Virus Corona Tekan Ekonomi Tiongkok, Dunia Waspadai Perlambatan Global

123RF.com/Sergey Nivens
Dampak virus corona Wuhan diprediksi akan menekan perekonomian Tiongkok dan memicu perlambatan ekonomi global.
Penulis: Sorta Tobing
5/2/2020, 06.00 WIB

Awal 2020 ini terlihat suram bagi Tiongkok. Suasana pulang kampung untuk merayakan Tahun Baru Imlek tak terasa. Lebih dari 50 juta warganya dikarantina akibat wabah virus corona. Kegiatan konsumsi melemah. Tak ada yang membeli hadiah untuk sanak saudara atau makan bersama, apalagi berlibur.

Laporan LA Times menyebutkan kedai kopi Starbucks di negara itu banyak yang tutup. Jumlahnya lebih 4 ribu toko. Ikea juga tak beroperasi di 30 outlet-nya di Cina. Gerai makanan cepat saji McDonald menutup ratusan restorannya di provinsi tempat virus itu pertama kali ditemukan, Hubei.

Jumlah pengunjung tempat berjudi di Macau pada Januari lalu turun 80% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pariwisata Tiongkok langsung melambat pada awal tahun tikus logam ini.

Sejak Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkan status gawat darurat global untuk wabah virus corona pada pekan lalu, dunia mulai siaga. Bukan hanya soal penyebaran penyakitnya tapi juga dampaknya terhadap perekonomian dunia.

Badan Moneter Internasional (IMF) memperkirakan dalam jangka pendek akan terjadi perlambatan ekonomi global. “Dalam jangka panjang, kami belum tahu,” kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, seperti dikutip dari Nikkei, Minggu (2/2).

(Baca: WNI di Singapura Positif Terpapar Virus Corona)

Proses evakuasi WNI di Wuhan, Tiongkok. (ANTARA FOTO/KBRI Beijing)

Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Australia dan Singapura, menerapkan larangan bagi warganya memasuki Cina. Di sisi lain, Beijing juga memerintahkan puluhan juta warganya untuk tidak keluar rumah.

Lembaga pemeringkat Moody’s menyebut munculnya virus bernama 2019-nCoV itu sebagai angsa hitam alias peristiwa langka yang berdampak besar dan di luar prediksi. Sebutan ini mengacu pada Teori Angsa Hitam yang ditulis oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan pada 2007.

Dalam laporan yang berjudul Coronavirus May Be a Black Swan Like No Other, kondisi sekarang tak seperti krisis ekonomi 2008-2009 yang terprediksi sebelumnya. “Harapan pertumbuhan ekonomi dunia berada di level 3,3% pada 2020, sekarang dihadang oleh virus corona,” tulis laporan itu.

Pada Senin lalu, lantai bursa saham Shanghai dibuka anjlok 9%. Penurunannya merupakan yang terparah sejak Agustus 2015. Banyak analis memprediksi pertumbuhan negara dengan perekonomian kedua terbesar di dunia itu akan mendekati 5%, turun dari prediksi sebelumnya di 6%. Sektor manufaktur dan pariwisatanya diperkirakan akan melambat.

Wuhan, kota tempat awal mula wabah terjadi, merupakan pusat sektor manufaktur otomotif negara itu. Produsen mobil, seperti General Motors dan Honda, memiliki pabrik di sana. Kontribusi kota ini mencapai 1,6% dari perekonomian Tiongkok.

(Baca: Google hingga Apple Tutup Kantor Efek Corona, Huawei Tetap Beroperasi)

Wabah Flu yang Menghantui Dunia (Katadata)

Disrupsi ini terjadi di saat Beijing berusaha keluar dari perlambatan ekonomi 2019 akibat perang dagang dengan Amerika Serikat. Wakil Perdana Menteri Liu He pada 15 Januari lalu menandatangani kesepakatan dagang tahap pertama dengan Presiden AS Donald Trump. Langkah tersebut menjadi sinyal awal penyelesaian perang dagang di antara kedua negara.

Namun, tekanan ekonomi negara itu tampaknya memburuk karena virus corona Wuhan. Per 4 Februari 2020, jumlah yang terinfeksi telah lebih dari 20 ribu orang di 27 negara. Sebanyak 730 kasus dinyatakan sembuh. Korban tewas mencapai 427 orang. Sebagian besar pasien yang tewas berasal dari Tiongkok. Ada 2 orang yang wafat di luar negara itu, yaitu Hong Kong dan Filipina.

Sekitar 17 tahun lalu, Tiongkok juga pernah mengalami kondisi serupa. Ketika itu virus pernapasan akut parah atau SARS mewabah. Perekonomiannya, terutama di Hong Kong, tertekan. Tapi bedanya, Cina masih bergantung pada sektor industri, bukan konsumsi seperti sekarang.

Konsumsi menopang hampir sepertiga ekonomi Cina saat ini. Dengan wabah virus corona, banyak analis memprediksi akan sulit konsumen dapat segera pulih. Prosesnya tak akan secepat ketika SARS terjadi pada 2002-2003.

Perekonomian Tiongkok pada saat wabah SARS terjadi juga tidak sebesar sekarang. Posisinya sekarang sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia membuat perlambatan sekecil apa pun akan berdampak terhadap negara-negara lainnya.

(Baca: Korban Corona Terus Bertambah, Ini Beda Wabah, Epidemi, dan Pandemi)

Dari grafik Databoks di bawah ini, terlihat kecepatan virus 2019-nCoV dalam menginfeksi manusia sangat tinggi. Namun, tingkat kematiannya terendah dibandingkan penyakit akibat virus corona lainnya, seperti SARS dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS).

Virus corona Wuhan membunuh satu per 50 orang yang terinfeksi. Sementara SARS perbandingannya  1 banding 10 orang. Lalu, MERS memiliki tingkat kematian tertinggi, yaitu 17 per 50 orang yang terinfeksi.

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu, Tri Kurnia Yunianto