Mencari Cara Bangkitkan Industri dengan Revisi UU Tenaga Kerja

KATADATA | Arief Kamaludin
Demonstrasi buruh menuntut upah
18/6/2019, 11.36 WIB

Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berbuah sejumlah usulan. Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menjadi salah satu usulan yang dinilai bisa menjadi upaya dalam membangkitkan industri nasional.

Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan beberapa yang menjadi masalah dan harus direvisi dalam UU Ketenagakerjaan adalah kepastian akan adanya upah minimum hingga jaminan sosial. "Karena sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini," kata Hariyadi usai bertemu Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (14/6).

Kepada katadata.co.id, Hariyadi menjelaskan soal upah minimum yang sedianya menjadi jaring pengamanan, malah dijadikan upah rata-rata sebagai ajang popularitas, terutama bagi kepala daerah. Padahal, awalnya upah minimum digunakan sebagai acuan tarif bagi pekerja lajang yang baru mulai bekerja.

Ketentuan mengenai pengupahan sebenarnya sudah terangkum dalam 11 Pasal yakni Pasal 88 hingga 98. Penetapan upah juga diatur di 4 Pasal yakni Pasal 88, 89, 97 dan 98.  Dalam Pasal 89, upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. "Enaknya mereka yang menetapkan, yang bayar pengusaha. Jadi pemahamannya sudah melenceng dari upah minimum," kata Hariyadi kepada katadata.co.id, Jumat (14/6).  

(Baca: Pengusaha Ajukan ke Jokowi 4 Kebijakan untuk Pacu Industri Padat Karya)

Hariyadi juga menyinggung adanya jaminan sosial dengan manfaat pasti kepada pekerja. Hal ini membebani negara secara fiskal karena kebutuhan jaminan seperti kesehatan yang bermacam-macam jenisnya. Oleh sebab itu, dalam revisi nanti Hariyadi menginginkan iuran yang pasti dibayar agar pekerja juga mengetahui apa yang didapatkan usai pensiun.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani juga menginginkan keringanan proses pemberian uang pesangon dimasukkan dalam revisi UU 13/2003. Ini banyak dikeluhkan oleh para investor, terutama yang berasal dari luar negeri.

Dalam Pasal 156 UU 13, aturan main pemberian pesangon telah diatur dengan variasi masa kerja. Pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada masa kerja kurang dari 1 tahun wajib mendapat pesangon setara upah sebulan. Angkanya bervariasi hingga masa kerja delapan tahun atau lebih wajib mendapat sembilan bulan upah. "Ini salah satu yang memberatkan, dikeluhkan investor luar (negeri)," kata Rosan.

(Baca: Di Depan Ratusan Buruh, Jokowi Janji Revisi Aturan Tentang Upah)

Hariyadi mengatakan, Jokowi menyatakan siap membahas revisi UU 13, paling tidak dalam setengah tahun ke depan. Alasannya, perbaikan akan payung hukum utama ketenagakerjaan tersebut sudah menjadi agenda yang mendesak bagi pemerintah. "Beliau menyampaikan upaya dalam enam bulan ini akan dikaji," ujar Hariyadi.

Anak buah Jokowi pun seperti memberi kepastian. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri bersedia membahas wacana pengusaha untuk revisi UU ini dengan seluruh pemangku kepentingan. Revisi diperlukan untuk meningkatkan investasi hingga iklim tenaga kerja RI lebih positif lagi. "Hingga investasi bisa mendorong terciptanya lapangan kerja yang lebih baik," kata dia. 

Meski pemerintah memberi sinyal setuju, keinginan pengusaha mendapat tanggapan negatif dari buruh. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia yang juga Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional Mirah Sumirat menantang agar revisi UU 13 dilakukan menyeluruh dan bukan hanya pasal yang memberatkan pengusaha. Revisi dilakukan secara menyeluruh, yang adil bagi semua kepentingan.

Terkait penetapan upah, Mirah mengatakan kepala daerah hanya memberi tanda tangan persetujuan saja. Sedangkan besarannya dibahas bersama di dewan pengupahan. Dewan tersebut terdiri dari tiga pihak, yakni perwakilan pengusaha, pemerintah, serta buruh. Pegangan utamanya adalah 60 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diajukan tiga pihak.

Menurutnya, pengusaha sebenarnya berkeberatan apabila harus membayar pesangon. Ini lantaran banyaknya beban yang harus dibayar seperti iuran hingga pajak. Ketimbang membahas pesangon, Mirah menganjurkan pengusaha meminta keringanan atau insentif pajak kepada pemerintah. "Saya kan Wakil Ketua LKS Tripartit Nasional, tahu lah (keluhannya) mereka, sepertinya kebanyakan bayar," ujarnya kepada katadata.co.id.

(Baca: Sri Mulyani Optimistis Regulasi Insentif Pajak Jumbo Segera Dirilis)

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan aturan ketenagakerjaan memang perlu dirumuskan kembali, agar pengusaha mendapat perkiraan jelas akan bisnisnya ke depan. Dari sisi penetapan upah, saat ini formulasi upah menggunakan komponen inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, beberapa sektor sebenarnya tidak membutuhkan itu. "Seperti industri tekstil, usaha mereka bisa saja terdampak perang dagang meski inflasi dalam negeri aman," kata Tauhid.

Perbaikan aturan seharusnya bukan hanya dari sisi pengusaha, pekerja pun perlu menjadi perhatian. Dia mencontohkan serikat buruh di banyak negara tampil sebagai organisasi yang kuat dan tidak seperti di Indonesia yang terpecah-pecah. "Jadi harus setara kepentingannya," kata dia 

Tauhid berharap pemerintah bisa memetakan sektor padat karya yang dapat dikembangkan untuk menyerap banyak tenaga kerja. Dia menyebut sektor manufaktur seperti tekstil, makanan minuman, elektronik, hingga alas kaki merupakan sektor yang perlu disasar.

Di perkebunan, sawit dan karet dapat menjadi prioritas. Begitu juga perikanan tangkap yang seharusnya dapat digarap tenaga kerja lokal, usai pelaksanaan kebijakan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing). Masalahnya, saat ini masih minim Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat dipenuhi untuk kebutuhan industri.

Untuk sektor pertambangan, Tauhid meminta pemerintah membuat kebijakan vokasi yang dapat menyiapkan tenaga kerja dalam waktu cepat. Ini penting agar keberadaan tenaga kerja asing dapat digantikan dan terbatas pada posisi tertentu sesuai aturan, seperti manajer atau direksi. "Seperti di Morowali. Agar buruh terserap baik, perlu transisi," katanya.

(Baca: Sri Mulyani Janji Batasi Tenaga Kerja Asing)

Usulan Revisi UU Ketenagakerjaan Lainnya

Hariyadi juga menambahkan usulan lain yang perlu dimasukkan dalam revisi aturan ketenagakerjaan. Beberapa di antaranya soal pemogokan kerja hingga fleksibilitas waktu kerja. Namun, usulan ini tidak semuanya disampaikan saat pertemuannya dengan Jokowi. 

Secara khusus dia menjelaskan dalam Pasal 77 UU 13, jam kerja saat ini diatur 40 jam dengan dua format dalam seminggu. Pertama adalah tujuh jam untuk enam hari kerja, serta delapan jam untuk lima hari kerja. Saat ini pekerja berusia muda sudah tak menginginkan waktu kerja yang kaku, lantaran mengedepankan fleksibilitas dan hasil yang dicapai. Pengusaha pun dibuat repot dalam merekrut para pekerja baru.

(Baca: Tren Pekerja Lepas 'Gig Workers' Berpotensi Menambah Pengangguran)

Mirah juga memberi masukan agar soal tenaga lepas alias outsource dibahas lebih jelas dalam revisi UU 13. Ini karena outsource hanya mengandalkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 yang membatasi lima jenis pekerjaan dari pekerja lepas. Begitu juga pekerja kontrak yang perlu dilindungi dalam revisi aturan ke depannya. "Banyak buruh yang seumur dia bekerja, kontrak terus," ujarnya.

Status pekerja bisnis online hingga yang menggantungkan nafkahnya pada model kemitraan juga perlu dimasukkan dalam perbaikan payung hukum tenaga kerja. Ini sangat relevan dengan revolusi industri 4.0 yang digaungkan oleh pemerintah saat ini.

Di luar itu, Tauhid menambahkan hal yang juga penting adalah meningkatkan produktivitas pekerja di tengah-tengah upah yang merangkak naik. Apabila pemerintah lengah, maka akan banyak investor yang kabur ke negara lain yang mampu memberikan upah lebih kompetitif. "Pemerintah juga perlu memberi suasana kondusif dalam hubungan industrial," kata Tauhid.