Krisis Pangan Dunia Menghantui Indonesia

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/aww.
Sejumlah pekerja memanen padi di area persawahan Desa Hutabohu, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Selasa (24/3/2020). Harga beras jenis Situ Bagendit naik dari Rp 9 ribu per kg menjadi Rp10 ribu di tingkat petani akibat gagal panen di sejumlah wilayah karena musim kemarau yang melanda hingga bulan Februari lalu.
15/4/2020, 08.00 WIB

Pandemi corona telah memukul industri penerbangan, pasar saham, sampai harga minyak akibat penurunan aktivitas ekonomi dunia. Kini mengancam ketahanan pangan global. Indonesia tak kalis darinya. Beras, daging kerbau atau sapi, dan gula berpotensi langka jika pemerintah tak melakukan langkah taktis.

Akhir bulan lalu, Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan bahwa krisis pangan dunia berpotensi terjadi pada April dan Mei karena rantai pasokan terganggu kebijakan negara-negara dalam menekan penyebaran virus corona. Misalnya, pemberlakuan karantina wilayah atau lockdown, pembatasan sosial, dan larangan perjalanan.

Lockdown dan pembatasan sosial, menurut FAO, sangat memengaruhi sektor pertanian. Khususnya di komoditas bernilai tinggi, seperti sayuran dan buah-buahan yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam produksinya. Sementara komoditas bahan pokok yang padat modal relatif tak terpengaruh. Begitupun sektor peternakan terpengaruh dalam hal pemenuhan pakan hewan ternak, proses penjagalan, serta pengolahan daging.

Italia, seperti dilansir World Economic Forum, terancam tak bisa memaksimalkan masa panen Mei mendatang karena kehilangan 200 ribu pekerja akibat lockdown. Pekerja mesti digilir dengan jam kerja terbatas. Sementara masa panen membutuhkan tenaga berjumlah besar dengan jam kerja panjang.

Di Amerika Serikat, menurut analis Rabobank Christine McCracken seperti dilansir Bloomberg, perusahaan pengolahan daging telah mengalami penurunan produksi 20-30 %. Pekerja di sana terpaksa tinggal di rumah sesuai kebijakan pembatasan sosial yang berlaku.

Lalu, larangan perjalanan menurut FAO berdampak kepada distribusi pangan. Kebijakan ini membatasai operasional pelabuhan, truk pengangkut, sampai penerbangan yang berperan penting dalam mendistribusikan pangan lintas wilayah dan negara.

Hans Muylaert-Gelein, Direktur Manajerial Fruits Limited, sebuah perusahaan ekspor buah dan sayuran di Afrika Selatan dengan tujuan utama ke Inggris, menyatakan perusahaannya terkendala mengirim produk karena pesawat yang beroperasi sedikit. Sementara pesawat yang tetap beroperasi menetapkan tarif selangit.  

(Baca: Jokowi Waspadai Krisis Pangan, Ini Peringatan FAO saat Pandemi Corona)

Kebijakan larangan perjalanan juga mengganggu ketersediaan pekerja migran musiman bagi negara dalam melaksanakan masa petik tanaman. Misalnya Spanyol yang bulan ini akan memasuki musim panen. Melansir World Economic Forum, semestinya 16 ribu buruh tani musiman dari Maroko telah tiba di Spanyol. Namun hal itu tak terjadi lantaran Maroko melarang penduduknya ke luar negeri.

Padahal, menurut data Eurostat pada 2017, Spanyol adalah produsen dan pemasok buah terbesar di Eropa dengan 40,1 % kapasitas produksi. Negara ini juga produsen sayuran terbesar kedua di Eropa dengan 17,3 % kapasitas produksi, di bawah Italia yang memiliki kapasitas produksi sebesar 17,8 %. Maka, kendala panen di Spanyol sangat mungkin berimbas kepada produksi buah dan sayur Eropa.

Belum lagi ditambah kebijakan negara-negara pengirim pangan menghentikan ekspor. Vietnam dan Kazakhstan adalah dua negara yang telah mensetop komoditasnya lari ke luar negeri. Melansir Reuters, Vietnam memutuskan untuk menunda perjanjian ekspor beras guna memenuhi cadangan dalam negerinya. Kementerian Keuangan Vietnam dalam keterangan resminya hendak mencadangkan 270.000 ton beras dan 80.000 ton gabah untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya selama pandemi corona. “Ketahanan pangan dalam negeri harus menjadi prioritas utama,” kata Kementerian Keuangan Vietnam.

