tidak perlu belajar coding ketika teknologi AI telah hadir? Teknologi AI, yang dahulu dikenal sebagai 2 SKS perkuliahan saja di Jurusan Informatika dan Computer Science, saat ini telah berkembang pesat dan menjadi teknologi yang mengubah cara belajar, bekerja, dan berinteraksi dengan manusia.

Benar bahwa sekarang AI dapat menghasilkan script pemrograman lebih akurat daripada programmer sendiri. Memang hal itu adalah sebuah terobosan besar di abad ini. Lebih jauh lagi, AI dapat membantu manusia dalam memecahkan berbagai macam persoalan. Sehingga saat ini, mempelajari AI tidak terbatas pada jurusan software engineering, computer science, atau  informatika saja. Pengetahuan dan keterampilan AI sangat diperlukan di berbagai bidang ilmu lain, mulai dari teknologi pangan, matematika, desain produk, rekayasa, bisnis  sampai dengan ilmu sosial.  

Logis yang sampaikan oleh Manyika et al. (2017), jika diprediksi hampir 47 % pekerjaan akan terpengaruh langsung oleh kehadiran teknologi ini sampai dengan 2030, terutama adalah pekerjaan yang bersifat repetitif.

Untuk merespons kehadiran teknologi AI, maka diperlukan kompetensi bidang AI yang lebih populer disebut sebagai AI Literacy. Menurut Ng et al. (2021), AI literacy merupakan kompetensi untuk memahami, menggunakan, menerapkan, mengevaluasi, dan merancang bangun teknologi AI. Kompetensi ini mensyaratkan tidak hanya lower order thinking skills namun sampai dengan higher order thinking skills.

Selain itu, dalam setiap level kompetensi perlu memahami interaksi human-AI di ranah etika AI.  Ng et al. (2021) menjelaskan dengan rinci tentang AI literacy ini dan menyusunnya sebagaimana level kompetensi pembelajaran taksonomi Bloom sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini.

 

Untuk mencapai AI literacy yang paripurna, diperlukan kompetensi teknis dan higher order thinking skills yang mencukupi. AI literacy adalah suatu proses kognitif yang memerlukan pemahaman teknis tentang bagaimana komputer bekerja dan pengetahuan yang memadai tentang isu etika AI.

AI literacy tentu saja sangat erat dengan computational thinking skills yang merupakan kompetensi yang komprehensif untuk memecahkan masalah dalam “in computational way”.  Coding skills dapat menyediakan kompetensi yang memadai tentang bagaimana komputer bekerja dalam menterjemahkan masalah dan mensolusikannya. 

Penguasaan computational thinking skills yang dapat dikembangkan melalui coding skills dapat mendorong penguasaan AI literacy sebagaimana disampaikan oleh (Ng et al., 2021).

**

Sumber Pustaka

Manyika, J., Lund, S., Chui, M., Bughin, J., Woetzel, J., Batra, P., Ko, R., & Sanghvi, S. (2017). Jobs lost, jobs gained: Workforce transitions in a time of automation. McKinsey Global Institute, December.

Mohaghegh, M., & Mccauley, M. (2016). Computational Thinking: The Skill Set of the 21st Century. (IJCSIT) International Journal of Computer Science and Information Technologies, 7(3).

Ng, D. T. K., Leung, J. K. L., Chu, S. K. W., & Qiao, M. S. (2021). Conceptualizing AI literacy: An exploratory review. Computers and Education: Artificial Intelligence, 2. https://doi.org/10.1016/j.caeai.2021.100041

OECD. (2016). ICTs and Jobs - complements or substitutes? The effects of ICT investment on labour market demand by skills and by industry in selected OECD countries. OECD Digital Economy Papers, 259, 1–55.

Selby, C. C. (2015). Relationships: Computational thinking, Pedagogy of programming, And bloom’s taxonomy. ACM International Conference Proceeding Series, 09-11-November-2015. https://doi.org/10.1145/2818314.2818315

WEF. (2023). Future of jobs report 2023. In World Economic Forum.

Wing, J. M. (2006). Wing, J. M. (2006). Computational thinking. Communications of the ACM, 49(3).

St Wisnu Wijaya
Dean School of Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM) Universitas Prasetiya Mulya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.