Mengukur Kinerja DPR Lama dan Harapan untuk DPR Baru

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Penulis: Safrezi Fitra
3/10/2019, 10.17 WIB

Serangkaian demonstrasi mewarnai penghujung masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019, selama hampir dua pekan terakhir. Unjuk rasa yang dilakukan ribuan mahasiswa, pekerja, masyarakat, hingga pelajar ini kerap berujung ricuh. Bahkan, demonstrasi masih terus ada hingga pelantikan anggota dewan yang baru berlangsung pada 1 Oktober lalu.

Ketidakpercayaan masyarakat muncul, salah satunya karena rendahnya kinerja DPR selama lima tahun terakhir. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen ( Formappi) Lucius Karus menyebut kinerja DPR periode 2014-2019 adalah yang terburuk sejak era reformasi. Mereka lebih banyak mengesahkan RUU yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Produk yang dihasilkan hanya 84 UU atau 67% dari capaian DPR periode sebelumnya.

(Baca: Ketika Mahasiswa di Penjuru Daerah Bergerak Tolak UU Kontroversial)

Selain itu, kualitas UU yang dihasilkan pun dipertanyakan. Banyak yang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan ada yang sampai tiga kali direvisi, seperti UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Belum lagi kelakuan para anggota dewan yang sempat terekam sedang tertidur saat rapat. Banyak pula anggota yang bolos saat rapat atau sidang. Padahal, anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan wakil rakyat cukup besar dan selalu bertambah tiap tahun.

Anggaran Bertambah tapi Capaiannya Rendah

Jika melihat APBN sepanjang 2015 hingga 2019, alokasi anggaran untuk wakil rakyat selalu meningkat. Dari Rp 3,6 triliun pada 2015, menjadi Rp 4,6 triliun pada 2019. Masalahnya, peningkatan anggaran tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kinerja, khususnya di bidang legislasi.  

Total anggaran untuk legislasi 2015-2019 sebesar Rp 1,57 triliun atau rata-rata sebesar Rp 314,14 miliar per tahun. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, jumlah anggaran untuk pembahasan satu RUU bervariasi. Jika dirata-ratakan dapat mencapai Rp 6,56 miliar per satu RUU. Meski anggarannya cukup besar, DPR tidak mampu menghasilkan UU yang sudah direncanakan.

Roy mengatakan, DPR periode 2014-2019 cenderung tidak fokus dalam menjalani fungsi legislasinya. Padahal, DPR telah didukung dengan seperangkat badan keahlian legislasi, termasuk anggaran. “Mereka tidak fokus bekerja untuk menghasilkan RUU sesuai dengan target Prolegnas Prioritas yang ditetapkan,” ujar Roy.

Ini dapat dilihat dari produk Undang-Undang (UU) yang disahkan oleh DPR dalam kurun 2015-2019. Berdasarkan data dari Formappi, total RUU yang disahkan oleh DPR 2014-2019 hanya 84 RUU. Angka tersebut lebih rendah dari DPR periode sebelumnya yang dapat mengesahkan hingga mencapai 125 RUU.

(Baca: Tak Ada RUU yang Selesai dari Komisi VI DPR selama 2014-2019)

Sementara untuk target Prolegnas Prioritas 2015-2019, DPR hanya berhasil mengesahkan 35 RUU dari 189 Prolegnas Prioritas. Dari 35 RUU tersebut, empat di antaranya tidak masuk dalam daftar prioritas di tahun RUU itu disahkan. Empat RUU tersebut adalah revisi pertama UU MPR, DPR, DPRD, dan DPR ( UU MD3) pada Desember 2014.

Selain itu juga terdapat RUU yang disahkan menjelang berakhirnya jabatan, yaitu revisi ketiga UU MD3, Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan revisi UU Perkawinan. Survei Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 69,2% responden menilai RUU yang menjadi pembahasan di ujung periode sarat akan kepentingan politik.

Formappi juga mengkritisi kepentingan yang dihadirkan secara mendadak pada akhir periode dilakukan untuk mencapai misi bersama elit. “RUU yang dikebut dapat membuka ruang korupsi yang tidak terkendali dan memuaskan nafsu elit akan jatah kursi kekuasaan,” tulis Formappi dalam Catatan Akhir Kinerja DPR 2014-2019.

Kualitas UU yang Disahkan Rendah

Selain minimnya kuantitas UU yang dihasilkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan substansi RUU yang yang akan disahkan juga menjadi polemik di tengah masyarakat. Banyak juga UU yang sudah disahkan, malah digugat kembali di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai contoh UU MD3, khususnya pasal 73 yang digugat karena DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya berhak memanggil setiap orang hingga dapat melibatkan polisi. Revisi UU KPK juga menjadi permasalahan karena dinilai sebagai langkah untuk melemahkan KPK.

(Baca: Video: Demonstrasi Mahasiswa Berbuah Penundaan Empat UU)

Direktur Eksekutif Indonesian Legal Rountable (ILR) Firmansyah Arifin juga menyatakan bahwa revisi UU KPK yang telah disahkan oleh DPR. Proses pembahasan RUU KPK yang kurang dari dua minggu ini juga dinilai cacat secara prosedural.

Formappi mencatat dari sekian banyak perkara uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2014-2019, terdapat 46 UU yang dikabulkan. Jumlah ini pun tidak sebanding dengan jumlah perkara yang diajukan ke MK. Berdasarkan data ini Formappi menilai masih terdapat permasalahan dari produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR.

Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah menjawab tudingan terkait kinerjanya yang dianggap buruk. Menurutnya, kinerja DPR tak bisa dilihat dari sisi kuantitas produk legislasi. Sebab, kerja-kerja DPR bersifat politis, berdasarkan aspirasi masyarakat.

"Semua basisnya adalah aspirasi. Kadang-kadang setuju kadang-kadang tidak setuju, maka tidak ada di dunia itu basis penilaian kita kepada legislasi, pada jumlah, tapi kualitas daripada aspirasi yang ditampung dalam proses kinerja," kata Fahri seperti dikutip CNNIndonesia.com, Senin (30/9).

Fahri mengakui banyak produk legislasi DPR yang digugat oleh masyarakat ke MK. Namun, dia merasa gugatan yang dikabulkan MK tak mencerminkan kualitas legislasi. Dia menyebut MK bukan lembaga penilai UU secara akademik. MK adalah lembaga yang menjaga konstitusi. "Jadi kalau dianggap ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, ya dia kalahkan," ujarnya.

Halaman: