Strategi Mencegah Keracunan dalam Program MBG

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: M. Ikhsan Shiddieqy
29/8/2025, 07.05 WIB

Pemerintah menaikkan anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) tahun depan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, program prioritas Presiden Prabowo Subianto itu dialokasikan anggaran Rp335 triliun. Angka tersebut naik 371,8% dibanding anggaran MBG tahun ini yang sebesar Rp71 triliun.

Rencana menjangkau jutaan penerima manfaat tentu menjadi agenda besar yang patut diapresiasi. Program ini tidak hanya mencerminkan komitmen negara dalam memperbaiki gizi masyarakat, tetapi juga menunjukkan kemampuan logistik dan koordinasi lintas sektor.

Keberhasilan kuantitatif belum otomatis menjamin keberhasilan dari sisi kualitas dan keamanan. Dalam penyelenggaraan program MBG yang melibatkan jutaan orang, aspek higienitas dan keamanan pangan menjadi titik kritis yang harus dijaga secara konsisten. 

Meskipun tingkat keberhasilan program mencapai 99,99%, dengan hanya 0,005% kasus keracunan dari jutaan penerima manfaat, insiden-insiden ini tetap menimbulkan kekhawatiran. Persentase kasus yang kecil bukan berarti kejadian ini tidak penting.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setiap tahun terjadi 600 juta kasus keracunan makanan atau hampir menimpa 1 dari 10 orang di dunia. Kejadian ini menyebabkan korban meninggal mencapai 420 ribu orang setiap tahunnya.

Keracunan makanan (food poisoning) terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh bakteri, virus, atau parasit. Kontaminasi ini bisa terjadi pada berbagai tahap, mulai dari produksi, pengolahan, hingga penyajian makanan.

Bakteri seperti Staphylococcus, Escherichia coli, dan Salmonella sering menjadi penyebab utama keracunan makanan, terutama jika makanan tidak ditangani dan disimpan dengan benar. Selain itu, kebersihan dan higienitas dari orang dan barang juga menjadi faktor pemicu.

Ensuring safe food involves more than washing hands or cooking food to higher temperatures, it involves politics,” begitu kata Marion Nestle, nutrisionis terkemuka penulis Safe Food: The Politics of Food Safety (2010). Hal ini menunjukkan keamanan pangan perlu kebijakan holistik.

Standar kualitas, prosedur, dan protokol dalam tata niaga pangan di Indonesia sudah barang tentu tersedia dalam banyak dokumen pemerintah. Namun, titik kritis dari permasalahan keracunan makanan adalah faktor literasi dan implementasi di tataran praktis.

Pemahaman Kolektif

Produksi pangan memiliki proses yang unik dan kompleks. Perjalanan sebuah komoditas pangan sejak dari lahan pertanian hingga tiba di meja makan (from farm to fork) melibatkan orang yang banyak dan menggunakan alat yang tidak sedikit.

Setiap komoditas pangan juga harus menempuh jarak jauh, singgah di berbagai tempat, dan dikemas dalam berbagai bentuk sebelum tiba di tangan konsumen. Belum lagi terpaan cuaca dan suhu yang dialami bahan pangan tersebut dalam perjalanannya.

Banyaknya orang yang terlibat dalam proses produksi pangan menunjukkan pentingnya pemahaman kolektif mengenai keamanan pangan. Dengan kata lain, literasi mengenai keamanan pangan perlu dimiliki semua pihak, tanpa kecuali.

Mendorong siswa untuk menggunakan sendok dan mencuci tangan sebelum makan merupakan hal yang baik. Namun, hal tersebut akan kurang bermakna jika higienitas tidak diperhatikan di mata rantai sebelumnya, khususnya di proses produksi dan distribusi.

Pemahaman kolektif tidak hanya diperlukan dalam aspek higienitas saja, namun juga pada pengetahuan dasar bahan pangan. Komoditas pangan yang tergolong mudah rusak (perishable food) perlu mendapat perhatian penting.

Beberapa komoditas pangan, khususnya produk peternakan seperti daging, ayam, telur, dan produk susu dapat cepat membusuk pada suhu yang tidak tepat. Hal ini tentu memerlukan penyesuaian dalam distribusi (cold chain management), penyimpanan, hingga proses memasak.

Distribusi Pangan

Rantai distribusi yang panjang juga menjadi tantangan dalam menjaga kualitas dan harga pangan. Semakin panjang rantai distribusi, semakin besar risiko kontaminasi. Oleh karena itu, rantai distribusi yang singkat dan efisien merupakan hal penting. 

Ini menambah alasan pentingnya penggunaan pangan lokal yang dapat mengefisienkan rantai distribusi. Pangan ini melibatkan lebih sedikit orang dalam mata rantainya. Pangan lokal memiliki food miles yang lebih singkat dibanding pangan lainnya. 

Indonesia dapat mengintip program MBG di sesama di negara tropis. Di Brasil, program MBG yang bertajuk Programa Nacional de Alimentação Escolar mengatur minimum 30% anggaran digunakan membeli bahan baku dari pemasok lokal berskala kecil.

Pada 2026, Brasil menargetkan semua pemasok bahan baku MBG merupakan produsen yang menerapkan pertanian berkelanjutan (sustainable farming). Target utamanya adalah mendapat pemasok bahan pangan 100% organik pada 2030.

India menjadikan distribusi dan higienitas pangan menjadi hal penting dalam program MBG atau Mid-Day Meal Scheme. Kondisi geografis yang kompleks menjadikan produksi menu makanan merupakan kombinasi pendekatan sentralisasi dan desentralisasi.

Di wilayah urban, proses memasak dilakukan di dapur sentral, kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah. Lain halnya dengan daerah pedalaman yang mengandalkan komunitas setempat yang memasak secara on-site

Berangkat dari kondisi-kondisi tersebut, penyusunan strategi dalam penyediaan menu MBG yang aman di Indonesia perlu dukungan literasi yang baik dari semua orang yang terlibat di dalamnya, khususnya dalam hal higienitas dan pola distribusi.

Ketimpangan literasi di satu sisi saja membuat upaya menghadirkan menu MBG yang aman menjadi kurang maksimal. Setelah peningkatan pemahaman diraih secara kolektif, tantangan berikutnya adalah mengawal agar pemahaman tersebut diterapkan di tahap praktik.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

M. Ikhsan Shiddieqy
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.