Ekonomi Indonesia dalam Skenario Terburuk Akibat Virus Corona

123RF.com/Elnur Amikishiyev
Penulis: Pingit Aria
26/3/2020, 06.00 WIB

Proyeksi Suram Menteri Sri Mulyani

Pemerintah bukan tak memahami besarnya dampak virus corona terhadap perekonomian. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan relokasi anggaran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memaparkan beberapa skenario. Menurutnya, skenario paling moderat yaitu ketika pandemi Covid-19 bisa segera ditangani sehingga ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di atas 4 %.

Namun, ia juga bersiap menghadapi kondisi yang lebih buruk jika durasi pandemi mencapai 3 – 6 bulan. Menurutnya, pembatasan penerbangan dan kegiatan perdagangan internasional yang terganggu akan berdampak besar terhadap ekonomi Indonesia.

Jika itu terjadi, “Pertumbuhan ekonomi bisa di kisaran 2,5 %, bahkan 0 %,” kata Sri Mulyani ketika memberikan keterangan pers hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui video conference di Jakarta, Jumat (20/3) lalu.

(Baca: Jaga Daya Beli Masyarakat, Jokowi Rilis Sembilan Kebijakan Bantuan)

Pemerintah pun membahas perubahan anggaran negara melalui konferensi video bersama pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kami membahas revisi dalam pelaksanaan APBN terkait penangan kesehatan, jaring pengaman sosial alias social safety net, dan insentif ekonomi untuk UMKM akibat dampak dari virus corona,” kata Anggota I BPK Hendra Susanto, Senin (23/3).

Dalam konferensi tersebut, ada Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretariat Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Agung.

Sehari kemudian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, Sri Mulyani telah bersiap untuk segera membuat APBN Perubahan. Pemerintah menyiapkan perubahan besar akibat pandemi corona. “Baik mengenai asumsi makro maupun implikasi  anggaran, dan tentunya bagaimana komunikasinya dengan DPR,” kata Perry.

Kelesuan Global Akibat Covid-19 

Indonesia tak sendiri. Pada Februari lalu, Bank Pembangunan Asia atau ADB telah memperingatkan potensi kerugian ekonomi global sebesar US$ 347 miliar atau Rp 5.697 triliun akibat virus corona.

Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada menjelaskan, ada banyak ketidakpastian terkait penyebaran tentang virus corona termasuk dampak ekonominya. Untuk itu dibutuhkan beberapa skenario agar memberikan lebih jelas gambaran kelamnya akibat covid-19.

ADB membuat sejumlah skenario terkait kerugian yang dapat timbul akibat virus corona. Pada skenario dasar, virus ini diperkirakan menimbulkan kerugian US$ 77 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi global 0,1 %.

(Baca: Bayang-bayang Resesi di Asia Tenggara dan Ekonomi Indonesia Tumbuh 0%)

Pada skenario moderat, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$ 156 miliar dan mengikis pertumbuhan ekonomi dunia 0,2 %. Sementara pada skenario terburuk, kerugian ekonomi dapat mencapai US$ 347 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 0,4%.

“Kami berharap analisis ini dapat mendukung pemerintah saat mereka mempersiapkan tanggapan yang jelas dan tegas untuk mengurangi dampak manusia dan ekonomi dari wabah ini,” kata Sawada dalam keterangan resmi, Jumat (6/3).

Begitu pula The Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. OECD memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 0,5 % menjadi 2,4 %. Pertumbuhan itu melambat dari tahun 2019 yang berada di angka 2,9 %. Berikut datanya:

Sementara itu, Lembaga Pemeringkat Global S&P memproyeksikan pandemi virus corona yang menyebar cepat di seluruh dunia menimbulkan kerugian ekonomi mencapai US$ 211 miliar atau sekitar Rp 3.463 triliun. Ekonomi Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Australia disebut paling terdampak penyakit itu.

S&P memangkas perkiraan pertumbuhan tahun ini untuk Tiongkok menjadi 4,8 % dari perkiraan sebelumnya 5,7 %. Pertumbuhan Australia diramal melambat menjadi hanya 1,2 % dari tahun lalu 2,2 %. Sementara Jepang dan Korea Selatan akan terdampak perlambatan pertumbuhan ekonomi masing-masing 0,5 dan 1 %.

“Neraca risiko tetap downside karena transmisi lokal, termasuk di negara-negara dengan kasus yang dilaporkan rendah, transmisi sekunder di Tiongkok ketika orang kembali bekerja dan kondisi keuangan semakin ketat,” kata S&P dikutip dari Reuters.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria, Rizky Alika, Agustiyanti