Pukulan Dua Arah Virus Corona ke Industri Manufaktur

Katadata/123rf
Ilustrasi buruh menghadapi dampak buruk pandemi corona.
Penulis: Pingit Aria
1/4/2020, 08.30 WIB

Sebulan jelang Ramadan, pabrik-pabrik normalnya akan menggenjot produksi untuk memenuhi kebutuhan sandang masyarakat. Bukankah Lebaran memang identik dengan baju dan sepatu baru?

Masa ini pun seharusnya menjadi masa panen bagi buruh konveksi hingga pabrik sepatu dan sandal. Dalam kondisi normal, mereka akan terus menerus bekerja lembur untuk mendapatkan upah ekstra. Tapi itu hanya terjadi sebelum ada virus corona.

Nurmayanti yang bekerja di PT Mitra Jua Abadi, Mojoagung, Jombang kini justru harus mengencangkan ikat pinggang. Jangankan lembur, di pabrik sandal tempatnya bekerja kini semua buruh harus libur bergantian.

Selain untuk mengurangi kepadatan pabrik, kebijakan itu memang diambil untuk memangkas produksi. Nurmayanti pun hanya masuk dua pekan sepanjang Maret. Dengan status pekerja harian lepas, ia pasrah dibayar setengah dari gaji bulanan yang biasa diterimanya. “Belum di-PHK saja untung,” katanya, Senin (30/3).

(Baca: Ragam Bantuan Sosial saat Corona: Banyak Kartu hingga Gratis Listrik)

Industri manufaktur, termasuk pabrik tempat Nurmayanti bekerja merupakan salah satu penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2019. Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB tahun lalu tercatat sebesar 19,62%.

Penurunan kinerja pada sektor ini dipastikan berdampak signifikan terhadap kinerja ekonomi Indonesia secara keseluruhan. "Perkiraan kami, setelah dampak corona, kalau pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,5% saja sudah bagus," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Ia menambahkan, “Memang luar biasa sekali dampak virus corona ini.” 

Buruh Pabrik Sepatu (Arief Kamaludin|KATADATA)

Impor Bahan Baku Menyusut

Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), selama Februari 2020 nilai impor semua golongan barang menurun dibanding Januari. Rinciannya, impor barang konsumsi merosot 39,91% menjadi US$ 881,7 juta. Kemudian, impor bahan baku/penolong turun 15,89% menjadi US$ 8,89 miliar, dan barang modal turun 18,03% menjadi US$ 1,83 miliar.

(Baca: Marak Corona, Industri Minuman Masih Genjot Produksi Jelang Puasa)

Penurunan impor bahan baku dan barang modal menandakan kegiatan produksi di dalam negeri tengah lesu. "Disrupsi pasokan di Tiongkok sudah berpengaruh pada kelancaran impor ke Indonesia sehingga memvalidasi kondisi shortage of supply (kekurangan pasokan) di Indonesia," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani.

Shinta memproyeksi kinerja industri manufaktur turun signifikan pada Maret lantaran seretnya pasokan bahan baku pada Februari lalu. Jika hal ini berlangsung hingga April, maka kinerja ekspor akan ikut tertekan.

Berikut adalah data komoditas yang impornya turun akibat virus corona, termasuk barang dari plastik dan bahan kimia yang dibutuhkan sebagai bahan baku: 

Pemerintah pun membebaskan bea impor bahan baku untuk 19 sektor industri yang kesulitan mendapat pasokan akibat pandemi virus corona. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan, insentif yang diberikan untuk mengurangi ganggguan produksi atau distribusi produk industri manufaktur.

Apalagi, Tiongkok yang merupakan episentrum Covid-19 memasok sekitar 30% bahan baku bagi industri manufaktur nasional. Terganggunya pengiriman barang dari Tiongkok membuat pabrik-pabrik di Tanah Air harus berlomba mencari sumber pasokan bahan baku dari negara lain.

"Kita harus memastikan bahwa industri bisa mendapatkan kecukupkan bahan baku agar mereka bisa kembali melanjutkan operasinya," kata Agus dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (13/3) lalu.

