Pemerintah kembali membuka keran impor jagung sebesar 100 ribu ton akhir tahun ini berdasarkan usulan dari Kementerian Pertanian (Kementan). Padahal, sebelumnya produksi jagung nasional diklaim surplus besar, bahkan mampu ekspor ratusan ribu ton. Tak sesuainya data produksi dan kenaikan harga jagung belakangan ini, turut menyebabkan efek berantai .
Menteri Pertanian Amran mengklaim upaya pemerintah menggenjot produksi jagung sudah membuahkan hasil yang memuaskan. Produksinya sudah mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, bahkan ada kelebihan yang diekspor hingga 372 ribu ton ke Malaysia dan Filipina.
Melalui program Upaya Khusus (Upsus), Kementan telah berhasil mengurangi impor jagung sejak 2016. Pada 2015, Indonesia masih mengimpor 3,5 juta ton jagung, kemudian berhasil ditekan menjadi 1,3 juta ton pada 2016. Kementan mengklaim pada tahun lalu, Indonesia sudah terbebas dari impor jagung.
Menurutnya, jika tidak ada program Upsus, Indonesia tidak akan bisa ekspor dan berpotensi mengimpor 3,87 juta ton jagung tahun ini. "Ini artinya, program Upsus Jagung selama tiga tahun bisa menghemat devisa 9,6 juta ton jagung senilai Rp 31 triliun," kata Amran beberapa waktu lalu.
(Baca: Sindir Mentan soal Impor Jagung, Mendag: Siapa yang Bilang Surplus?)
Sekretaris Jendral Kementan Syukur Iwantoro menambahkan penjelasan Amran. Dalam lima tahun terakhir, produksi jagung nasional meningkat rata-rata 12,49% per tahun, dengan penambahan luas lahan panen 11% dan produktivitas naik 1,42%. Mengacu tren ini, Kementan memprediksi produksi jagung tahun ini bisa mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK).
Ketersediaan produksi jagung bulan ini diperkirakan sebesar 1,51 juta ton dan bulan depan 1,53 juta ton. Produksinya tersebar pada 10 sentra produksi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontolo, Lampung, dan provinsi lainnya.
Beberapa sentra produksi jagung dalam negeri mulai memasuki masa panen. Minggu (11/11) kemarin, Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan safari panen jagung serentak di tujuh kabupaten di Jawa Timur. Total lahan yang dipanen seluas 5 ribu hektare di Tuban, Lamongan, Jember, Kediri, Mojokerto, dan Pasuruan. Kementan menyebutkan produktivitas jagung di setiap lahan tersebut rata-rata 7-10 ton per hektare. Artinya, panen kemarin bisa menghasilkan 35 ribu - 50 ribu ton.
Sementara Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan memperkirakan kebutuhan jagung tahun ini hanya 15,5 juta ton PK. Rinciannya, untuk pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, benih 120 ribu ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
Masalahnya, data-data yang dijabarkan Kementan ini berbeda dengan data dari lembaga lainnya. Sumber Katadata.co.id di pemerintahan mempertanyakan klaim data Kementan yang menyebut surplus produksi jagung. Dia membandingkannya dengan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang menyebutkan estimasi produksi jagung di Indonesia masih defisit.
FAO mengestimasikan produksi jagung nasional tahun ini dan tahun depan sekitar 11,95 juta ton. Sementara konsumsinya sebesar 12,4 juta ton, untuk pakan ternak 8,5 juta ton serta untuk pangan, industri dan bibit sebanyak 3,9 juta ton. Artinya, masih ada kekurangan pasokan sebesar 450 ribu ton.
Klaim data ekspor dari Kementan juga berbeda dengan data lembaga pemerintah lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor jagung sepanjang Januari hingga September tahun ini hanya 17.470 ton, sangat jauh dari pengakuan Kementan yang mencapai 372 ribu ton.
Di sisi lain, apabila klaim data Kementan mengenai produksi jagung yang sudah mencapai 28,48 juta ton ini benar, akan muncul pertanyaan baru. Kemana sisa surplus produksinya diserap? Dengan kebutuhan konsumsi yang diklaim 15,5 juta ton dan ekspornya 372 ribu ton, berarti masih ada sisa 12,61 juta ton.
Kelebihan produksi ini bisa mencukupi sekitar 83% kebutuhan jagung tahun depan. Dengan asumsi produksi tahun depan sama seperti tahun ini, maka surplus jagung nasional pada 2019 lebih dari 25 juta ton. (Baca: Pemerintah Putuskan Impor Jagung, Kementan Berkukuh Produksi Surplus)
Jika surplus ini diekspor, Indonesia bisa menjadi negara pengekspor jagung terbesar di dunia. FAO mencatat negara pengekspor jagung terbesar di dunia dipegang oleh Argentina. Sepanjang tahun lalu, Argentina mengekspor 23 juta ton jagung, mengungguli Rusia sebesar 5 juta ton dan Perancis 4 juta ton.
"Klaim data jagung Kementan ini sama seperti yang terjadi dalam kebijakan impor beras," kata sumber tersebut di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Keputusan membuka keran impor jagung berdasarkan hasil rapat koordinasi tingkat menteri yang dipimpin Menteri Koordintor Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, awal November lalu. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri BUMN Rini Soemarno hadir dalam rapat tersebut. Ada pula Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Budi Waseso, dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan.
Meski demikian, Darmin seolah tidak mau disalahkan dalam memutuskan kebijakan ini. Menurutnya, kebijakan impor ini sebenarnya permintaan dari Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Dia pun sempat menanyakan alasan Amran mengusulkan impor di tengah surplus produksi. Jawabannya, untuk membantu para peternak kecil yang kesulitan mendapatkan pasokan jagung dan harganya tak terjangkau.
“Produksi jagung itu kewenangan Menteri Pertanian. Peternakan ayam termasuk petelur itu juga kewenangan Mentan. Mereka yang paling tahu, kalau dia usulkan ini perlu impor, kami juga tanya. katanya surplus?" ujarnya di Jakarta (7/11).
Amran mengusulkan impor jagung demi menjaga populasi peternak rakyat yang terancam tidak mendapat pasokan karena harganya tinggi. Saat ini harga jagung melambung hingga Rp 5 ribu per kilogram, lebih tinggi dari harga acuan konsumen yang telah diatur pemerintah sebesar Rp 4 ribu per kilogram. Kenaikan harga jagung untuk pakan ternak dikhawatirkan bisa berdampak pada kenaikan harga ayam dan telur ayam.
Surplus produksi ternyata tidak bisa menjamin harga jagung stabil. Faktanya, harga jagung lokal naik, bahkan melebihi harga internasional. Makanya, Kementan mengusulkan impor untuk menjaga harga komoditas tersebut, khususnya bagi peternak kecil.
(Baca: Harga Jagung Naik, Harga Pakan Ternak Berpotensi Melonjak)
Sejak 2016, pabrik pakan ternak melakukan upaya rasionalisasi agar produksinya bisa lebih murah. Caranya dengan mencampurkan gandum dari luar negeri, sebagai subtitusi sebagian jagung. Namun, pelemahan rupiah tahun ini membuat impor gandum menjadi mahal, sehingga mereka kembali menggunakan jagung lokal. Ini terlihat dari izin impor gandum untuk pakan ternak sebanyak 200 ribu ton tidak direalisasikan.
Dampak pengalihan gandum impor ini membuat produksi jagung nasional diborong oleh pabrikan pakan besar. Dampaknya, peternak kecil mandiri kesulitan mendapatkan pasokan jagung dari petani. Kebutuhan jagung untuk peternak kecil ini rata-rata 220 ribu ton per bulan.
Amran menjelaskan pada pertengahan Oktober hingga awal November 2018, ketersediaan jagung bagi peternak kecil berkurang dan harganya naik tak terjangkau. Banyak peternak kecil yang tak mendapatkan jagung karena kalah bersaing dengan para pengusaha besar yang telah membeli jagung milik petani sebelum panen selesai (ijon).
Para peternak ini pun protes, sehingga Kementan mengusulkan impor jagung sebanyak 50-100 ribu ton. "Selain memperhatikan petani, kami harus peduli terhadap 2 juta peternak yang butuh jagung untuk pakan," kata Amran, Kamis (8/11).
Dia memastikan jagung impor hanya akan didistrubusikan kepada peternak kecil untuk menjaga harga. Apabila harganya sudah turun, jagung impor akan disimpan dan tidak dikeluarkan ke pasar. Perum Bulog yang ditugaskan mengimpor mengatakan sebagian jagung yang didatangkan dari Argentina dan Brasil akan tiba di Indonesia bulan depan. Total 100 ribu jagung dikirim dalam dua tahap. Tahap pertama sebanyak 70 ribu ton dan tahap kedua sebanyak 30 ribu ton.
(Baca: Distribusi Jagung Impor Akan Diprioritaskan ke Pulau Jawa)