Jokowi dan Prabowo Saling Rebut Suara Mengambang di Debat Capres

Katadata
Ilustrasi debat politik antara dua kubu yang berbeda.
Penulis: Yuliawati
19/1/2019, 08.43 WIB

Debat perdana calon presiden dan calon wakil presiden yang diprakarsai Komisi Pemilihan Umum telah berlangsung Kamis, 17 Januari 2019. Debat Capres yang akan berlangsung lima kali merupakan ajang penting untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih suara mengambang (swing voters) atau yang belum memutuskan pilihannya.

Telesurvei diadakan KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia)  bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC) merekam perubahan sikap para swing voters.  Sehari sebelum debat, terdapat 25,2% dari 463 responden yang menyatakan belum menentukan pilihan. Setelah debat, responden yang menyatakan belum memutuskan suaranya tinggal 9,4%.

"Debat perdana ternyata dijadikan pertimbangan bagi mereka yang belum menentukan pilihan," kata Direktur Eksekutif KedaiKOPI, Kunto A Wibowo, Sabtu (19/1). Jarak antara survei pra dan pascadebat hanya dua hari sehingga bisa disimpulkan efek debat dan komentar tentang debat di media konvensional dan media sosial yang menyebabkan perubahan sikap pemilih tersebut. 

(Baca juga: Hasil Survei: Jokowi Tampil Paling Baik dalam Debat Pertama Pilpres)

Namun, Kunto mengingatkan, perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan dan melakukan generalisasi dari hasil survei tersebut karena bias nonrespons yang tinggi. Data panel responden berjumlah 2.499 orang yang didapatkan dengan teknik multistage random sampling dan telah diwawancara secara tatap muka pada tahun 2018.,

Kemudian, dari 2.499 responden tersebut yang disurvei pada 16 - 18 Januari 2019 --menggunakan metodologi telesurvei lewat telepon dan Whatsapp ini-- hanya 463 responden atau 18,52% yang merespons. Sedangkan dari 463 responden yang dihubungi sebelum debat berlangsung, sebanyak 372 responden atau 80% mengatakan akan menonton debat. 

Tapi, setelah debat ternyata sebanyak 230 responden (49,7%) yang benar-benar menonton debat tersebut. Tingkat kesalahan alias margin of error plus-minus 4,55% pada interval kepercayaan 95%. 

Di sisi lain, telesurvei ini menunjukkan responden menganggap kedua pasangan calon tidak menawarkan hal baru dalam debat isu hukum, HAM, korupsi dan terorisme. Sebanyak 61,3% responden menganggap Jokowi tidak menawarkan hal baru. Sedangkan 54,1% responden menilai Prabowo juga tidak menawarkan hal yang baru.

Mengenai performa para kandidat, Jokowi dianggap tampil lebih baik di antara yang lainnya.  Sebanyak 56,6% responden memberi nilai positif bagi mantan Wali Kota Solo itu. Jokowi juga dianggap sebagai kandidat yang pemaparannya paling jelas dan karakternya dianggap sesuai dengan harapan responden. 

Survei KedaiKOPI bekerja sama dengan Katadata Insight Centre. (Katadata)

Massa mengambang yang belum menentukan sikap diramalkan bakal menjadi penentu pemenang Pilpres. Dari beragam survei, kedua pasangan calon terpaut suara 20%, sementara jumlah massa mengambang melebihi itu. 

(Baca: Minim Substansi, Debat Perdana Dinilai Tak Sumbang Elektabilitas )

Survei lembaga Indikator Politik pada Desember 2018 menunjukkan elektabilitas pasangan Jokowi-Maruf 54,9%, sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 34,8 %.

Dari survei yang sama, jumlah pemilih mengambang ini sekitar 25%. Mereka terdiri dari pemilih mengambang yang belum menentukan pilihannya mencapai 9,2% dan kelompok yang masih bisa berubah pilihannya sebanyak 16,2%.

"Efek (debat) akan lebih kuat di kalangan swing voters, terutama yang belum punya pilihan apapun," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, beberapa waktu lalu. 

Gempuran Hoaks Rugikan Jokowi

Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menilai proses debat 2019 akan berbeda dengan Pemilihan Presiden 2014. Dalam Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla berhasil mendapatkan keuntungan setelah proses debat. “Namun situasi sekarang berbeda,” kata Ari.

Ketika itu, elektabilitas Jokowi- Kalla meningkat signifikan karena performanya debatnya yang dianggap baik. Performa keduanya melebihi ekspektasi masyarakat yang cenderung menganggap Prabowo-Hatta Rajasa akan lebih baik.

Mengutip survei Indikator akhir Juni 2014, responden yang memilih Jokowi unggul dalam debat pertama 9 Juni 2014 sebanyak 47,6%. Sementara responden yang menilai Prabowo unggul hanya 44,5%.

Performa Jokowi meningkat pada debat selanjutnya. Setelah debat kedua pada 15 Juni 2014, sebanyak 48,6% responden menganggap Jokowi sebagai pemenang debat. Sebaliknya responden yang menilai Prabowo unggul dalam debat kedua hanya 41,6%. Jokowi dianggap unggul pada semua kategori debat, mulai dari substansi persoalan, cara menyampaikan pendapat, hingga program yang ditawarkan.

Berbeda dengan 2019, kedua pasangan yakni Jokowi-Kalla dan Prabowo- Hatta Rajasa masing-masing merupakan pasangan baru. “Sementara sekarang posisi Jokowi sebagai petahana. Tantangannya berbeda,” kata dia.

Ari mengatakan tantangan bagi para paslon dalam debat adalah menarik suara massa mengambang. Pendekatan ke suara mengambang ini menjadi lebih kompleks untuk kubu Jokowi-Maruf akibat dampak gempuran hoaks atau kabar bohong di media sosial dan jalur komunikasi lainnya selama ini.

Ari mengatakan dalam situasi normal, pemaparan kinerja dengan data dapat menguntungkan pasangan calon Jokowi-Maruf untuk menarik pemilih massa mengambang yang rasional. “Kelebihan Jokowi sebagai petahana dapat menegaskan pencapaian kinerja dengan data,” kata Ari.

Namun, penyebaran hoaks membuat pemilih kebingungan dan menjadi tidak mudah percaya. Hoaks bekerja dalam mendekontruksi kepercayaan publik terhadap data, termasuk yang dipaparkan petahana.  “Sehingga muncullah ketidakpercayaan terhadap informasi yang masuk, termasuk pengungkapan data atas pencapaian pembangunan dan kinerja segala macam,” kata Ari.

(Baca: Timses Prabowo-Sandi Bantah Kenal Tersangka Pembuat Hoaks Surat Suara)

Ari mengungkapkan kondisi ini dapat membuat pemilih menjadi emosional atau irasional. “Ini merupakan strategi di mana petahana dibenturkan pada tembok distrust. Orang yang tidak memiliki kepercayaan, menjadi mudah digiring,” kata dia

Sebaliknya, Ari pun mempertanyakan gaya Prabowo dalam debat pertama yang cenderung memberikan informasi salah. “Prabowo itu proses kepeleset lidahnya kok berulang-ulang. Apa itu sengaja atau tidak sengaja? Saya melihatnya boleh jadi bagian dari strategi komunikasi politik,” tutur Ari. 

Penyebaran hoaks ini, di satu sisi membuat berbagai media menyajikan cek fakta dan data selama proses debat. “Akan terus beradu antara fakta objektif dan delusi, dan proses ini menentukan suara pemilih,” kata dia.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution, Dimas Jarot Bayu