Rujuk Lagi, Menimbang Untung-Rugi Kerja Sama Garuda-Sriwijaya

123RF.com/Rikkyal
Kerja sama manajemen antara Garuda Indonesia Group dengan Sriwijaya Air Group berlanjut kembali. Sriwijaya menanggung hutang lebih Rp 2 triliun saat ini. Garuda berkepentingan mempertahankan pangsa pasarnya.
Penulis: Sorta Tobing
4/10/2019, 06.00 WIB

Bercerai kurang dari sebulan, kemudian rujuk kembali. Sriwijaya Air Group akhirnya memutuskan melanjutkan kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia Group.

Kemesraan kembali datang setelah keduanya melakukan pertemuan beberapa waktu lalu. Direktur Utama Citilink Juliandra Nurtjahjo mengatakan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno memfasilitasi pertemuan itu.

Namun, soal susunan direksi Sriwijaya, yang menjadi pangkal persoalan kedua belah pihak, belum ada kesepakatan. “Jangan bicarakan itu dulu, yang penting KSM-nya jalan,” kata Juliandra di Tangerang, Banten, Selasa lalu (1/10).

Direktur Kelaikan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan Avirianto mengatakan, berlanjutnya KSM merupakan pilihan yang terbaik untuk maskapai penerbangan berlambang ruyi atau keberuntungan itu.

Pasalnya, keputusan pecah kongsi dari Garuda berdampak serius terhadap pengelolaan risiko atau HRA (hazard, indentifiaction, risk, assessment) Sriwijaya. Maskapai menjadi tidak laik terbang karena tidak memiliki fasilitas pemeliharaan dan perawatan pesawat terbang yang tepat.

(Baca: Garuda Akan Konversi Utang Sriwijaya Air Jadi Saham Hingga 51%)

Pemegang saham Sriwijaya tak memiliki banyak pilihan selain menjalin kembali kerja sama manajemen dengan anak usaha Garuda, PT Citilink Indonesia. Hal ini membuat fasilitas perawatan pesawatnya kembali dikelola PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk. “Sekarang semua (pesawat Sriwijaya) sudah masuk ke GMF AeroAsia,” kata Avirianto.

Kekhawatiran soal ketidaklayakan terbang itu sebelumnya tertuang dalam surat internal perusahaan yang ditandatangani Direktur Kualitas, Keamanan, dan Keselamatan Sriwijaya Air Kapten Toto Soebandoro.

Dalam surat bertanggal 29 September 2019 itu, ia mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan operasi atau mengurangi biaya operasional Sriwijaya Air Group, termasuk NAM Air. Hal ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan mekanik untuk meneruskan dan mempertahankan kelaikudaraan dengan baik.

Namun, rekomendasi itu tidak mendapat respon Pelaksana Tugas Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena. Dampaknya, dua direktur lainnya memutuskan mengundurkan diri, yaitu Direktur Operasi Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang.

Keputusan pengunduran diri itu juga dipicu oleh dualisme kepemimpinan di tubuh Sriwijaya. Pada awal September lalu, pemegang saham mencopot Joseph Adrian Saul, yang sebelumnya ditunjuk oleh Garuda.

Joseph kemudian digantikan oleh Jefferson. Namun, dalam surat perizinan di Kementerian Perhubungan, nama Joseph masih tercatat sebagai penanggung jawab Sriwijaya. “Jadi, direktur utama secara akta ada tapi Plt-nya yang mengambil keputusan. Padahal, itu tidak sah,” kata Fadjar pada saat mengadakan konferensi pers, Senin sore lalu.

Gara-gara masalah ini Citilink sampai melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sriwijaya dianggap melanggar kesepakatan alias wanprestasi dengan mengganti susunan direksi dan komisaris tanpa pemberitahuan, apalagi persetujuan Citilink.

(Baca: Garuda Minta Citilink Cabut Gugatan ke Sriwijaya Air)

Garuda-Sriwijaya Air Rujuk Kembali (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)

Berapa Utang Sriwijaya di Garuda?

Kerja sama operasi, yang kemudian berganti menjadi kerja sama manajemen (KSM), tersebut merupakan upaya penyelesaian utang Sriwijaya kepada sejumlah badan usaha milik negara. Kesepakatannya mulai berlaku pada 9 November 2018.

Sejak saat itu Sriwijaya menyerahkan operasionalnya kepada Garuda Indonesia Group, melalui Citilink. Masa berlaku kerja sama ini adalah lima tahun.

Merujuk pada laporan keuangan semester I-2019 Garuda Indonesia, total utang Sriwijaya Group mencapai US$ 118,8 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun. Angka itu naik dari akhir Desember lalu yang mencapai US$ 55,4 juta atau Rp 775,6 miliar.

Selain itu, Sriwijaya juga memiliki utang ke PT Pertamina (Persero). Seperti diberitakan Kompas.com nilai utangnya mencapai Rp 791,44 miliar. Ada pula beban utang ke PT Bank Negara Indonesia Tbk dan GMF AeroAsia.

Ramdani dalam konferesi pers pengunduran dirinya pada Senin lalu sempat mengatakan utang Sriwijaya ke GMF AeroAsia saat ini mencapai Rp 800 miliar. Ketika memutuskan kerja sama manajemen dengan Garuda, utang ini ia prediksi berpotensi macet.

(Baca: Pendapatan Naik dan Efisiensi, Semester I Garuda Raih Laba Rp 339 M)

Siapa Untung dari Kerja Sama Garuda-Sriwijaya?

Pulihnya kerja sama manajemen ini tentu menjadi momen bagi Sriwijaya Air Group untuk memperbaiki kondisi keuangannya. “Kondisinya sedang sakit, jadi mau disembuhkan dulu, ya harus nurut,” kata pengamat penerbangan Arista Indonesian Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati seperti dikutip dari Antara.

Angka utang yang lebih Rp 2 triliun itu memang sudah menjadi tanda bahaya. Apalagi ternyata ketika melepaskan diri dari Garuda, Sriwijaya langsung dinyatakan tidak laik terbang.

Halaman: