Studi Indonesia Sustainable Mobility Outlook 2025 oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) menggarisbawahi kemacetan di Indonesia terjadi karena ketimpangan antara pertumbuhan kendaraan dan panjang jalan. Sepanjang 2005-2020, ruas jalan nasional bertambah panjang 39%, jauh lebih kecil dibandingkan pertumbuhan kendaraan pribadi 290%. Berdasarkan data Bank Dunia, kemacetan ini mengakibatkan kerugian finansial minimal US$4 miliar per tahun, salah satunya berasal dari BBM yang sia-sia dibakar saat kendaraan terjebak macet.
Akselerasi transportasi umum seharusnya menjadi solusi terbaik untuk menangkal kemacetan karena akan mengurangi jumlah kendaraan di jalan. Sayangnya, kondisi transportasi umum cukup mengkhawatirkan karena dari 44 wilayah perkotaan yang memiliki layanan transportasi umum di Indonesia, 19 di antaranya tidak lagi beroperasi sejak 2023 (ITDP, 2024). Sementara itu, layanan transportasi umum yang masih beroperasi di 25 kota juga tidak terjamin kualitasnya.
Keterbatasan anggaran pemerintah daerah menjadi salah satu tantangan berat dalam mengembangkan transportasi umum. Kondisi ini tercermin dari terhentinya layanan buy the service (BTS) program BisKita dan Teman Bus di sejumlah daerah—seperti Palembang, Bogor, dan Bali—akibat berkurangnya subsidi dari pemerintah pusat. Trans Batik Solo masih cukup “beruntung”, pengurangan subsidi pemerintah dari Rp80 miliar menjadi seperempatnya “hanya” memaksa mereka untuk mengurangi layanan di sembilan koridor.
Alih-alih berfokus pada moda besar seperti kereta dan bus kota, revitalisasi angkutan kota atau angkot perlu diutamakan karena biaya pengembangannya lebih terjangkau. Pemerintah juga tidak perlu membangun sistem dari nol karena hampir seluruh wilayah di Indonesia sudah memiliki jaringan angkot. Selain itu dengan ukurannya yang kecil, angkot mampu menyapu jalan-jalan sempit di area padat penduduk sehingga berpeluang memiliki occupancy rate (tingkat keterisian) yang lebih tinggi ketimbang bus.
Rekomendasi Revitalisasi Angkot
Berbagai data menunjukkan jumlah penumpang angkot di kota-kota Indonesia tergerus oleh kehadiran transportasi online, seperti yang terjadi di Pati, Bandung, Makassar, dan Manado. Meski jumlah penggunanya terus menurun, studi di Padang menunjukkan bahwa angkot tetap memiliki pelanggan loyal karena faktor ekonomi (Ichsan, M., et al., 2025).
Selain itu, riset Jumain et. al. (2021) menjabarkan adanya segmen tertentu yang membutuhkan angkutan umum, yakni mereka yang bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Kalangan tersebut tidak dapat bepergian sendiri karena alasan fisik (sakit, fisik kecil), legalitas (tidak punya SIM), dan finansial.
Angkot kalah kompetitif akibat memberikan durasi perjalanan yang tidak menentu karena kebiasaan ngetem, pengalaman pengguna kurang nyaman karena tidak ada standar pelayanan, dan jalur tidak efektif karena adanya overlap trayek. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan revitalisasi angkot menuju sistem yang modern dan terukur untuk mendapatkan angkot nyaman, aman, dan memberikan waktu perjalanan yang pasti, sehingga akan menarik segmen penumpang yang selama ini menggunakan transportasi pribadi dan online.
Rekomendasi pertama adalah pemerintah daerah melakukan formalisasi angkot untuk menstandardisasi kualitas layanan. Skema pendanaan yang diusulkan adalah buy the service (BTS) dari pemerintah daerah kepada operator atau pemilik angkot. Adapun nilai kontrak dihitung berdasarkan rupiah per kilometer.
