Menakar Efektivitas Injeksi BI Untuk Likuiditas Perbankan

123RF.com/troyzen
Di tengah pandemi corona, Bank Indonesia menambah likuiditas perbankan dengan menurunkan giro wajib minimum atau GWM.
Penulis: Sorta Tobing
16/4/2020, 08.00 WIB

Kondisi Perbankan Masih Kuat, Mengarah Waspada

Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pun mengingatkan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) berpotensi meningkat tahun ini. Infeksi Covid-19 telah menekan perekonomian secara global, termasuk Indonesia.

Kegiatan usaha banyak berhenti efek dari lockdown atau isolasi ketat di sejumlah negara untuk mencegah penyebaran virus corona. Hal ini membuat ekonomi dunia memburuk, begitu pula dengan dan kredit perbankan. 

Kenaikan NPL bisa terjadi, terutama untuk bank skala kecil, mengingat saat ini perbankan masih gencar menyalurkan pinjaman. “Dengan masalah ini, otomatis akan berdampak pada stabilitas keuangan,” ujar Chatib dalam konferensi video pada Senin lalu.

Di sisi lain, likuiditas perbankan, terutama dalam bentuk dolar Amerika Serikat, kemungkinan mengetat. Tapi perbankan, menurut Chatib, harus tetap menyalurkan kreditnya. Jika tidak, banyak perusahaan akan bangkrut dan penggangguran terjadi besar-besaran.

(Baca: BRI Ungkap Empat Skema Restrukturisasi Debitur Terdampak Covid-19)

Dalam lima tahun terakhir grafik NPL perbankan bergerak fluktuatif tapi cenderung meningkat. Peningkatan ini terjadi pada bank BUKU I dan II. Sebaliknya, penurunan terjadi pada bank BUKU III dan IV.

Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo mengatakan, kondisi likuiditas perbankan Indonesia, terutama BRI, masih sangat kuat menghadapi potensi restrukturisasi kredit. Hal ini tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) BRI per Februari 2020, yang sebesar 89,5%.

"Kebutuhan likuiditas BRI masih sangat mencukupi. Rasio LDR maupun NSFR pun tetap terjaga diatas minimum yang dipersyaratkan sebesar 100%," katanya. NSFR atau net stable funding ratio merupakan perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia dengan pendanaan stabil yang diperlukan.

Kepala Eksekutif Lembaga Penjaminan Simpanan Lana Soelistianingsih sempat menyebut ada delapan bank berpotensi membutuhkan penanganan dalam skenario terberat dampak pandemi corona. Kebutuhan dana untuk penanganan bank gagal akan sangat bergantung pada masing-masing bank saat diserahkan Otoritas Jasa Keuangan kepada lembaga itu.

“Karena itu, kebijakan OJK untuk merger paksa kalau dapat dilakukan di awal, tentu akan membantu keuangan LPS,” kata Lana pada Kamis pekan lalu.

(Baca: CIMB Niaga Proses Restrukturisasi 5 Ribu Debitur Terdampak Covid-19)

Namun, pernyataan ini segera dikoreksi oleh Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah. "Delapan bank berpotensi gagal tidak benar. Indikator bank masih normal, fundamentalnya cukup kuat" ucapnya.

Angka delapan muncul berdasarkan perhitungan kemampuan LPS dalam menangani bank gagal. Dalam kondisi normal, lembaga itu kerap membuat skenario satu bank kecil, dua bank menengah besar, dan lima bank perkreditan rakyat (BPR) berpotensi gagal.

Sementara dalam kondisi pandemi corona, lembaga tersebut membentuk skenario delapan bank dapat berpotensi gagal. "Ini lebih kepada skenario untuk kondisi keuangan LPS mampu berapa," kata dia.

Saat ini LPS memiliki total aset mencapai Rp 128 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 120 triliun akan dipergunakan untuk menangani perbankan jika ada yang ditetapkan gagal lembaga ini masih dapat menangani empat atau lima bank berskala kecil atau bermodal inti di bawah Rp 5 triliun yang gagal. Sementara jika ada bank beraset besar yang gagal, maka memakai pinjaman dari pemerintah.

Halim memastikan kondisi perbankan masih kuat meski mengarah ke waspada. Pemerintah dan regulator keuangan berharap krisis tidak benar-benar terjadi. Namun, berbagai antisipasi harus dilakukan untuk menyiapkan kondisi terburuk.

(Baca: BTN Restrukturisasi Kredit 17 Ribu Debitur KPR Terdampak Covid-19)

LPS mengakui sempat menyorot kondisi bank yang masuk kategori BUKU I. Kelompok bank ini sempat mengalami tekanan, terutama pada Maret 2020. Namun, sekarang sudah ada sedikit perbaikan setelah BI melakukan langkah-langkah drastis, seperti penurunan GWM dan meningkatkan operasi pasar pesertanya.

BI menjamin kondisi perbankan tergolong aman di tengah besarnya dampak pandemi virus corona ke perekonomian nasional. Kondisi ini terlihat dari rasio permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) dan NPL yang tetap baik.

"Saya harus sampaikan bahwa kondisi perbankan Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan tahun 2008 apalagi dengan 1997-1998," ujar Perry pada akhir Maret lalu.

CAR industri perbankan mencapai 23%, sementara NPL perbankan sebelum Covid-19 melanda tercatat sebesar 2,5% secara gross dan 1,3% secara nett. Dengan kondisi tersebut, industri perbankan secara umum tetap kuat. Meski demikian, dirinya tak menampik pandemi corona akan menekan perekonomian dan berdampak pada industri keuangan.

(Baca: LPS Bantah Ada 8 Bank Berpotensi Gagal, Indikator Masih Normal)

Halaman:
Reporter: Agustiyanti, Agatha Olivia Victoria