Mencekik Masyarakat Merauke dengan Lumbung Pangan

Laksmi Adriani Savitri
Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Laksmi Adriani Savitri
13/3/2025, 08.04 WIB

Di ufuk timur Indonesia, Merauke membentang luas dengan lahan subur yang telah lama menjadi rumah bagi masyarakat adat Malind Anim. Masyarakat adat Malind Anim adalah suku terbesar di Papua Selatan yang tersebar dari Kondo hingga sungai Digoel. Dalam beberapa dekade terakhir, tanah ini mengalami transformasi besar di bawah dalih pembangunan dan ketahanan pangan. Dengan proyek lumbung pangan nasional yang terus diperluas, masyarakat adat menghadapi ancaman serius: mereka kehilangan tanah, sumber pangan, pengetahuan dan budaya, serta hak untuk hidup dalam ruang yang sudah menyatu dengan mereka secara turun-temurun.

Ini bisa disebut sebagai potret nyata praktik nekropolitik atau politik kematian oleh negara. Nekropolitik merupakan istilah yang dieksplorasi oleh filsuf Kamerun, Achille Mbembe. Kata “nekro” berasal dari bahasa Yunani yang berarti jenazah, mayat, atau kematian. Negara tidak membunuh mereka secara fisik, tetapi perlahan-lahan merampas hak hidup mereka dengan kebijakan yang menyempitkan ruang gerak dan kehidupan mereka. 

Dalam kondisi ini, masyarakat adat kesulitan untuk bernapas lega di tanahnya sendiri. Politik yang menciptakan kesesakan bernapas bagi sekelompok masyarakat, secara metaforis bisa dinamai politik sesak napas atau dispnea. Politik dispnea yang dijalankan oleh negara merupakan cara bekerja nekropolitik sejak 115 tahun lalu di Merauke. Negara kolonial secara sistematis mencekik kehidupan masyarakat pribumi dengan cara yang tidak langsung tetapi mematikan. Sampai hari ini.

Sejak 2010, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) telah mengubah lanskap sosial dan ekologis di wilayah ini. Pemerintah, dalam ambisinya mencapai swasembada pangan, membuka lahan secara besar-besaran, menggusur masyarakat Malind Anim dari tanah adat mereka. Dengan dalih investasi dan modernisasi pertanian, lahan yang dulunya menjadi sumber kehidupan alami kini dikuasai oleh korporasi besar. Para petani kecil dan masyarakat adat kehilangan kendali atas tanah dan kekayaan alam yang telah mereka kuasai secara bergenerasi.

Tanah yang mereka pijak bukan lagi milik mereka. Konsesi diberikan kepada perusahaan agribisnis, yang sering kali bekerja sama dengan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan doktrin pembangunan, negara secara efektif menghilangkan hak-hak masyarakat adat melalui legalisasi eksploitasi tanah dan sumber daya alam mereka.

Dalam kondisi ini, masyarakat adat dipaksa untuk hidup dalam ketidakpastian. Mereka yang dulu hidup dari berburu, berkebun secara tradisional, dan memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak, kini kehilangan akses terhadap tanah dan air. Perubahan ini tidak hanya menghilangkan mata pencaharian mereka tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya yang telah mengakar kuat selama berabad-abad.

Kebijakan pangan di Merauke tidak hanya melibatkan aspek ekonomi dan lingkungan, tetapi juga keamanan. Sejak 2015, keterlibatan militer dalam proyek pertanian semakin terlihat jelas. Dengan alasan mendukung ketahanan pangan dan menjaga stabilitas nasional, TNI berperan aktif dalam membuka lahan, mendisiplinkan petani, dan memastikan proyek lumbung pangan berjalan sesuai rencana.

Namun, bagi masyarakat lokal, kehadiran militer lebih menyerupai ancaman daripada dukungan. TNI tidak hanya bertugas dalam aspek teknis pertanian tetapi juga menjadi alat negara dalam menekan masyarakat adat yang menolak menyerahkan tanah mereka. Militerisasi ini menciptakan suasana ketakutan, di mana setiap bentuk protes atau penolakan terhadap kebijakan lumbung pangan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional.

Masyarakat yang menolak menyerahkan tanah mereka sering kali menghadapi tekanan, baik dalam bentuk intimidasi langsung maupun tindakan represif. Dalam kondisi ini, penolakan menjadi semakin sulit. Politik ketakutan yang diterapkan negara menjadikan masyarakat adat semakin kehilangan keberanian untuk berbicara, dan akhirnya menyerah pada kebijakan yang semakin mencekik mereka. 

Lumbung pangan nasional di Merauke bukan hanya berdampak pada manusia tetapi juga ekosistem yang selama ini menopang kehidupan mereka. Pembukaan lahan secara besar-besaran menyebabkan kerusakan lingkungan yang tak terhindarkan. Hutan yang dulunya menjadi habitat alami berbagai flora dan fauna ditebang demi sawah dan perkebunan skala industri.

Perubahan lanskap ini berkontribusi terhadap bencana ekologis. Pada 2024, banjir besar melanda beberapa distrik di Merauke, membawa dampak yang menghancurkan bagi masyarakat setempat. Tanah yang kehilangan vegetasi alaminya kehilangan kemampuan menyerap air, menyebabkan banjir yang semakin parah dari tahun ke tahun. Selain itu, penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara masif mencemari sumber air, merusak ekosistem sungai yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat.

Bagi masyarakat Malind Anim, degradasi lingkungan ini bukan sekadar kehilangan keindahan alam, tetapi juga hilangnya sistem kehidupan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Mereka tidak hanya kehilangan tanah tetapi juga sumber makanan alami yang telah menjadi bagian dari identitas mereka.

Achille Mbembe dalam konsep nekropolitiknya menjelaskan bagaimana negara memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati. Di Merauke, politik dispnea dijalankan dengan cara menciptakan kondisi di mana masyarakat adat tidak dapat hidup dengan layak. Mereka dipaksa beradaptasi dengan sistem yang tidak mengakomodasi kebutuhan dan keberlangsungan hidup mereka.

Dengan kehilangan tanah, mereka terpaksa bekerja sebagai buruh di tanah leluhur mereka sendiri atau meninggalkan tanah mereka untuk mencari kehidupan di tempat lain. Mereka yang tetap bertahan menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis yang semakin kuat. Melalui kehadiran militer negara menciptakan teror sehingga masyarakat adat selalu hidup dalam ketakutan dan kesesakan di tanah mereka sendiri.

Pemerintah, dengan kebijakan lumbung pangannya, tidak hanya mengatur produksi pangan tetapi juga mengontrol kehidupan dan kematian masyarakat di Merauke. Mereka yang sebelumnya hidup dalam harmoni dengan alam kini dipaksa untuk mengikuti sistem yang tidak mereka kenal, tidak mereka butuhkan, dan tidak memberikan manfaat nyata bagi mereka.

Di tengah ketidakadilan yang terus berlangsung, harapan belum sepenuhnya hilang. Perlawanan masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan berbagai organisasi hak asasi manusia terus mengkritisi kebijakan negara yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. Kesadaran akan pentingnya mempertahankan tanah adat dan hak-hak masyarakat lokal mulai mendapat perhatian lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah negara akan mendengar? Ataukah mereka akan tetap memilih jalan nekropolitik yang menempatkan kepentingan ekonomi politik dan keamanan di atas hak-hak hidup masyarakat adat?

Lumbung pangan di Merauke mungkin akan terus diperluas, tetapi selama kebijakan ini tidak memperhitungkan kesejahteraan masyarakat lokal, maka itu bukan pembangunan—melainkan penghancuran. Masyarakat Malind Anim tidak hanya menghadapi ancaman terhadap tanah mereka tetapi juga terhadap keberlanjutan hidup mereka. Dalam menghadapi politik dispnea ini, mereka terus berjuang agar besok masih bisa bernapas di tanah mereka sendiri.

Laksmi Adriani Savitri
Peneliti Agraria dan Pangan, CTSS-IPB Fellow

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.