Sementara itu, Kazakhstan menunda sementara ekspor komoditi penting sejak 22 Maret lalu sampai waktu yang belum ditentukan. Salah satu komoditi yang dipangkas adalah daging dan gandum. Meskipun bukan pemain ekspor utama dunia, tapi pasokan Kazakhstan penting bagi negara di Kawasan Asia Tengah. Uzbekistan dan Tajikistan, misalnya, menggantungkan 95 % kebutuhan gandumnya kepada Kazakhstan.

(Baca: Pasokan Pangan Dunia Terguncang Covid-19, Bagaimana di Indonesia?)

Chief Economist FAO, Maximo Torero Cullen dalam laporannya berjudul Coronavirus Food Supply Chain Under Strain, What to Do? yang terbit di situs resmi FAO pada 24 Maret, melihat masalah lain dalam rantai pasokan makanan adalah nilai tukar mata uang. Menurutnya, bagi negara dengan nilai tukar mata uang rendah dan berstatus importir akan semakin sulit mengakses pangan.

Dalam laporan selanjutnya yang terbit pada 29 Maret, Cullen menyatakan krisis pangan saat ini akan sangat berdampak kepada negara dengan ketahanan pangan domestik paling lemah. Seperti negara-negara yang telah memiliki masalah kelaparan dan tak bisa memproduksi pangan di dalam negeri. Oleh karena itu, ia menyarankan kerja sama lintas negara dunia dalam mengamankan pasokan pangan. Bukan justru membatasi ekspor.

Panic Buying dan Daya Beli Menambah Masalah

Senior Economist FAO, Abdolreza Abbassian kepada Reuters pada 21 Maret menyatakan, panic buying adalah masalah lain yang memengaruhi kelangkaan pangan di lapangan sementara rantai pasokan terganggu. “Ini bukan masalah pasokan, tapi perubahan kebiasaan dalam memenuhi pangan. Bagaimana jika banyak pembeli berpikir tak bisa mendapatkan pangan pada Mei atau Juni? Itulah yang akan membuat krisis pangan,” kata dia.

Merujuk data Nielsen, penduduk Inggris mulai melakukan panic buying dan menimbun makanan sejak Februari. Beberapa jenis makanan pun hilang di tingkat retail seperti pasta, daging kaleng susu UHT dan sup kaleng. Data Nielsen mencatat penjualan pasta dan daging kaleng meningkat 60 %, susu UHT melonjak lebih dari 80 %, dan sup kaleng meningkat 65 % dibandingkan tahun sebelumnya di bulan yang sama.

Selain itu, Abdolreza menyatakan tingginya angka pengangguran menjadi masalah di hilir. Daya beli makanan akan menurun dan bisa semakin memperburuk gangguan rantai pasok. Ketika banyak makanan tak terbeli, penghasilan di tingkat hulu menurun. Sementara biaya produksi sudah semakin tinggi. Industri pangan akan terancam.  

(Baca: Gelombang PHK Besar Imbas Corona Menerpa Indonesia)

Organisasi Buruh PBB (ILO) dalam laporan mutakhirnya menyatakan penurunan PDB global sebesar 2-8 % berpeluang menciptakan 5,3 - 24,7 juta pengangguran di seluruh dunia. Ini menyebabkan potensi kehilangan pendapatan di tingkat pekerja sebesar US$ 860 juta sampai US$ 3,44 miliar.

Di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan akibat Corona. Sebanyak 10,6 % di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 % lainnya dirumahkan.

Rinciannya, 160.067 pekerja terkena PHK dari 24.225 perusahaan. Sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan. Sementara di sektor informal yang dirumahkan sebanyak 265.881 pekerja dari 30.466 perusahaan.

Di dalam negeri, penurunan daya beli sudah mulai dirasakan pengusaha makanan dan minuman. Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat menyatakan, hasil survei persepsi kepada 450 anggota GAPMMI menyatakan terjadi penurunan bisnis sebesar 30 - 40 %.

“Misalkan produk makanan kemasan menurun karena kurangnya konsumsi. Karena konsumen makanan dan minuman itu paling banyak kalangan bawah,” kata Rachmat kepada Katadata.co.id, kemarin (14/4).

Akibat penurunan daya beli ini, kata Rachmat, industri makanan dan minuman terancam kehilangan triliunan rupiah.

Halaman selanjutnya: Indonesia dalam Bahaya Ketahanan Pangan

Halaman: