“Every nation gets the government it deserves,” ujar filosof Joseph de Maistre (1811). Ada sarkasme pilu saat diterapkan pada realitas pilkada kita.
Jika hanya merujuk pendapat politikus dan temuan pembuat survei, maka demokrasi di Indonesia baik-baik saja. Sangat berbeda dengan pandangan pegiat masyarakat sipil dan gerakan prodemokrasi yang skeptis dengan kondisi dan hasil pemilu akhir-akhir ini.
Sudut pandang yang optimistik beranjak dari pijakan demokrasi prosedural. Kompas merilis headline “Indonesia Kian Matang Berdemokrasi” sehari setelah pilkada dengan mengutip pendapat politikus yang muncul. Sementara dalam Dies Natalis ke-75 UGM, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa pilkada serentak yang damai di 545 daerah menunjukkan demokrasi berjalan baik.
Mundur sedikit ke pilpres dan Pileg, CSIS dalam publikasi riset “Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas dan Berintegritas” (2024) menyebut demokrasi Indonesia masih resilient. Jika tidak puas dengan itu, Lembaga Survei Indonesia menemukan sekitar 83,6% masyarakat mengaku puas dengan pelaksanaan pemilu pada Februari 2024 dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 81,78%.
Pemilu kita memang telah memenuhi prosedur tahapan pemilu, partisipasi (voter turnout) yang tinggi, dan minimnya konflik dan kekerasan selama periode pemilu. Akan tetapi, pemilu sejatinya bukan sekadar daftar periksa dalam memilih pemimpin. Pemilu, pada umumnya, dan pilkada, secara khusus, adalah arena penentuan nasib selama lima tahun ke depan.
Demokrasi Inklusif
David Beetham (Democracy and Human Rights, 1999) merumuskan demokrasi sebagai kontrol rakyat terhadap urusan publik dan politik berbasis persamaan hak dan warga negara. Tujuan demokrasi dalam kerangka ini adalah terselenggaranya kesejahteraan yang hanya bisa dibangun di atas bekerja-tidaknya institusi demokrasi.
Institusi demokrasi yang inklusif memajukan perwakilan politik, partisipasi warga negara, kanalisasi isu dan kepentingan, dan penguatan demokrasi lokal. Sebagai satu, namun sangat penting, di antara sekian unsur institusi demokrasi, pemilu menjadi pintu masuk menuju kesejahteraan.
Menggunakan sudut tersebut, kita dapat menilai pilkada serentak masih jauh dari bekerjanya lembaga demokrasi bagi kesejahteraan rakyat. Permintaan demokrasi sebagai agregasi kepentingan dan representasi semakin susut, sementara penawaran pada pengingkaran nilai-nilai demokratis semakin meningkat.
Sangat sulit ditemukan kontrak politik antara paslon dengan kelompok pemilih. Padahal dalam periode pilkada serentak maupun yang tidak sebelumnya, kita masih menyaksikan rakyat miskin kota di Jakarta atau Makassar, misalnya, hanya memberikan suara kepada kandidat yang berikrar memperhatikan nasib kaum papa dan tidak melakukan penggusuran.
Kontrak politik telah digantikan dengan kampanye populis satu arah yang disampaikan tanpa ikatan politik yang jelas. Janji kampanye populis sangat efektif memukau pemilih karena menyentuh ruang emosional mereka. Terutama dilakukan dengan cara figur kharismatik mengidentifikasi diri dengan kelas bawah yang mendominasi kolam suara kita.
Tawaran-tawaran sumber daya ekonomi, seperti sekian ratus juta hingga miliar alokasi dana lingkungan-kampung hingga bantuan sosial dan lainnya dengan mudah dilontarkan. Padahal, janji tersebut akan menguap dan terlupakan tidak lama setelah paslon terpilih karena ketiadaan sumber daya finansial pendukung, maupun karena operasionalisasinya memang tidak dipikirkan.
Sementara populisme menguat, politik uang dalam berbagai bentuk terus memburuk. Pilkada serentak yang digadang-gadang pemerintah untuk menekan biaya, justru semakin meningkatkan politik uang. Logistik bukan lagi sekadar iklan, membuat poster dan atribut kampanye lainnya, atau biaya perjalanan untuk sosialisasi dan pengadaan ruang kampanye. Politik uang untuk mengikat pemilih telah membuat para politisi bangkrut. Mereka harus merogoh kantong dalam-dalam atau punya sponsor yang kuat untuk menang kontestasi elektoral.
Politik berbiaya mahal akan berdampak pada resiko korupsi pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam selama lima tahun pemerintahan. Selain itu, masyarakat yang menerima serangan fajar atau janji proyek dan bantuan akan semakin permisif dan kehilangan daya kritisnya terhadap pemerintahan.
Pilihan Terbatas
Dalam pemilu yang telah menjadi politik transaksional elit semata, partai politik mendominasi penentuan paslon. Jalur independen dan kotak kosong pun tidak lebih dari pengantar pengantin, sehingga warga terpaksa memilih siapapun yang disodorkan. Gerakan coblos semua adalah ekspresi ketidakpuasan pada terbatasnya pilihan.
Dinasti politik telah pula menjadi kewajaran. ICW mendokumentasikan 26,8% peserta pilkada terafiliasi dengan dinasti politik. Sementara peneliti post-doctoral politik, Yoes Kenawas mencatat dinasti politik mencakup 65% kandidat dari 545 daerah, atau dua kali lipat lebih banyak dibandingkan pilkada 2017, 2018, 2020 digabungkan.
Protodinastik telah menjadi politik yang mengandalkan dinasti. Contoh dari nasional saat Gibran diloloskan menjadi calon Wapres dan cawe-cawe Jokowi untuk memastikan kemenangan Prabowo-Gibran semakin memberi efek buruk. Masyarakat di bawah pun tidak melihat ada yang salah dalam praktik yang diusung partai politik, dan tidak terlihat penolakan dari pemilih dalam bentuk pengalihan suara.
Selain dinasti politik, figur paslon pun masih memainkan politik identitas. Kampanye mengedepankan primordialisme daerah, kesukuan, agama, ataupun eksploitasi identitas gender. Edukasi publik oleh program pemerintah dan para penggerak tentang nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan keragaman dalam di kampung hancur terlibas oleh sentimen identitas yang disuarakan oleh paslon. Kemenangan yang mengandalkan politisasi identitas akan berdampak jauh setelah pemilu dalam bentuk sobeknya jalinan sosial.
Pemilih juga dikepung oleh pendukung agenda ekstraktif. Banyak paslon yang maju dengan maksud melakukan aksi pertambangan, eksploitasi hasil hutan, dan perampasan tanah. Mereka hanya menyalin-pasangkan agenda pemerintah pusat sebagai program prioritas mereka. Padahal, langkah tersebut justru memperkuat resentralisasi kekuasaan.
Mereka lupa esensi Reformasi yang telah memberi otonomi daerah untuk membuat kebijakan dan membangun sedekat-dekatnya bagi kepentingan setempat. Belum lagi maraknya laporan tentang upaya aparat, kepolisian dan birokrasi, untuk ikut terlibat dalam memastikan calon mana yang mendapat didukung dan mana yang dikekang.
Pekerjaan Rumah Masyarakat Sipil
Demokrasi elektoral di Indonesia baru sanggup menjamin hak-hak sipil-politik, namun belum mampu mengaitkannya dengan upaya pencapaian kesejahteraan. Gagasan besar, seperti universal basic income, selama kampanye di Bojonegoro baru muncul sporadis. Pada umumnya, kepentingan konkret warga yang biasa disuarakan masyarakat sipil hilang dari wacana publik.
Pilkada belum jadi ajang menentukan masa depan warga saat pemilih baru mampu memilih orang dengan memberi cek kosong sebagai pemimpin mereka. Pendidikan politik kini terasa begitu jauh dari sasaran di tengah pemilu yang transaksional dan brutal.
Keputusan MK dan keberhasilan aksi “Peringatan Darurat” untuk memungkinkan ambang pencalonan kandidat lebih rendah dalam pilkada belum mampu mengonversi kemarahan publik untuk menghukum politisi busuk agar tidak jadi kepala daerah. Alih-alih, pilkada mengantar paslon dengan agenda oligarkis, wakil dinasti, hingga pelanggar nilai-nilai keberagaman dan memiliki catatan lainya untuk melenggang ke kekuasaan.
Karena itu, pekerjaan rumah masyarakat sipil dan gerakan prodemokrasi begitu besar untuk mengagendakan dan mendorong perubahan. Ke dalam, pertama-tama, kita harus mengembangkan inovasi untuk mengikat pemilih dan yang dipilih melampaui hajatan pesta demokrasi. Inovasi mana bermuara pada ekonomi kerakyatan, pelayanan publik yang inklusif, dan penghormatan pada HAM dan lingkungan.
Kedua, masih banyak potensi konstituen dalam diri anak muda maupun kelompok warga berbasis pekerjaan dan wilayah yang belum terorganisir dengan seksama. Masyarakat sipil harus mengintegrasikan pengorganisiran ke dalam program, karena kelompok-kelompok itulah yang diharapkan jadi pemilih cerdas, penggerak, maupun kandidat alternatif nantinya.
Ketiga, diperlukan wawasan tentang pentingnya berjuang di dalam, ataupun terhubung dengan, struktur politik formal demi daya tawar yang lebih kuat. Go politics! pun harus menjembatani sekat-sekat perjuangan politik sehari-hari dengan upaya untuk mengubah struktur kekuasaan dan kebijakan yang lebih besar.
Ke luar, masyarakat sipil perlu menjadikan kecurangan dan buruknya kualitas pemilu sebagai argumen untuk menuntut perbaikan sistem kepemiluan dan politik secara mendasar. Semua peluang yang ada di MK, parlemen dan pemerintah harus dimanfaatkan untuk mengoreksi sistem politik dan kepemiluan.
Namun, masyarakat sipil dan gerakan prodemokrasi tidak boleh lengah. Pernyataan terbuka Prabowo yang mengkritik demokrasi Indonesia sebagai melelahkan, berantakan, dan mahal harus diwaspadai. Jangan sampai perubahan sistem pemilu justru memberangus hak rakyat untuk pemilihan langsung seperti dulu pernah terjadi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.