Audit BPK: Jejak Benny Tjokro dan Rugi Besar Investasi Saham

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah melakukan audit kinerja atas efisiensi pengelolaan investasi Asabri untuk tahun buku 2015 dan semester I 2016. Hasilnya, kinerja investasi perusahaan dinilai kurang efisien.

Laporan audit tersebut dirilis BPK pada awal 2017, hanya berselang satu semester setelah dirilisnya laporan audit dengan tema yang nyaris sama untuk Jiwasraya. Dalam laporan tersebut, BPK mencatat beberapa temuan persoalan.

Temuan yang dimaksud termasuk dalam kesepakatan pembelian saham di perusahaan tidak terbuka (non-listed) milik Benny Tjokrosaputra (Bentjok) Harvest Time dan investasi di saham berisiko. Temuan menarik lainnya, soal pelepasan portofolio saham kepada reksadana yang terafiliasi dengan perusahaan.

**

Cerita kesepakatan pembelian saham Asabri dengan Bentjok beberapa tahun lalu ini menarik, meskipun berujung batal dan diklaim tak merugikan Asabri. “Harvest sudah dijual kembali dan tidak rugi,” kata Bentjok dalam pesan singkat kepada katadata.co.id, Jumat (10/1). 

Berdasarkan pemaparan BPK, Asabri menandatangani MoU untuk pembelian 18% saham PT HT senilai Rp 1,2 triliun pada November 2015. Dari hasil penelusuran katadata.co.id, PT HT yang dimaksud merujuk pada Harvest Time.

Ketika itu, mayoritas saham Harvest Time yaitu 77% dipegang oleh Mandiri Mega Jaya, anak usaha dari perusahaan properti Hanson International yang didirikan Benny Tjokro. Sisanya, saham dipegang Wiracipta Senasatria, dan beberapa pemegang saham lain.

Dari penjelasan direksi Asabri dalam laporan BPK, kesepakatan pembelian saham Harvest Time tersebut sebetulnya adalah transaksi penukaran saham. Saham-saham Asabri yang tengah dalam posisi rugi “dibeli” oleh Bentjok dengan saham Harvest Time. Tujuannya, restrukturisasi untuk mencapai target hasil investasi 2015.

Restrukturisasi dengan cara mengalihkan investasi ke saham perusahaan non-listed  tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa harga sahamnya tidak fluktuatif. Ini berbeda dengan saham perusahaan listed yang cenderung tertekan di tengah pasar modal yang tengah turun.

Kesepakatan tersebut dipermasalahkan BPK karena beberapa hal. Pertama, Asabri tidak menunjuk konsultan independen untuk melakukan due diligence dan feasibiity study dalam rangka pembelian saham tersebut.

Kedua, MoU pembelian saham yang ditandatangani oleh Bentjok dengan Direktur Utama Asabri tersebut ternyata bukan dalam rangka pembelian saham Harvest Time yang dipegang oleh Mandiri Mega Jaya selaku anak usaha Hanson International, melainkan yang dipegang PT WCS – diduga merujuk pada Wiracipta Senasatria.

Ini jadi persoalan karena kepemilikan saham PT WCS di Harvest Time tidak sebesar persentase yang diperjanjikan dalam MoU yakni 18%. BPK mencatat, PT WCS hanya memiliki 13% saham Harvest Time saat MoU ditandatangani pada 4 November 2015. Nilai saham tersebut pun hanya Rp 91,65 miliar, jauh lebih rendah dari kesepakatan dalam MoU dengan Asabri yakni Rp 1,2 triliun untuk 18% saham.

Dalam catatan BPK, nilai 100% saham Harvest Time ketika itu pun hanya Rp 705 miliar. Atas dasar itu, BPK menyatakan, "Jual beli saham PT HT yang dimiliki PT WCS dengan persentase sebesar 18% tidak menunjukkan kondisi sebenarnya serta nilai yang disepakati tidak wajar." 

Meski begitu, BPK menemukan, Asabri tetap melakukan transfer uang muka kepada PT WCS yaitu sebesar Rp 802 miliar. Bahkan, transfer tetap dilakukan, meskipun saham PT WCS nyatanya tidak pernah diterima karena telah dijual ke pihak lain. BPK juga menemukan pembayaran tersebut tidak tercatat dalam laporan keuangan 2015 yang sudah diaudit. 

(Arief Kamaludin|KATADATA)

Asabri mengakui pembelian saham tersebut tidak melalui proses due diligence atau feasibility study. Perusahaan menyatakan tidak memperhatikan bahwa berdasarkan MoU, saham yang disepakati untuk dibeli adalah milik PT WCS. Penyebabnya, perusahaan hanya melihat figur Bentjok sebagai pemegang saham pengendali Harvest Time. Perusahaan juga baru mengetahui bahwa PT WCS telah menjual kepemilikan saham-nya ke pihak lain.

Pemegang SahamAkta Notaris 20 Januari 2015Akta Notaris 30 November 2015
Porsi KepemilikanNilai SahamPorsi KepemilikanNilai Saham
WCS13%Rp 91,65 miliar--
CPS5%Rp 35,25 miliar--
BW-18%Rp 126,9 miliar
Saudara I5%Rp 35,25 miliar5%Rp 35,25 miliar
MMJ77%Rp 542,85 miliar77%Rp 542,85 miliar
Total100%Rp 705 miliar100%Rp 705 miliar

Sumber: Laporan audit BPK

Lebih lanjut, perusahaan menyatakan kesepakatan tersebut telah dibatalkan, karena Asabri menyadari pembelian saham Harvest Time yang statusnya bukan perusahaan terbuka, berisiko tinggi. Perusahaan pun meminta pengembalian dana investasi sebesar Rp 832 miliar kepada Bentjok -- Rp 802 miliar pokok dan Rp 30 miliar bunga.

Bentjok dan Asabri menyepakati pengembalian dana secara tunai sebesar Rp 100 miliar, dan sisanya Rp 732 miliar dengan kavling tanah siap bangun. Namun, dari pemaparan BPK, skemanya tak sesederhana itu. BPK juga menyebut pembelian tanah tak sesuai aturan investasi asuransi, dan berpotensi merugikan Asabri. 

Sesuai kesepakatan, Asabri membeli dulu kavling tanah dari anak usaha Hanson International sebesar Rp 732 miliar. Setelah pembelian tanah tersebut, PT WCS melunasi dana investasi Asabri sebesar Rp 832 miliar. Selanjutnya, kavling tanah milik Asabri dijual secara bertahap kepada pihak lain atau dibeli kembali (buy back) oleh Hanson. 

Namun, BPK menemukan bahwa kavling tanah ternyata masih merupakan agunan bank. Alhasil, BPK menyatakan, Asabri berpotensi mengalami kerugian minimal Rp 637 miliar atas tanah yang belum laku terjual. Hitungan potensi kerugian minimal tersebut dengan mempertimbangkan bahwa Asabri sudah menerima transfer hasil penjualan tanah yaitu sebesar Rp 94,9 miliar. Tanah tersebut dijual kepada anak usaha Hanson Internasional lainnya yaitu PT RBS.

Dalam rekomendasinya, BPK di antaranya meminta Direktur Utama Asabri untuk meminta Direktur Investasi dan Keuangan, Kadiv Investasi, dan Kadiv Pengembangan Usaha untuk mendapatkan seluruh sertifikat dari tanah yang dimaksud. Caranya, meminta Bentjok untuk menyelesaikan kewajiban kepada bank. Atau, meminta Bentjok membeli tanah tersisa dalam waktu enam bulan.

***

Dalam laporan audit BPK, Asabri tercatat memegang kepemilikan saham dalam jumlah besar di Eureka Prima Jakarta (LCGP) dan SUGI Energy (SUGI). Investasi ini tercatat rugi seiring harganya yang anjlok.

Per akhir 2015, porsi investasi di dua saham ini tercatat 36,11% dari total nilai investasi saham yang sebesar Rp 3,54 triliun. BPK menyoroti rugi investasi di kedua saham ini lantaran pembelian saham tersebut tidak didukung kajian yang sesuai standar operasional prosedur (SOP).

“Analisa yang dilakukan Divisi Investasi PT Asabri dalam mengambil keputusan investasi dilakukan tanpa memperhatikan kondisi fundamental perusahaan,” demikian tertulis dalam laporan audit BPK.

BPK mencatat kepemilikan Asabri atas saham LCGP terus menanjak. Per akhir September 2016, Asabri memegang 1,7 miliar lembar saham LCGP dengan nilai Rp 692 miliar. Padahal, BPK menemukan, kinerja keuangan LCGP negatif.

BPK mencatat perusahaan real estate dan konstruksi tersebut rugi Rp 5,79 miliar pada 2015, dan Rp 3,78 miliar sepanjang semester I 2016 (belum diaudit). Di sisi lain, harga saham LCGP dalam kecenderungan turun.

Berdasarkan laporan pengelolaan dana dan hasil investasi yang dibuat Divisi Investasi, kerugian yang belum direalisasikan (unrealized loss) saham LCGP per akhir September 2016 sebesar Rp 603,13 miliar.

Sedangkan untuk saham SUGI, BPK mencatat Asabri mulai berinvestasi di saham perusahaan migas tersebut sejak 2012. Jumlah saham SUGI yang dikempit Asabri per akhir 2015 tercatat 1,38 miliar saham dengan nilai Rp 648 miliar. Asabri menyatakan pertimbangan investasi di saham SUGI yaitu progres eksplorasi migas perusahaan yang cukup baik, pertumbuhan return sepanjang Juli-November 2012, dan prospek kenaikan harga saham.

Namun, berdasarkan pemerikaan BPK, SUGI tercatat merugi US$ 320,34 ribu pada 2015 dan US$ 3,15 juta sepanjang semester I 2016. Seperti halnya saham LCGP, saham SUGI tercatat terus mengalami penurunan. Jika dihitung dari sejak awal penempatan, Asabri mencatat kerugian (realized loss) investasi di saham SUGI sebesar Rp 32,72 miliar. Kerugian ini dihitung dari jumlah seluruh pembelian dikurangi dengan seluruh penjualan saham.

(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Menanggapi temuan BPK ini, Asabri menyatakan sependapat dengan BPK bahwa penempatan pada saham LCGP dan SUGI pada 2015 dan 2016 tidak didukung kajian yang sesuai SOP. Asabri menambahkan bahwa di bidang saham, perusahaan hanya memiliki satu orang yang melaksanakan empat fungsi yaitu analis, pelaksana transaksi, penyelesaian transaksi, pengadministrasian transaksi. 

***

Temuan BPK lainnya yang juga menarik adalah penjualan saham yang dipegang Asabri kepada reksadana yang terafiliasi dengan Asabri. Penjualan dilakukan di pasar negosiasi, dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Alhasil, Asabri membukukan untung investasi. Padahal, Asabri tidak benar-benar melepas saham-saham tersebut.

BPK melakukan pemeriksaan secara uji petik atas transaksi underlying berupa saham di 20 reksadana dan transaksi pelepasan saham yang dikelola secara mandiri oleh Asabri pada tahun 2015 sampai November 2016. Hasilnya, Asabri diketahui menjual sebanyak 12 jenis saham senilai Rp 1,06 triliun ke reksadana-reksadana yang dimilikinya, melalui pasar negosiasi.

Berikut daftar reksadana yang membeli saham ke Asabri:

ReksadanaTanggal EfektifKepemilikan Asabri (%)Nilai Pembelian (Rp)
MDK10 Agustus 200199,99210 miliar
MBF30 April 201575,91700 miliar
OMEF4 Mei 2016100300 miliar
REF14 April 2016100300 miliar
VJ28 April 2015100300 miliar
Jumlah1,81 triliun

Mayoritas reksadana tersebut merupakan reksadana baru yang terbit antara 2015 sampai 2016, dengan kepemilikan Asabri di atas 75%, bahkan ada yang mencapai 100%. Dari transaksi penjualan 12 jenis saham ke reksadana terafiliasi tersebut, Asabri membukukan untung Rp 75,06 miliar.

BPK menyebut Direktur Investasi dan Kepala Divisi Investasi berusaha mengurangi tingkat kerugian pembelian saham lewat transaksi ini. Keduanya menghindari prosedur yang semestinya yakni jual rugi atau cut loss terhadap saham yang kerugiannya melebihi dari batas yang ditentukan dalam pedoman investasi.

“Kondisi tersebut mengakibatkan laporan laba rugi Asabri tahun 2015 dan 2016 baik dari realisasi transaksi saham dan reksadana tidak menggambarkan kondisi yang sewajarnya,” demikian tertulis.

Menanggapi temuan BPK, Asabri menyatakan sependapat bahwa transaksi tersebut tidak memenuhi prinsip bisnis yang profesional. Direksi Asabri menjelaskan tindakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa para manajer investasi diinilai lebih siap, dari segi infrastruktur maupun SDM, untuk melakukan penjualan dan pemulihan kembali atas kerugian portofolio.

“Saham-saham tersebut akan ditukar dengan saham lain yang lebih prospektif berdasarkan analisis yang dilakukan oleh manajer investasi,” demikian tertulis.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin