Siapa Harus Bayar Utang Whoosh?

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Wijayanto Samirin
29/10/2025, 07.05 WIB

Dalam hitungan kurang dari sepekan, isu utang proyek kereta cepat Whoosh kembali menyita perhatian publik. Pemicunya adalah pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan APBN untuk membayar utang Whoosh—sikap yang berseberangan dengan narasi Danantara, yang justru meminta pemerintah ikut menanggung beban tersebut. 

Pernyataan itu langsung bergulir menjadi bola panas. Dari ruang rapat kementerian hingga obrolan di warung kopi, topik ini melebar dari ekonomi dan geopolitik hingga ranah hukum dan dugaan mark-up proyek yang berpotensi menjadi kasus korupsi. Isu terakhir inilah yang membuat jantung sejumlah kalangan berdegup lebih kencang.

Nama-nama besar seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Mahfud MD, Rosan Roeslani, hingga Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto ikut terlibat dalam bertukar wacana. Sayangnya, semakin ramai pembicaraan tak selalu mendekatkan kita pada solusi. Justru semakin politis dan semakin kabur arah penyelesaiannya.

Apapun dinamika politik yang terjadi, bangsa ini membutuhkan jalan keluar yang cepat sekaligus tepat. Semakin lama ditunda, semakin berat beban keuangan negara, semakin sulit posisi Whoosh, dan semakin banyak energi bangsa terbuang dalam polemik. Kecepatan solusi saja tanpa ketepatan, akan memperberat prospek perkeretaapian nasional.

Akar Masalah

Salah satu alasan Indonesia memilih Tiongkok dan membentuk konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah tawaran investasi yang lebih rendah dibandingkan Jepang: US$6,07 miliar, di mana US$4,55 miliar di antaranya dibiayai pinjaman dari China Development Bank (CDB). Pinjaman itu memiliki tenor 40 tahun, masa tenggang 10 tahun, dan bunga 2%.

Dengan porsi kepemilikan 60% konsorsium BUMN Indonesia dan 40% pihak Tiongkok, maka tanggung jawab utang sebesar US$2,73 miliar menjadi bagian Indonesia. Sesuai kesepakatan awal, skema ini bersifat business to business (B2B), tanpa jaminan pemerintah.

Namun, biaya proyek membengkak menjadi US$7,27 miliar—akibat cost overrun sebesar US$1,2 miliar. Untuk menutupinya, KCIC menambah setoran modal dan mencari pinjaman tambahan sebesar US$0,9 miliar, di mana 60% (US$0,54 miliar) menjadi tanggung jawab Indonesia, kali ini dengan jaminan pemerintah.

Artinya, total utang Indonesia sebenarnya US$3,27 miliar, bukan US$7,27 miliar. Rinciannya: US$2,73 miliar tanpa jaminan, US$0,54 miliar dengan jaminan pemerintah. Diperkirakan 80% digunakan untuk prasarana (lahan, rel, sinyal, stasiun), dan 20% untuk sarana (kereta, gerbong, kantor, dan operasional).

Buah Inovasi Kebijakan

Transformasi sektor perkeretaapian nasional sesungguhnya dimulai pada era SBY-JK, ketika pemerintah mengambil alih pembangunan prasarana—rel, fasilitas perawatan, dan sinyal—sehingga PT Kereta Api Indonesia (KAI) bisa fokus pada pengelolaan sarana dan layanan. Kebijakan ini sejalan dengan UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, yang menegaskan bahwa prasarana merupakan aset dan tanggung jawab negara.

Kebijakan ini melahirkan proyek double track di Pulau Jawa, yang memungkinkan peningkatan ketepatan waktu, keamanan, kenyamanan, dan efisiensi layanan kereta api. Masyarakat pun menikmati transportasi yang lebih terjangkau dan andal, sementara ekonomi daerah ikut menggeliat. Seandainya KAI tetap menanggung biaya prasarana, kemajuan ini nyaris mustahil terwujud.

Konsep di atas sejalan dengan praktik terbaik di Jepang, Korea Selatan, Singapura, hingga berbagai negara Eropa: pemerintah membangun prasarana, operator kereta api mengelola layanan. Negara memperoleh pendapatan dari track access fee, sementara operator mendapatkan laba dari penjualan jasa kepada penumpang.

Sebaliknya, pendekatan di Amerika Serikat, yang menempatkan AMTRAK sebagai operator kereta api sekaligus pengembang mayoritas prasarana, berujung pada layanan kereta yang tertinggal dan tidak efisien—situasi yang pernah dialami Indonesia sebelum era 2007.

Tiga Opsi Solusi

Melihat kondisi Whoosh kini, ruang negosiasi dengan Tiongkok sesungguhnya masih terbuka lebar seperti diindikasikan oleh perwakilan Tiongkok. Indonesia bisa menegosiasikan perpanjangan masa tenggang, penambahan tenor, dan penurunan suku bunga. Opsi lain yang dapat dipertimbangkan adalah debt-to-equity swap, dimana sebagian utang dikonversi menjadi saham KCIC sehingga porsi kepemilikan konsorsium BUMN berkurang, tetapi beban utang pun turun.

Lalu siapa yang menanggung utang? Terdapat tiga opsi yang layak dipertimbangkan. ⁠Opsi pertama: pemerintah menanggung utang yang dijaminkan (US$0,54 miliar), sementara Danantara menanggung utang B2B (US$2,73 miliar). Namun, situasi  akan ini berat bagi Danantara yang sedang merestrukturisasi berbagai BUMN dan minim sumber dana; apalagi ia mendapatkan mandat berat untuk menarik investasi asing di berbagai sektor strategis.

Opsi kedua: pembagian beban 50:50 antara pemerintah dan Danantara, masing-masing menanggung sekitar US$1,64 miliar. Meski menggunakan konsep B2B, proyek ini lahir dari penugasan presiden, sehingga dukungan fiskal tetap relevan—seperti halnya pada proyek LRT dan berbagai jalan tol.

Opsi ketiga: mengikuti amanat UU 23/2007, dimana pemerintah menanggung biaya prasarana (US$2,62 miliar), sedangkan konsorsium BUMN menanggung biaya sarana (US$0,65 miliar). Opsi ini selain konsisten secara hukum juga telah terbukti mampu mendorong kemajuan perkeretaapian nasional.

Indonesia Incorporated

Menolak pelibatan APBN dalam utang Whoosh mungkin terdengar heroik—seolah menegakkan disiplin fiskal sekaligus menghukum kebijakan ugal-ugalan masa lalu. Namun, keputusan yang populer di ruang publik belum tentu terbaik untuk masa depan bangsa.

Pada akhirnya, baik dana APBN maupun dana Danantara sama-sama milik rakyat, seperti kantong kiri dan kantong kanan saja. Keduanya harus dikelola dengan semangat pengabdian bagi NKRI. Sepanjang tetap sehat bagi fiskal kita, tidak ada salahnya kita mendukung agar Danantara kuat, sehingga investasi akan mengalir, BUMN kian efisien, dan ekonomi nasional berputar lebih kencang. Pada gilirannya, fondasi fiskal negara akan semakin kokoh.

Mudah-mudahan, solusi untuk Whoosh tak perlu lahir dari rapat maraton yang melelahkan. Cukup obrolan ringan antara Rosan Roeslani dan Purbaya Yudhi Sadewa sambil menyeduh secangkir kopi—memilih salah satu dari tiga opsi yang ketiganya berpihak pada satu tujuan: kemajuan Indonesia Incorporated.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Wijayanto Samirin
Ekonom Universitas Paramadina

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.