Adapun, ke-19 industri manufaktur yang mendapat insentif tersebut adalah:

  • Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia
  • Industri peralatan listrik
  • Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer
  • Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional
  • Industri logam dasar
  • Industri alat angkutan lainnya
  • Industri kertas dan barang dari kertas
  • Industri makanan
  • Industri komputer, barang elektronik dan optik
  • Industri mesin dan perlengkapan
  • Industri tekstil
  • Industri karet, barang dari karet dan plastik
  • Industri furnitur
  • Industri percetakan dan reproduksi media rekaman
  • Industri barang galian bukan logam
  • Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya
  • Industri bahan jadi
  • Industri minuman
  • Industri kulit, barang dari kulit serta alas kaki

Lalu apakah insentif tersebut menyelesaikan masalah yang dihadapi industri manufaktur? Belum tentu.

Pengumuman status pembatasan sosial berskala besar oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (30/3) kemarin membuat pengusaha harus memutar otak. Belum lagi, ada kemungkinan penerapan status darurat sipil jika wabah tak juga mereda. Artinya, pabrik-pabrik akan ditutup atau tetap buka dengan izin, syarat dan Pengawasan ketat.

Di luar masalah produksi, kalangan industri manufaktur juga dihadapkan pada masalah turunnya permintaan. Bagaimana tidak, berkurangnya aktivitas masyarakat di luar rumah membuat pusat-pusat perbelanjaan tutup, kecuali yang menjual bahan pokok dan obat-obatan.

Konsumsi Masyarakat Merosot

Matahari Department Store baru saja mengumumkan penutupan semua gerainya. Penutupan itu dilakukan selama 14 hari dan bisa diperpanjang jika diperlukan.

“Kondisi retail menurun dengan tajam di Maret dan meskipun Januari dan Februari memenuhi ekpektasi. Saat ini kami beroperasi di kondisi yang sangat tidak pasti di mana kesehatan para karyawan dan sumber daya perusahaan merupakan prioritas utama dalam menghadapi masa pandemi Covid-19,” kata Terry O’Connor, CEO Matahari pada Selasa (31/3).

(Baca: Matahari Tutup Semua Gerai dan Kurangi Jam Kerja Karyawan)

Sejumlah pedagang di pasar tekstil besar di Indonesia pun menghentikan sementara kegiatan usahanya seiring meluasnya pandemi corona. Selain itu, penutupan juga dikarenakan sepinya pembeli sejak kebijakan pembatasan sosial atau social distancing diberlakukan. 

“Dampak dari penyebaran virus corona ini sangat terasa bagi kami para pedagang. Apalagi, kondisi ekonomi untuk sektor riil sudah mulai turun sejak tahun lalu dan sekarang ditambah wabah virus corona," kata Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Beringharjo (Pager Raharjo) Ujun Junaedi di Yogyakarta, Jumat (27/3) lalu.

Sebelumnya, penutupan kios juga mulai diberlakukan pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara, yakni pasar Tanah Abang. Perumda (PD) Pasar Jaya mengatan penutupan sementara Pasar Tanah Abang  dilakukan terhitung sejak 27 Maret hingga 5 April 2020 untuk mengurangi risiko penularan virus corona atau Covid-19.

Penutupan tersebut meliputi Blok A, Blok B dan Blok F. Sedangkan Blok G dibuka terbatas hanya untuk pedagang yang berjualan jenis bahan pangan.

(Baca: Deretan Mal di Jakarta yang Tutup karena Corona: PI, MKG, hingga Senci)

Kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga yang lesu membuat Bank Indonesia (BI) memproyeksi pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,2-4,6%. Dalam buku Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2019, BI menyebut, terbatasnya kegiatan produksi dan aktivitas ekonomi di negara yang terdampak Covid-19, termasuk Indonesia, diakibatkan oleh terbatasnya pasokan barang antara dari negara lain untuk keperluan produksi. Selain itu, pembatasan aktivitas ekonomi untuk pencegahan penyebarannya juga membuat perputaran uang semakin lambat.

Kekhawatiran terhadap Covid-19, imbauan pemerintah untuk mengurangi mobilitas, dan penurunan keyakinan pertumbuhan ekonomi ke depan mempengaruhi pola perilaku konsumsi masyarakat. “Masyarakat cenderung meningkatkan konsumsi kebutuhan pokok dan menunda konsumsi lainnya," dikutip dari buku LPI 2019 yang dikutip, Senin (30/3).

Konsumsi barang kebutuhan pokok, terutama sembako, diprakirakan tetap terjaga di tengah kekhawatiran merebaknya Covid-19. Sedangkan konsumsi barang seperti pakaian, transportasi, perlengkapan rumah tangga, dan leisure diperkirakan terkoreksi. Inilah yang akan membuat tekanan bagi industri manufaktur semakin berat.

Reporter: Rizky Alika, Antara