Sejumlah menteri bidang ekonomi pada Jumat lalu (13/9) sekitar pukul 13.30 WIB mulai datang menghadiri rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin langsung rapat tersebut.
Dari pantauan awak media, tampak hadir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Usai rapat, Sri Mulyani langsung membeberkan hasilnya. Presiden menyetujui kenaikan cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar 23%. Harga ecerannya pun meningkat 35%.
Ia menjelaskan pemerintah telah mempertimbangkan keputusan itu baik dari sisi industri, tenaga kerja, dan sektor pertanian. “Kebijakan cukai ini bertujuan untuk tiga hal, yaitu mengurangi konsumsi, mengatur industri, dan penerimaan negara,” kata Sri Mulyani.
Keputusan itu tentu saja di luar perkiraan. Kenaikan cukai rokok memang sudah diprediksi sebelumnya karena tahun ini tidak terjadi. Namun, angka di atas 20% belum pernah terjadi sebelumnya, paling tidak, selama pemerintahan Jokowi.
(Baca: Tiga Dimensi dalam Melihat Kenaikan Cukai Rokok)
Sepanjang pemerintahannya, Presiden telah menaikkan cukai rokok sebanyak empat kali. Pertama, pada 2015, kenaikannya mencapai 8,72%. Lalu, pada 2016 sebesar 11,19%. Pada 2017 dan 2018 masing-masing 10,54% dan 10,04%. Total kenaikannya mencapai 40,49%. Kenaikan double digit tahun depan merupakan yang terbesar dibandingkan lima tahun terakhir.
Pemerintah merasa perlu melakukan langkah drastis ini karena jumlah prevalensi perokok yang meningkat. “Anak-anak dan remaja naik dari 7% menjadi 9%. Perempuan juga naik, dari 2,5% menjadi 4,8%,” ucap Sri Mulyani.
Karena itu, pengendalian rokok melalui cukai menjadi penting karena produk tembakau itu erat kaitannya dengan penyakit, termasuk kanker. Grafik Databoks berikut ini menunjukkan angka perokok remaja Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Penetapan kenaikan tarif cukai rokok yang baru itu akan segera tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan. Harapannya, penerimaan cukai atas tembakau bisa mencapai Rp 171,9 triliun. Angka penerimaannya naik 8,2% dibandingkan tahun ini yang mencapai Rp 158,9 triliun.
Sebagai informasi, hingga semester pertama tahun ini, pendapatan bea cukai sudah mencapai Rp 87,6 triliun. Dari jumlah itu, hampir 75% berasa dari cukai tembakau.
Kenaikan Cukai Rokok Tekan Industri
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyesalkan keputusan pemerintah ini. Pengusaha menilai kenaikan cukai bisa memberatkan industri hasil tembakau dan meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Nasib petani tembakau dan tenaga kerja di industri rokok pun terancam. “Selama ini, informasi yang kami terima terkait rencana kenaikan cukai di kisaran 10%. Angka yang moderat bagi kami, meski berat,” kata Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu lalu.
Menurut dia, belum pernah terjadi sebelumnya kenaikan hingga di atas 20%. Produksi dan penyerapan tembakau serta cengkeh berpotensi turun. “Dampaknya bisa ke tenaga kerja,” ujar Henry.
Keadaan ini juga diperberat dengan beredarnya rokok elektrik. Henry menilai pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama antara industri rokok konvensional dengan elektrik.