Kehadiran kontrak membuat operator menikmati pendapatan teratur tanpa perlu mengebut atau ngetem untuk mengejar penumpang. Dengan merangkul operator eksisting, pemerintah daerah juga tidak perlu membangun sistem dari nol. Mikrotrans Jakarta bisa menjadi studi kasus yang diimplementasikan provinsi lain. Kehadirannya terbukti diterima dengan baik, terlihat dari adanya kenaikan rata-rata penumpang harian per unit secara year-on-year, yakni dari 95 penumpang (Q1-2023) menjadi 165 penumpang (Q1-2024).
Dengan nilai kontrak sebesar Rp5.000-Rp6.000 per kilometer tempuh, dapat diestimasi penyelenggaraan satu unit Mikrotrans adalah Rp295 juta-Rp354 juta per tahun. Dari angka tersebut, pemerintah daerah perlu menentukan harga tiket angkot ideal yang sekiranya tidak membebani APBD, sementara di sisi lain masih terjangkau oleh masyarakat.
Kedua, pemerintah pusat perlu memastikan kesiapan fiskal pemerintah daerah dalam memformalisasi angkot. Terhentinya atau berkurangnya layanan BisKita dan Teman Bus—karena berkurangnya subsidi dari pemerintah pusat—menggambarkan sketsa menyakitkan belum kuatnya kemampuan finansial daerah di luar Jakarta.
Padahal, evaluasi dari Direktorat Angkutan Jalan pada 2024 menunjukkan program ini telah mengubah kebiasaan warga dalam bertransportasi, misalnya sebanyak 69% pengguna transportasi umum sebelumnya menggunakan sepeda motor. Inisiatif dan kreativitas pemenuhan fiskal daerah harus segera dilakukan untuk menjaga tren positif tersebut.
Potensi sumber pendanaan bisa berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), sesuai dengan yang diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 35/2023. Regulasi tersebut menyatakan 10% pendapatan daerah dari PKB dan opsen PKB dialokasikan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur jalan dan transportasi umum. Selain political will dari kepala daerah, implementasi regulasi ini juga perlu dimonitor oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Sumber potensi pendanaan lain bisa berasal dari CSR perusahaan swasta dan BUMN setempat, serta memasang iklan di halte dan badan angkot.
Rekomendasi ketiga adalah memastikan benar bahwa rute angkot sudah selaras dengan kebutuhan pergerakan penduduk. Studi Jauhari dan Sardjito (2015) menunjukkan dalam menentukan rute angkutan umum, kualitas coverage route lebih penting ketimbang jarak perjalanan. Hal ini menandakan rute angkot harus berkualitas, artinya dapat menyapu area dengan kepadatan penduduk (khususnya kalangan pekerja dan anak sekolah) yang tinggi.
Rute angkot juga harus melewati sumber keramaian, seperti pemukiman, kawasan perkantoran dan jasa, kawasan industri, dan ruang publik. Keseluruhan rute tidak perlu panjang, tetapi efisien karena hampir separuh penumpang angkot melakukan perjalanan jarak menengah sejauh 3-5 kilometer (Siahaan dan Lase, 2021).
Rute angkot juga perlu dipastikan terintegrasi dengan terminal dan stasiun agar bisa meningkatkan tingkat keterisian transportasi publik utama seperti bus dan kereta. Di Jakarta, misal, setiap terintegrasinya Mikrotrans dengan koridor utama Transjakarta akan menambah jumlah penumpang sebanyak 0,71% pada koridor tersebut (Dharmawan, 2022).
Tiga rekomendasi di atas perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan tata kelola angkot di Indonesia. Angkot adalah jalan masuk perbaikan sistem transportasi umum yang lebih menyeluruh karena dapat berperan sebagai feeder penyedia perjalanan awal dan akhir (first mile and last mile) terhadap kereta dan bus kota.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.